"Hampir satu bulan, kami tidak meninggalkan gedung apartemen tersebut," tutur Lyu dalam video yang sama.
Usaha itu membuahkan hasilnya saat ini. Bulan Oktober lalu, Huawei sesumbar total pendapatannya mencapai 610,8 miliar yuan (sekitar Rp 1.225 triliun) selama tiga kuartal terakhir tahun 2019.
Tragedi ditinggal pemasok saat sedang berjaya rasanya kembali terulang. Bulan Mei lalu, Huawei ditinggal beberapa mitra bisnisnya asal Amerika Serikat karena masuk entity list. Daftar tersebut melarang perusahaan AS manapun untuk berbisnis dengan Huawei.
Baca juga: Jurus Huawei Bertahan Tanpa Google
Salah satunya adalah Google, induk Android yang selama ini menjadi tumpuan Huawei untuk software di ponsel pintar besutannya.
Dari keluarga miskin, di kota kecil
Ketangguhan Huawei dalam mengembangkan bisnisnya tak lepas dari keuletan sang pendiri. Sebagaimana perusahaannya, kisah hidup Ren juga penuh tantangan.
Ren lahir dari keluarga miskin dan tinggal di kota kecil. Ia tidak banyak tahu bagaimana situasi dunia luar saat itu. Tapi, dibanding beberapa tetangganya ia masih termasuk lebih beruntung karena kedua orangtuanya adalah guru.
"Lebih beruntung dalam arti kami masih bisa menambahkan garam ke makanan," ceritanya.
Ren juga beruntung karena menjadi satu-satunya yang mendapatkan pendidikan tinggi di keluarganya. Ia melanjutkan studi ke Institu Teknik Sipil dan Arsitektur Chongqing.
Tahun 1974, ia menjadi teknisi lab militer di Laioyang, daerah kecil di China Timur Laut. Di daerah ini, cuaca saat musim dingin terbilang ekstrem.
Baca juga: Tak Punya Aplikasi Google, Huawei Mate 30 Pro Andalkan 5 Fitur Ini
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan