Sebenarnya, kerusakan di unit rudder travel limiter (RTL) bukan hal yang serius. Pesawat masih bisa diterbangkan (flyable) oleh pilot dan kopilot dengan batasan-batasan tertentu.
QRH (Quick Reference Handbook) dalam Airbus A320 menyebut, jika RTL tidak berfungsi, maka layar komputer di kokpit akan menunjukkan pesan "RUD WITH CARE ABOVE 160 KT" yang artinya pilot harus berhati-hati dalam mengoperasikan kendali rudder di atas kecepatan 160 knots.
Makin tinggi kecepatan pesawat, maka semakin sensitif efek pergerakan rudder tersebut. Sedikit saja perubahan rudder di kecepatan tinggi, maka efeknya ke gerakan pesawat juga akan besar.
Karena itulah RTL membatasi gerakan rudder saat pesawat melaju kencang, untuk menghindari over-controlling.
Kenapa lepas sekring di udara?
Terkait dengan tindakan kru QZ8501 yang melepas sekring untuk mengatasi masalah rudder travel limiter yang muncul berkali-kali, KNKT melakukan investigasi riwayat terbang kapten penerbangan.
Dari riwayat tersebut, ditemui data bahwa tiga hari sebelumnya, pada 25 Desember 2014, kapten penerbangan bertugas dengan pesawat yang sama yang dipakai pada 28 Desember 2015, yaitu Airbus A320 registrasi PK-AXC. Kopilot yang bertugas saat itu adalah kopilot yang berbeda.
Saat itu, PK-AXC terbang rute Surabaya - Kuala Lumpur. Saat penumpang sudah naik semua, dan pesawat didorong mundur sambil kedua mesin dinyalakan, pesan peringatan tentang rudder travel limiter muncul di layar ECAM.
Pilot kemudian memutuskan untuk kembali ke parking stand, mesin dimatikan, dan mekanik diminta naik ke pesawat untuk mengatasi masalah tersebut.
Berdasar pada Trouble Shooting Manual (TSM) Airbus A320, mekanik melepas sekring komputer pesawat FAC1 dan 2 dan melakukan serangkaian test IBITE (Build in Test), yang ternyata bisa mengatasi masalah pesan peringatan rudder tadi.
Saat itu, pilot dan mekanik terlibat dalam diskusi. Pilot menanyakan kepada mekanik, apakah ia bisa melakukan prosedur yang sama (melepas sekring) jika masalah tersebut muncul kemudian hari?
Mekanik menjawab boleh jika diminta oleh komputer ECAM.
Pesawat pun kembali bersiap berangkat, namun saat kedua mesin dinyalakan lagi, pesan peringatan yang sama tentang masalah rudder muncul kembali.
Mekanik yang melihat pesawat tidak bergerak walau kedua mesin telah menyala, mengambil interphone yang masih terhubung dengan pesawat dan menanyakan apa yang terjadi. Pilot pun mengatakan masalah yang sama muncul lagi dan semua prosedur ECAM telah dilakukan, namun tidak mengatasi masalah.
Pilot menanyakan kepada mekanik apakah boleh mereset FAC dengan mencabut CB.
Mekanik yang bertugas saat itu kepada KNKT mengatakan melihat kopilot (orang yang berbeda dengan kejadian QZ8501) berdiri dari kursinya.
Setelah me-reset FAC, ternyata pesan peringatan tersebut tidak juga hilang. Pesawat kemudian diparkir lagi dan penumpang diturunkan.
Mekanik kemudian mengganti modul FAC2 dan meminta pilot menyalakan kedua mesin. Beres, peringatan rudder travel limiter tidak menyala kembali.
Pesan peringatan tersebut tidak muncul kembali sepanjang penerbangan Surabaya - Kuala Lumpur PP.
Upset condition dan stall
Kembali ke penerbangan QZ8501, setelah kru pesawat mereset komputer FAC1 dan 2, maka kondisi pesawat yang semula berada pada Normal Law (kondisi yang oleh Airbus disebut sebagai kondisi normal saat semua komputer bekerja), berubah menjadi Alternate Law, yang artinya pada kondisi ini sejumlah proteksi akan mati.
Autopilot dan Autothrust pun menurut data FDR mati (disengage) saat itu juga. Karena tidak ada proteksi, dan kru pesawat masih melakukan trouble shooting, komputer tidak lagi mengontrol pergerakan rudder yang ternyata saat itu berbelok ke kiri sekitar 2 derajat.
Hal itu membuat pesawat secara perlahan berguling ke kiri dengan kecepatan 6 derajat per detik. Hal ini berlangsung selama 9 detik tanpa ada kru pesawat yang menyadari, sehingga posisi pesawat banking (miring) hingga 54 derajat.
Jika FAC masih menyala saat itu, maka komputer akan memproteksi pesawat berbelok (miring) secara ekstrim hingga 54 derajat. Airbus membatasi pergerakan pesawat dengan software komputer, jika pesawat miring lebih dari 33 derajat, maka komputer akan menggerakkan pesawat kembali ke kemiringan yang aman.
FDR mencatat, setelah 9 detik miring ke kiri hingga sudut 54 derajat, input pertama yang diterima komputer adalah sidestick (tuas kendali) di sebelah kanan (dikendalikan oleh kopilot) ditarik ke belakang sehingga hidung pesawat naik dengan sudut 15 derajat.
Input yang terekam berikutnya adalah pesawat berguling ke kanan sehingga sudut kemiringannya hanya 9 derajat ke kiri dengan angle of attack (sudut sayap relatif terhadap aliran udara) sebesar 8 derajat, sehingga memicu peringatan stall (pesawat kehilangan daya angkat).
Peringatan stall sempat hilang saat angle of attack pesawat berkurang dari 8 derajat, namun posisi hidung pesawat tetap naik 15 derajat, sehingga pesawat terus naik dari ketinggian 34.000 kaki ke ketinggian 38.000 kaki.
Jatuh 6.000 meter per menit
Tak berapa lama, FDR kemudian mencatat sidestick kanan dibelokkan ke kiri hingga maksimal, pesawat banking lagi ke kiri 53 derajat dengan angle of attack yang tinggi, sekitar 40 derajat.
Hidung pesawat mendongak hingga sudut 45 derajat, menyebabkan pesawat naik hingga ke ketinggian 38.000 kaki.
Dalam posisi angle of attack besar, pesawat masuk dalam kondisi upset (susah dikendalikan), dan memicu stall (pesawat kehilangan daya angkat).
Input yang terekam FDR dari sidestick sebelah kanan merekam posisinya ditarik ke belakang hingga pesawat naik dengan kecepatan 11.000 kaki per menit dengan angle of attack lebih dari 40 derajat.
Kecepatan pesawat terendah adalah 55 knots saat mulai stall, dan saat jatuh bebas kecepatannya fluktuatif antara 100 hingga 170 knots.
Pesawat jatuh bebas tanpa kendali dari ketinggian 38.000 kaki dengan kecepatan vertikal antara 12.000 kaki hingga 20.000 kaki per menit (4.000 - 6.000 meter per menit).
Komunikasi yang membingungkan
Dalam kondisi stall tersebut, pesawat jatuh dalam posisi datar, bukan menukik. Untuk lepas dari kondisi stall, hidung pesawat harus diturunkan agar pesawat mendapat kecepatan dan aliran udara ada di sayapnya, sehingga pesawat perlahan bisa dibawa naik kembali.
Dan itulah yang hendak dilakukan oleh kapten penerbangan yang duduk di kiri. Data FDR menunjukkan input sidestick kiri didorong ke depan mencoba untuk menurunkan hidung pesawat.