Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Limbah Elektronik Dunia Catat Rekor Tertinggi 53,6 Juta Ton

Kompas.com - 09/07/2020, 15:18 WIB
Wahyunanda Kusuma Pertiwi,
Yudha Pratomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Setiap tahun, para vendor smartphone berlomba merilis produk baru dari berbagai segmen. Mereka juga bersaing untuk mengapalkan ponsel lebih banyak setiap kuartalnya.

Itu baru smartphone. Belum lagi, pabrikan elektronik lain seperti laptop, televisi, atau perabot rumah tangga. Jangan lupakan wearable device yang beberapa tahun belakangan menjadi tren dan kian gencar dijual.

Ada hal yang luput dari pantauan selain semakin canggihnya teknologi di barang elektronik dan adu banyak penjuala. Yaitu limbah elektronik atau e-waste yang semakin menggunung.

Masalah sampah di bumi ini tidak semata-mata plastik yang sekarang mulai mendapat pehatian. Sampah elektronik juga perlu mendapat sorotan. Kabar buruknya, volume sampah elektronik kian menggunung dan memecahkan rekor terbanyak pada tahun 2019.

Menurut laporan terbaru dari The Global E-waste Statistic Partnership, total sampah elektronik dunia saat ini mencapai 53,6 juta ton.

Angka ini meningkat 9,2 juta ton dari laporan sebelumnya pada tahun 2014. Dari total sampah tersebut, hanya 17,4 persen yang bisa didaur ulang.

Baca juga: Apple Bikin Robot Penambang Logam Mineral dari Limbah iPhone

"Saya berharap kita bisa melakukan lebih baik dalam hal daur ulang," kata Vanessa Forti dari UN University.

The Global E-Waste sendiri merupakan usaha gabungan dari beberapa organisasi dan akadimisi dunia, yakni WHO, UN University, International Telecommunication Union (ITU), dan International Solid Waste Association (ISWA).

Volume sampah yang semakin menggunung setiap tahunnya cukup mengkhawatirkan. Sebab, jika sampah elektronik tidak didaur ulang, maka akan mencemari lingkungan.

Setiap komponen elektronik yang menjadi limbah, mengandung material yang bernilai dan beracun.

Misalnya, komponen dari lemari es dan AC yang mengandung Klorofluorokarbon (CFC), hydrochlorofluorocarbons, dan gas rumah kaca yang kuat yang bisa memperburuk krisis perubahan iklim.

Masalah di negara berkembang

Diperkirakan, 8 persen sampah elektronik yang dihasilkan penduduk negara maju seperti AS, dibuang ke tempat sampah dan akhirnya masuk ke insinerator atau tungku pembakar sampah.

Di negara berkembang, di mana kebanyakan negara tidak memiliki kebijakan formal terkait sistem pembuangan sampah, limbah elektronik kemungkinan tidak dikelola dengan baik.

Baca juga: Powerbank Buatan Warga Bekasi Manfaatkan Limbah Elektronik

Walhasil, masyarakat di negara tersebut mempereteli komponen elektronik secara mandiri (tanpa pengaman atau prosedur keamanan) atau menjualnya ke pendaur ulang yang tidak membuang sampah elektronik dengan benar.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com