a. Epidemi: Pemerintah gagal mengendalikan penyebaran virus untuk jangka waktu yang lama (lebih dari 6 bulan) menyebabkan eskalasi pandemi hingga akhir tahun atau lebih, kemungkinan sampai vaksin tersedia dan dalam jumlah yang cukup. Jumlah kasus infeksi Covid-19 diprediksi mencapai lebih dari 100.000 kasus.
b. Ekonomi: Kebijakan moneter dan fiskal dikhawatirkan tidak dapat memengaruhi dampak penuh dari kebangkrutan yang meluas dan tingkat pengangguran yang masif. Terdapat potensi krisis di industri keuangan dan perbankan.
Selain itu, pertumbuhan PDB bisa minus, sesuai prediksi Kementerian Keuangan yang menyebut pada skenario terberat perekonomian dapat menyentuh minus 0,4 persen.
c. Bisnis: Terhentinya kegiatan produksi industri karena tidak didapatkan bahan baku alternatif, harga komoditas, pembangunan infrastruktur, dan cash buffer days perusahaan sudah terpengaruh secara ekstrim.
Situasi baru tersebut, yang lebih tepat dinamakan “penormalan baru” - upaya untuk menormalkan segala hal yang baru, tidak terelakkan.
Sejumlah hal baru selama pandemi Covid-19 terkait dengan masifnya pemanfaatan teknologi digital untuk menopang aktivitas masyarakat selama masa PSBB atau lockdown di sejumlah negara.
Teknologi Informasi yang selama ini digunakan masyarakat untuk mendapatkan dan mengelola informasi adalah kebutuhan utama dalam menghadapi penormalan baru ini.
Terlebih lagi, sebelumnya masyarakat sudah mengenal dengan pola kerja dari rumah (work from home) yang membutuhkan internet dengan kecepatan tinggi dan segala kemudahan lainnya.
Bukan disrupsi, tapi normal baru
Analisa terperinci dalam laporan We Are Social April 2020 yang ditulis Simon Kemp pada 23 April 2020 menarik untuk disimak.
Simon Kemp menulis data dari Global Web Index mengungkapkan bahwa orang-orang di seluruh dunia telah menghabiskan lebih banyak waktu pada perangkat digital mereka sebagai akibat pandemi Covid-19.
Lebih dari tiga perempat (sebanyak 76 persen) dari pengguna internet berusia antara 16 dan 64 di negara-negara yang disurvei mengatakan mereka telah menghabiskan lebih banyak waktu menggunakan ponsel pintar mereka dalam beberapa pekan terakhir dibandingkan dengan perilaku sebelum lockdown.
Banyak orang mengatakan bahwa mereka mengharapkan kebiasaan baru mereka berlanjut setelah wabah Covid-19 berlalu.
Satu dari lima pengguna internet mengatakan mereka berharap untuk terus menonton lebih banyak konten pada layanan streaming, dan satu dari tujuh (15 persen) mengatakan mereka berharap untuk terus menghabiskan lebih banyak waktu menggunakan media sosial.
Beberapa 'kebiasaan baru' ini murni hasil dari peningkatan waktu luang yang tiba-tiba muncul karena keharusan masyarakat untuk tinggal di dalam rumah.
Data dari App Annie menunjukkan bahwa jumlah waktu yang dihabiskan orang menggunakan perangkat seluler selama tiga bulan pertama pada tahun 2020 meningkat 20 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
App Annie juga melaporkan bahwa di China - negara pertama yang memberlakukan lockdown untuk menahan penyebaran virus korona - pengguna seluler menghabiskan rata-rata 5 jam per hari menggunakan aplikasi ponsel di tiga bulan pertama tahun 2020, mewakili peningkatan 30 persen dibandingkan ke level yang terlihat pada awal 2019.
Di Italia terjadi pola yang sama, dengan pengguna menghabiskan lebih dari 10 persen lebih banyak waktu di aplikasi ponsel di seluruh kuartal pertama 2020.
Sementara itu, data dari Statcounter pada Maret 2020 menunjukkan bahwa perangkat seluler menyumbang lebih banyak lalu lintas situs web secara global dibandingkan dengan waktu yang sama tahun lalu.
Data terbaru ini juga mengungkapkan bahwa 52 persen permintaan halaman situsweb pada bulan Maret 2020 berasal dari ponsel, mewakili peningkatan relatif lebih dari 6 persen dibandingkan dengan 48,9 persen yang dilaporkan pada Maret 2019.
Secara kontras, akses lalu lintas situsweb dengan komputer turun dari 47 persen pada Maret 2019 menjadi 45,3 persen pada Maret 2020.
Namun kenaikan konsumsi dari aktivitas digital dan lalu lintas situs web secara global berimbas di banyak negara pada penurunan kecepatan unduhan rata-rata untuk koneksi internet lewat ponsel dan jaringan kabel yang terjadi antara Februari dan Maret 2020.
Imbas paling signifikan terlihat pada kenaikan drastis kunjungan pada situ sweb e-commerce. Data terbaru dari Alexa untuk peringkat situs web top dunia menunjukkan bahwa situs web e-commerce saat ini menempati 6 dari 20 tempat teratas.
Mengapa kenormalan baru berbeda dengan disrupsi, kata yang selama ini erat dikaitkan dengan kebangkitan industri teknologi digital 4.0?
Salah satu alasannya karena ada penurunan pemasukan pada bisnis digital yang bergerak di ride-hailing, pemesanan tiket transportasi, travel dan liburan, seiring dengan penerapan kebijakan PSBB dan lockdown. Namun data resmi dari perusahaan-perusahaan teknologi digital terkait belum bisa diperoleh dan disajikan.
Kontradiksi dan tantangan di Indonesia
Melihat ketergantungan kehidupan masyarakat selama masa pandemi Covid-19 pada teknologi digital dan tampak akan terus berlanjut pada kenormalan baru pasca krisis Covid-19, maka secara ideal dibutuhkan sejumlah kondisi yang menjamin hak-hak digital warga.
Dalam hal akses informasi, idealnya tersedia akses untuk semua. Yang dimaksud dengan akses untuk semua adalah setiap warga mampu mengakses dan menggunakan teknologi digital.
Namun faktanya di Indonesia, negara pengguna internet kelima tertinggi di dunia, menurut Survei APJII 2019 jumlah pengguna Internet mencapai sekitar 171,17 juta atau 64,8 persen dari total populasi Indonesia sebanyak 264 juta jiwa penduduk.
Sisanya adalah warga Indonesia yang tidak memiliki akses informasi terhadap teknologi digital. Data Kemkominfo 2018 menunjukkan bahwa pengguna Internet Indonesia (72,41 persen) berada di daerah perkotaan.
Warga di Pulau Jawa terpapar internet 57,70 persen, sedangkan yang terendah, Bali-Nusa 5,63 persen dan Maluku-Papua 2,49 persen.
Menilik dari kualitas jaringan 4G yang tersedia, juga terlihat ada ketimpangan yang cukup merisaukan. Temuan dari OpenSignal, perusahaan swasta yang khusus memetakan cakupan nirkabel secara global, menunjukkan ada kesenjangan konektivitas antara wilayah perkotaan yang padat penduduknya dengan daerah pedesaan berpenduduk jarang.
OpenSignal menggunakan data sensus dari Badan Pusat Statistik (BPS) untuk mengklasifikasikan kabupaten dan kota ke dalam lima kategori berbeda, berdasarkan kepadatan penduduk.
Kategori pertama satu hingga 50 orang per kilometer persegi. Kategori kedua, 50-100 orang per kilometer persegi. Kategori ketiga, 100-300 orang per kilomter persegi. Kategori keempat, 300-1.000 orang per kilometer persegi. Terakhir, lebih dari 1.000 orang per kilometer persegi.
OpenSignal menemukan bahwa sementara pengguna di daerah berpenduduk padat (kategori kelima) dapat terhubung ke layanan 4G hingga 89,7 persen dari waktu, pengguna di daerah berpenduduk paling jarang (kategori pertama) dapat terhubung ke sinyal 4G hanya 76 persen dari waktu – selisih 13 persen.