Misalnya mereka yang sebelumnya mengunjungi atau berasal dari negara konflik atau negara dengan tingkat terorisme yang tinggi.
Kabarnya, ada 65.000 pemohon yang masuk dalam kategori merah tersebut, demikian dilansir KompasTekno dari Tech Crunch, Senin (3/6/2019).
Aturan ini sebenarnya mulai diajukan sejak tahun 2018 lalu, namun Departmen Luar Negeri AS hanya memperbarui formulir dengan meminta detail informasi tambahan dari pemohon visa.
Menuai kontroversi
Sejak diajukan tahun lalu, kebijakan ini sudah menuai kontroversi, utamanya dari American Civil Liberties Union (ACLU) yang menyebut kebijakan ini tidak efektif dan sangat promblematis.
Direktur ACLU's National Security Project, Hina Shamsi mengatakan tidak ada bukti bahwa pengawasan media sosial akan efektif dan justru bisa menimbulkan efek "mengerikan" untuk kebebasan berbicara dan mempromosikan sensor diri secara online.
"Orang-orang sekarang harus hati-hati apakah yang mereka katakan secara online akan disalahartikan atau disalahpahami oleh pemerintah," jelas Hina.
Baca juga: Layanan Google Down 5 Jam di Seluruh AS
Menurut Departemen Luar Negeri AS, media sosial adalah forum bagi para teroris untuk merencanakan kegiatannya.
"Ini akan menjadi alat vital untuk menyisir teroris, ancaman kemanan publik, dan individu berbahaya lainnya dari informasi yang diperoleh imigrasi, dan mereka yang masuk ke AS," jelas Departemen Luar Negeri AS.
=====
Film pendek “Merawat Komunikasi” merupakan kolaborasi antara KompasTekno dan Telkomsel dalam program tahunan #MudikSmart. Tonton video lengkapnya di channel YouTube KompasTekno.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan