KOMPAS.com - Happy hypoxia menjadi momok baru, karena bisa menjadi penyebab pasien Covid-19 meninggal dunia tanpa ada gejala. Banyak kasus menunjukan pasien Covid-19 dengan happy hypoxia, mendadak sesak nafas berat, dan akhirnya meninggal dunia.
Happy hypoxia sendiri merupakan istilah yang merujuk pada kondisi kurangnya kadar darah di dalam jaringan tubuh, tapi tidak menimbulkan reaksi atau keluhan di organ-organ tubuh.
Istilah ini berbeda dengan hypoxemia yang merujuk pada kurangnya kadar oksigen dalam darah, yang umumnya menimbulkan reaksi atau respon tubuh berupa gejala dan keluhan beberapa organ.
Baca juga: 5 Besar Pabrikan Smartwatch dan Daftar Jam Pintar Terlaris
Dalam kasus tertentu, hypoxemia yang berkelanjutan bisa menyebabkan hypoxia. Kendati berakibat fatal, hypoxemia bisa dicegah dengan melakukan pemeriksaan oksimetri secara mandiri menggunakan oksimeter.
Untuk diketahui, oksimeter merupakan alat pengukur kadar oksigen di dalam darah tubuh lewat ujung jari tangan. Cukup menempelkan ujung jari tangan, lalu sensor akan memindai saturasi oksigen dalam darah.
Apabila hasil saturasi oksigen 95 persen ke atas, maka tidak ada hypoxemia. Sebaliknya, jika hasilnya berada di bawah 94 persen maka terjadi hypoxemia dan disarankan melakukan pemeriksaan medis untuk mengetahui ada gejala pneumonia atau tidak.
Oksimeter dibeli secara mandiri dan dijual di beberapa e-commerce dengan harga ratusan hingga jutaan rupiah. Namun, beberapa orang memilih menggunakan fitur atau aplikasi yang ada di smartphone atau smartwatch.
Beberapa gadget memang memiliki fitur pengukur kadar oksigen dalam darah, namun apakah akurat?
Jangan asal percaya
Salah satu aplikasi mengklaim bisa melakukan pemeriksaan oksimetri menggunakan kamera smartphone hanya dengan meletakkan jari di kamera, untuk membaca kadar oksigen. Namun, para dokter menyangsikan hal ini.
Walter Schrading, direktur kantor kedokteran Universitas Alabama di Sekolah Kesehatan Birmingham, mengatakan bahwa mengandalkan aplikasi untuk mengecek level oksigen dalam darah secara mandiri bisa berakibat fatal.
Baca juga: Apple Patenkan Pendeteksi Gula Darah di Arloji Pintar
Menurutnya, meskipun aplikasi tersebut bisa melakukan pemeriksaan oksimetri, tapi hasilnya tidak akurat, terutama jika kadar oksigen dalam darah sudah sangat rendah. Orang yang sebenarnya memiliki kadar oksigen rendah, bisa saja disebut "normal" oleh aplikasi.
"Mereka (aplikasi pemeriksaan oksimetri) tidak bekerja dengan baik ketika Anda benar-benar membutuhkannya untuk melakukan pemeriksaan, saat kadar oksigen Anda sudah sangat rendah," jelas Schrading.
Padahal, apabila kadar oksigen sudah sangat rendah, potensi kerusakan organ tubuh semakin besar. Dirangkum KompasTekno dari The Verge, Senin (7/9/2020), Schrading dan koleganya pernah mengevaluasi kinerja tiga aplikasi oksimeter pada tahun 2019.
Hasilnya, aplikasi-aplikasi itu tidak cukup meyakinkan untuk mengidentifikasi orang yang tidak memiliki cukup oksigen.
Hasil riset yang dilakukan Schrading senada dengan penelitian serupa berjudul "Comparison of smartphone application-based vital sign monitors without external hardware versus those used in clinical practice: a prospective trial" yang dipublikasikan Springer pada 2016.
Dalam penelitian itu juga disebutkan bahwa "tingkat korelasi antara pemeriksaan rutin dalam praktik klinis dan aplikasi berbasis smartphone yang diteliti, tidak cukup untuk merekomendasikan pemanfaatan klinis".
Disebutkan pula bahwa data yang tidak akurat yang diberikan aplikasi berpotensi membahayakan pasien. Penelitan terbaru yang diterbitkan oleh Center for Evidence-Based Medicine Universitas Oxford juga memberikan hasil yang sama.
Dalam penelitian itu juga disebutkan beberapa alasan mengapa aplikasi pemeriksaan oksimetri di gadget sebaiknya tidak dijadikan acuan utama. Pertama, kumpulan data atau dataset yang diujikan tidak menyertakan berbagai macam jenis kulit.
Baca juga: Arloji Pintar Galaxy Watch 3 Bisa Deteksi Kadar Oksigen Dalam Darah
Kedua, dataset yang diuji mencakup kisaran saturasi oksigen yang terbatas. Sebagian besar berada pada kisaran normal, yakni 95-100 persen.
Sementara oksimeter yang digunakan secara klinis harus mencakup saturasi oksigen 70 persen hingga 100 persen. Terakhir, tidak ada dataset independen yang menguji akurasi aplikasi.
"Saturasi oksigen yang diberikan oleh teknologi seperti itu (aplikasi di smartphone atau smartwatch) sebaiknya tidak dipercaya," tulis penelitian tersebut.
Beda standar pemeriksaan
Seperti disebutkan sebelumnya, standar pengukuran aplikasi dan oksimeter medis dalam mengukur tingkat oksigen dalam darah berbeda.
Dalam pemeriksaan medis, perangkat mengirimkan dua panjang gelombang cahaya yang berbeda melalui pemindaian ujung jari oleh sensor.
Gelombang cahaya tersebut adalah merah (red light) dan infrared. Hemoglobin, protein yang membawa oksigen ke dalam darah, menyerap lebih banyak infrared ketika membawa oksigen.
Sebaliknya, jika tidak membawa cukup banyak oksigen maka menyerap lebih banyak cahaya merah.
Dari situlah perangkat menghitung seberapa banyak oksigen yang bersirkulasi di dalam tubuh.
Sementara itu, smartphone rata-rata hanya memiliki cahaya putih (white light).
Sehingga, smartphone tidak bisa memeriksa secara akurat. Beberapa smartwatch emang memiliki cahaya merah namun hasilnya disebut tidak seakurat oksimeter medis.
Ada pula smartwatch yang memeriksa oksimetri dengan melacak aktivitas tidur pengguna, atau aliran darah di pergelangan tangan, yang tentunya tidak seakurat dengan pemindaian di ujung jari.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.