KOMPAS.com - Papan ketik alias keyboard adalah sarana input yang sudah menjadi bagian dari penggunaan gadget sehari-hari.
Semua keyboard, baik yang ditampilkan di layar smartphone ataupun berupa perangkat keras di komputer, menggunakan susunan (layout) huruf yang dijuluki sebagai "QWERTY".
Disebut demikian karena huruf "Q", "W", "E", "R", "T", dan "Y" adalah deretan huruf pertama, paling kiri atas, dari susunan keyboard tersebut.
Baca juga: Mengenal Apa itu Cookie Browser dan Langkah Mengelolanya
Kenapa tidak mengikuti urutan huruf standar alfabet seperti "ABCDEF"? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu kembali ke masa lalu, ke masa-masa awal penggunaan tombol huruf di mesin ketik manual.
Berawal dari mesin tik
Susunan huruf di mesin tik awalnya berurutan sesuai dengan alfabet. Namun ini kerap menimbulkan masalah mesin tik macet karena operatornya mengetik terlalu cepat.
Ketika dua tuts di mesin dipencet secara bersamaan dalam waktu hampir bersamaan, bagian hammer alias batang yang berfungsi sebagai pencetak huruf di kertas bisa saling bertumpuk sehingga tak bisa bergerak.
Kendala mesin tik macet karena operatornya mengetik terlalu cepat ini kemudian mendorong Christopher Sholes, et al., bereksperimen selama bertahun-tahun demi mencari solusi yang tepat.
Sekitar tahun 1860-an, Sholes dan kawan-kawannya mengajukan sebuah paten yang mendeskripsikan bagaimana tuts bersusunan "QWERTY" bisa mengurangi kerusakan mesin tik, namun tanpa mengurangi efisiensi pengetikan.
Paten yang bertajuk "Sholes & Glidden Type Writer" tersebut didaftarkan ke kantor paten Amerika Serikat (USPTO) dan disetujui pada 23 Juni 1868.
Awalnya QWE.TY
Sebelum dijadikan paten, susunan yang dirancang Sholes sebenarnya adalah "QWE.TY", di mana huruf "R" masih diisi dengan karakter titik (.). Namun, sebelum mendaftarkan patennya, dua mengganti titik dengan huruf "R" sehingga menjadi QWERTY.
Baca juga: Mengenal Google Loon, Balon Internet yang Pernah Diuji Coba di Indonesia
Belum diketahui apa alasan Sholes melakukan itu. Namun, keputusannya mengganti karakter disinyalir berhubungan dengan teori "Biagram Frequency".
Sederhananya, teori ini menyebutkan bahwa tuts karakter pada keyboard harus diacak agar sejumlah pasangan dua huruf yang paling sering digunakan dalam bahasa Inggris -misalnya "th", "st", hingga "he"- tidak diletakkan saling berdekatan.
Dengan demikian, penumpukkan batang hammer pada mesin tik tadi tidak akan sering terjadi, meski operator mengetik dengan cepat.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.