Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Irwan Suhanda
Editor dan Penulis

Editor dan Penulis

kolom

Dunia Maya

Kompas.com - 01/03/2021, 14:12 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEJAK teknologi informasi dan komunikasi merebak di abad ke-21 ini, maka terbukti apa yang dikatakan oleh Marshall McLuhan yang menulis pada tahun 1964: the world is a global village. Dengan kata lain, dunia seolah sudah menjadi sebuah desa yang sangat besar.

Dalam desa yang sangat besar itu komunikasi tiba-tiba menjadi dekat, mudah, langsung, cepat, serentak. Dunia sepertinya tidak bersekat lagi, jarak hanya sejauh sentuhan jari tangan saja.

Teknologi digital ini bisa jadi mengubah perilaku manusia dalam berinteraksi di dunia maya. Termasuk pemanfaatan teknologi digital itu sendiri di dunia maya untuk maksud-maksud tertentu oleh individu atau sekelompok orang.

Akibatnya, kita sekarang seolah tinggal dalam sebuah rumah kaca. Yang di dalam mudah melihat keluar, yang di luar mudah melihat ke dalam.

Oleh karena dunia maya adalah dunia tanpa batas, maka semua seolah serba terbuka. Bukan hanya mudah terlihat, sekaligus memperlihatkan diri juga.

Lihatlah YouTube, Facebook, Instagram, Twitter, WhatsApp, Line, atau media sosial sejenis, bebas ‘unjuk diri’. Siapa saja bisa hadir dan keluar masuk, siapa saja dapat memilih like atau dislike, siapa saja dengan mudah memberikan komentar atau balas komentar, baik yang sopan maupun yang kasar.

Medium is the message, begitu kata Marshall McLuhan, media adalah pesan. Bukan hanya kemudahan dan kecanggihannya dalam menyampaikan pesan, tetapi tingkat kepuasannya juga.

Orang yang terperangkap di dunia maya seperti tiba-tiba lepas ke tengah lapang yang sangat luas, bebas berekspresi, bebas bergaya, bebas berbicara. Terkadang budaya etika lepas begitu saja tanpa disadari. Dunia maya adalah dunia riil yang di dalamnya siapa saja dapat beraksi.

Riset Microsoft

Tajuk Rencana Kompas cetak pada 27 Februari 2021 menulis tentang dunia maya di Indonesia. Dipaparkan bahwa Microsoft mengadakan riset tahunan tentang Digital Civility Index (DCI).

Riset ini melalui survei pada 32 negara dengan 16.000 responden pada April-Mei tahun 2020. Hasilnya, untuk Indonesia khususnya, bahwa Indonesia berada pada urutan ke-29 dari 32 negara yang disurvei dan skornya secara keseluruhan 76.

Hasil penelitian tersebut melaporkan bahwa skor DCI Indonesia tertinggi adalah berita bohong dan penipuan (47 persen), ujaran kebencian (27 persen), diskriminasi (13 persen).

Nilai persentase tersebut menggambarkan situasi interaksi dunia maya di Indonesia sekarang ini. Posisi Indonesia ini hanya lebih baik daripada Meksiko, Rusia, dan Afrika Selatan.

Tujuan Microsoft mengadakan penelitian pada sejumlah negara ini untuk memperlihatkan perilaku warganet terhadap sesama warganet. Apakah saling menghargai atau merusak hubungan sesama warganet.

Dengan demikian, diharapkan hasil penelitian ini menjadi kesempatan yang baik untuk kembali kepada etika komunikasi yang sehat, nyaman, bukan hoaks. Mewaspadai cyber crime yang selalu mencari mangsa. Sebab, apabila kondisi ini dibiarkan akan semakin parah dan menjadi warisan tidak sehat untuk generasi mendatang.

Pada dasarnya selama ini kita sudah memiliki norma sosial dan jati diri yang sangat baik, yaitu ramah, sopan, saling menghargai, menerima perbedaan, gotong royong. Di dalam dunia maya pun sebaiknya seperti ini juga, bukan bertolak belakang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com