Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Gatot Rahardjo
Pengamat Penerbangan

Pengamat penerbangan dan Analis independen bisnis penerbangan nasional

kolom

Ada Apa dengan Penerbangan Indonesia?

Kompas.com - 24/03/2021, 11:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pada pasal 312 disebutkan bahwa Menteri Perhubungan bertanggung jawab terhadap pengawasan keselamatan penerbangan nasional, di mana tugas pengawasan tersebut dalam dilakukan dalam kegiatan audit, inspeksi, pengamatan (surveillance) dan pemantauan (monitoring) untuk melihat pemenuhan peraturan keselamatan penerbangan yang dilaksanakan oleh penyedia jasa penerbangan dan pemangku kepentingan lainnya.

Terkait keselamatan penerbangan, aturan-aturannya bersifat internasional yang ditetapkan oleh ICAO melalui Annex, Documents dan Standart and Recommendation Practises (SaRPs). Aturan-aturan tersebut diadopsi di Indonesia menjadi CASR. Semua pemangku kepentingan, baik itu regulator, operator maupun pihak lain terkait, termasuk masyarakat, harus mengikuti aturan tersebut, tidak boleh menyimpang atau membuat aturan sendiri.

Baca juga: KNKT Terbitkan Laporan Lion Air JT610, Ungkap Penyebab Kecelakaan

Dalam melaksanakan tugasnya, Menteri Perhubungan dibantu oleh beberapa istitusi di bawahnya. Termasuk di antaranya adalah KNKT yang bertugas melakukan investigasi dan penelitian kecelakaan transportasi. Investigasi KNKT tidak untuk mencari siapa yang salah dalam suatu kecelakaan, tetapi mencari apa akar penyebab dan kemudian memberikan rekomendasi kepada berbagai pihak terkait seperti regulator, operator dan lainnya.

Namun rekomendasi KNKT ternyata tidak sepenuhnya dilaksanakan. Pada periode 2015-2020, dari sekitar 241 rekomendasi terkait penerbangan, sejumlah 125 atau 52 % rekomendasi belum ditindaklanjuti. Bahkan pada tahun 2020, hingga akhir tahun belum ada rekomendasi KNKT yang dilaksanakan.

Akar permasalahan

Tahun 2020, akibat pandemi Covid-19, penerbangan global termasuk penerbangan nasional memang mendapat dampak yang serius. Banyak maskapai berhenti beroperasi bahkan bangkrut. Ribuan pesawat tidak terbang dan jumlah penumpang turun tajam hingga tinggal 40-50 % dibanding sebelum pandemi.

Jadi dapat dimaklumi jika rekomendasi KNKT belum dapat dilaksanakan. Karena pemenuhan rekomendasi bisa berimplikasi keluarnya biaya yang tidak sedikit.

Namun menjadi aneh kalau hal tersebut sudah terjadi sejak tahun 2015, di mana seharusnya kondisi penerbangan normal. Apakah maskapai kekurangan dana untuk membiayai pemenuhan rekomendasi tersebut?

Jika melihat kenyataannya, ada indikasi kehidupan maskapai penerbangan Indonesia memang sudah parah sejak sebelum pandemi. Dapat dilihat dari laporan keuangan maskapai yang sudah melantai di bursa saham seperti Garuda Group dan Indonesia AirAsia.

Garuda Group tahun 2014 rugi Rp 4,87 triliun, tahun 2015 untung Rp 1,07 triliun tapi karena penyusutan beban usaha dan bukan karena pendapatan usaha yang justru turun, tahun 2016 untung Rp 124 miliar, tahun 2017 rugi Rp2,98 triliun, tahun 2018 rugi Rp 2,45 triliun dan tahun 2019 untung Rp 97,72 miliar karena menaikkan harga tiket dan mengurangi frekuensi terbang. Dapat dilihat, jumlah keuntungan tidak sebanding dengan jumlah kerugian yang diderita.

Indonesia AirAsia group, pada tahun 2018 melaporkan kerugian Rp907 miliar dan tahun 2019 rugi Rp157,4 miliar (kurs Rp 14.000).

Sriwijaya Group, pada Oktober 2018, menyatakan berhutang Rp2,46 triliun kepada Garuda Indonesia Group, PT. Pertamina, Angkasa Pura I dan II serta Airnav Indonesia.

Lion Group seperti juga Sriwijaya bukan perusahaan terbuka sehingga laporan keuangannya tidak bisa diakses publik. Namun pada tahun 2020, terdengan isu Lion Group akan mengecilkan kapasitas bisnisnya dengan membentuk maskapai baru. Apakah ini menandakan mereka juga kesulitan keuangan?

Pada tahun 2020 ini, hampir dapat dipastikan semua maskapai mengalami kerugian karena terdampak pandemi Covid-19.

Baca juga: Pesawat Trigana Air Tergelincir di Halim, Semua Penerbangan Dialihkan ke Soekarno-Hatta

Jika hanya satu maskapai yang kesulitan keuangan, tentu masih wajar. Namun menjadi tidak wajar dan berbahaya jika hampir semua maskapai kesulitan keuangan. Karena bisa jadi akan berdampak pada keselamatan penerbangan dan pertumbuhan perekonomian nasional.
Biaya pemenuhan keselamatan yang besar dan wajib dipenuhi maskapai, dalam kondisi keuangan yang cukup parah, bisa saja menimbulkan upaya-upaya untuk tidak memenuhi atau menunda pemenuhan keselamatan.

Atau jika terpaksa memenuhi biaya keselamatan, bisa saja kelangsungan hidup maskapai tidak akan lama dan bisa bangkrut atau paling tidak mengecilkan skala bisnisnya. Hal ini dapat berpengaruh pada pertumbuhan perekonomian nasional karena ketiadaan transportasi udara di Indonesia yang wilayah geografisnya kepulauan ini sudah terbukti menimbulkan kontraksi negatif. Contohnya di tahun 2020, dari laporan BPS pertumbuhan ekonomi minus 2,07 persen dengan penyumbang kontribusi terparah adalah adalah menurunnya sektor transportasi (termasuk pesawat) dan pergudangan yang tercatat minus 15,04 persen.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com