Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Isu Rasial di Balik Teknologi Pengenal Wajah

Kompas.com - 14/06/2020, 16:27 WIB
Wahyunanda Kusuma Pertiwi,
Reska K. Nistanto

Tim Redaksi

Hasilnya, metode one-to-one memiliki tingkat false positive tinggi untuk mendeteksi wajah Asia dan Afrika-Amerika, dibanding wajah ras Kaukasian.

False positive di sini merujuk pada hasil yang mungkin kedua data yang disandingkan cocok namun bukan orang yang sama.

Sementara metode one-to-many, tingkat false positive-nya teramat buruk untuk wanita Afrika-Amerika. Hal ini membuat mereka rentan akan kasus salah tangkap, seperti yang banyak diprotes para pegiat HAM di Amerika Serikat.

Desakan regulasi

IBM, Amazon, dan Microsoft senada mendesak pemerintah untuk membuat undang-undang khusus penggunaan teknologi pengenal wajah, terutama oleh para penegak hukum.

"Kami percaya sekarang adalah saatnya untuk memulai dialog nasional tentang bagaimana teknologi pengenalan wajah seharusnya digunakan oleh lembaga penegak hukum domestik," tulis IBM dikutip Kompastekno dari Sputniknews, Minggu (10/6/2020).

Suara yang sama dilantangkan Smith. Ia berharap, selama moratorium penjualan teknologi pengenal wajah Microsoft, pemerintah merancang undang-undang nasional soal penggunaan teknologi ini, berlandaskan hak asasi manusia.

Baca juga: Microsoft Larang Polisi AS Pakai Teknologi Pengenal Wajah Buatannya

Mereka sadar, perusahaan tidak bisa berdiri sendiri dalam penerapan teknologi pengenal wajah. Aktivis HAM pun mendukung langkah perusahaan Silicon Valley.

"Belum ada standar tentang bagaimana mengevaluasi facial recognition, dan bagaimana mempertimbangkan apakah masuk akal atau tidak teknologi itu dipakai," kata Kris Hammon, profesor ilmu komputer Notrhwestern University.

Hammon tidak mempermasalahkan penggunaan teknologi ini untuk fitur face unlock, atau semacamnya. Sebab hal itu berguna untuk meningkatkan keamanan ponselnya. Namun untuk keperluan penegakan hukum, lain cerita.

"Tapi ketika saya melihat teknologi yang sama digunakan untuk keperluan hukum, pertanyaannya adalah apakah hasil teknologi ini bakal diterima oleh pengadilan? Siapa yang akan menjawabnya?" tanya Hammon.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com