KOMPAS.com - Korea Utara dilaporkan telah mencuri aset kripto seperti bitcoin, senilai 316,4 juta dollar AS (sekitar Rp 4,4 triliun) antara 2019 dan November 2020, dari lembaga keuangan dan tempat penukaran mata uang digital.
Dana hasil aktivitas hacking itu diyakini digunakan untuk mendanai program nuklir dan rudal balistik milik Korea Utara, sebagaimana dihimpun KompasTekno dari CNN, Rabu (10/2/2021).
Berdasarkan sebuah dokumen rahasia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Korea Utara juga diyakini masih terus memproduksi bahan fisil untuk nuklir, merawat fasilitas nuklir, dan mengembangkan infrastruktur rudal balistik milik mereka.
Baca juga: Hacker Korea Utara Curi Rencana Perang AS dan Korea Selatan
Dokumen rahasia yang dimaksud adalah laporan panel yang disusun oleh ahli PBB, yang memang ditugaskan untuk memantau penegakkan dan efektivitas sanksi yang dikenakan pada Korut, sebagai hukuman atas pengembangan senjata nuklir dan rudal balistiknya.
Selain itu, laporan panel ini juga hasil dari informasi yang diterima dari negara-negara anggota PBB, badan intelijen, media, dan para pembelot atau orang-orang yang melarikan diri dari Korut.
CNN menjadi salah media yang melaporkan dokumen rahasia tersebut, setelah berhasil mendapatkannya dari sumber diplomatik di Dewan Keamanan PBB.
Korea Utara (Korut) memang sudah bertahun-tahun diketahui berusaha mengembangkan senjata nuklir miliknya. Kendati menerima tekanan dari banyak pihak, termasuk PBB, Korut tetap bergeming.
Pada tahun 2017 lalu, negara yang beribu kota di Pyeongyang ini bahkan melakukan uji coba rudal balistik antarbenua. PBB tak tinggal diam, Dewan Keamanan PBB segera memberlakukan beragam sanksi ekonomi pada Korea Utara.
Adapun sanksi tersebut termasuk larangan berpergian dan pembekuan aset pejabat Korut, larangan ekspor hasil bumi, larangan ekspor barang-barang Korea Utara, membatasi impor bensin, dan mengharuskan warga Korut yang bekerja di luar negeri pulang ke kampung halaman.
Baca juga: Korea Utara Lacak Pembelot Lewat Aplikasi Resep Makanan
Sejak menerima banyak larangan itu, Korut agaknya kesulitan mendapatkan pemasukan negara. Peretasan boleh jadi menjadi alternatif negara untuk mendapatkan pemasukan.
Para ahli PBB yang menyusun laporan panel rahasia tersebut percaya bahwa Korea Utara saat ini akan lebih mengandalkan para peretas untuk menghasilkan pemasukan negara dan mengeruk keuntungan finansial.
Sebagaimana dihimpun dari SCMP, Korea Utara diketahui mengerahkan ribuan pasukan peretas terlatih untuk menyerang perusahaan, institusi, dan peneliti di Korea Selatan dan di tempat lain. Belakangan, pasukan peretasan ini dimanfaatkan untuk mencuri uang kripto.
Pasukan peretas Korea Utara diyakini akan mengumpulkan pemasukan dengan menyerang bursa mata uang kripto. Hal ini mengingat harga bitcoin dan mata uang kripto lainnya tengah melonjak.
Keandalan Korea Utara dalam melakukan perang di ruang maya (cyberwarfare) pertama kali mengemukan pada 2014 silam.
Ketika itu, Korea Utara dituduh meretas rumah produksi film Sony Pictures Entertainment, sebagai balas dendam atas film satir yang mengejek Kim Jong Un, The Interview.
Sebelum kasus pencurian uang kripto kali ini, Korea Utara juga pernah dituduh sebagai dalang di balik pencurian besar-besaran senilai 81 juta dollar AS (kira-kira Rp 1,1 triliun) dari Bank Sentral Bangladesh, serta pencurian 60 juta dollar AS (sekitar Rp 838 miliar) dari Bank Internasional Timur Taiwan.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.