Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

[POPULER TEKNO] Scammer Indonesia Curi Uang Bansos Amerika, Merger Gojek-Tokopedia, hingga Jack Ma yang Muncul Lagi

Kompas.com - 19/04/2021, 11:35 WIB
Bill Clinten,
Oik Yusuf

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Menipu warga negara sendiri? No. Menipu warga negara asing? Yes. Itulah yang dilakukan oleh dua penipu digital (scammer) asal Indonesia yang berhasil mengelabui warga Amerika Serikat (AS) untuk mendapatkan uang miliaran rupiah.

Kemudian, ada dua perusahaan unicorn raksasa asal Indonesia nih, Gojek dan Tokopedia yang kabarnya bakal digabung menjadi GoTo. Lalu Coinbase, perusahaan kripto pertama yang resmi melantai (initial public offering/IPO) di bursa saham AS.

Selain itu ada juga Helo, medsos anyar dari pembuat TikTok, yang meluncur di Indonesia minggu lalu. Terus, Jack Ma pendiri Alibaba muncul di publik, padahal sebelumnya dia hilang berbulan-bulan.

Duo scammer, rumor GoTo, Coinbase yang IPO, Helo, dan Jack Ma ini masuk ke dalam daftar berita terpopuler di ranah teknologi pekan lalu. Yuk kita bahas satu-satu.

Scammer Indonesia gasak duit warga Amerika

Jadi, kedua penipu ini terkuak ke publik karena Tim Siber Ditreskrimus Polda Jawa Timur berhasil ngeringkus mereka pada 1 Maret 2021 lalu di Surabaya, Jawa Timur.

Kedua pelaku yang berinisial SFR dan MZMSBP ini sebenarnya sudah menjalankan aksi kejahatannya sejak Mei 2020 lalu.

Mereka bersekongkol membuat situs web palsu atau scampage yang meniru sitsu web resmi bantuan sosial Covid-19 milik pemerintah AS.

Baca juga: Scammer Indonesia Curi Rp 875 MIliar dari Bansos Covid-19 Amerika

Untuk mendapatkan keuntungan, pelaku memanfaatkan program Pandemic Unemployment Assistance (PUA), yaitu bantuan ekonomi dari pemerintah AS bagi warga yang menganggur karena pandemi.

Gimana cara menipunya?

Setelah meringkus kriminal, pihak kepolisian biasanya bakal menggeledah tempat yang digunakan untuk aksi kejahatan dan/atau menyita barang-barang bukti terkait. Untuk kasus ini, pihak kepolisian menemukan dokumen skrip scampage di dalam laptop milik MZMSBP.

MZMSBP berperan sebagai pembuat situs web palsu, sementara SFR bertindak sebagai penyebar yang menggunakan software untuk mengirimkan SMS blast ke sekitar 20 juta warga negara AS.

Di SMS tersebut, terlampir tautan yang mengarah ke situs bantuan sosial Covid-19 palsu yang telah dibuat MZMSBP. Dari 20 juta SMS yang dikirim, sebanyak 30.000 warga negara AS merespons dengan mengisi formulir yang telah disediakan pelaku.

Para warga AS yang terkecoh ini juga melampirkan data diri mereka yang kemudian dikumpulkan oleh SFR. Data tersebut lantas diserahkan SFR ke pelaku lain berinisial S yang saat ini masih berstatus DPO (daftar pencarian orang).

Dapat uangnya dari mana?

Tersangka S, yang diduga warga negara India, lantas menggunakan data pribadi warga negara AS tersebut untuk meminta bantuan ke pemerintah AS lewat program PUA.

Menurut kebijakan program tersebut, setiap warga negara yang terdaftar berhak mendapatkan bantuan senilai 2.000 dollar AS atau sekitar Rp 30 juta (kurs Rp 14.600).

Dengan kata lain, para pelaku ini menyamar sebagai warga negara AS penerima bantuan dengan menggunakan data pribadi mereka yang dicuri tadi.

Baca juga: Nama Perusahaan yang Membantu FBI Meretas iPhone Akhirnya Terungkap

Menurut keterangan polisi, para tersangka berhasil menggasak duit yang jumlahnya nggak main-main, sampai 60 juta dollar AS atau setara Rp 875 miliar!

Uang ini masuk seluruhnya ke kantong S, sementara itu SFR dan MZMSBP mendapat "gaji" 30.000 dolar AS (sekitar Rp 437 juta) per bulan. Gaji itu sudah ada di kantong kedua orang tersebut ketika mereka ditangkap.

Investigasi tiga bulan bareng FBI

Ilustrasi FBI.Shutterstock Ilustrasi FBI.

Sebelum meringkus kelompok penipu ini, pihak kepolisian sempat melakukan penyelidikan selama tiga bulan dengan koordinasi ke Mabes Polri dan Biro Investigasi Federal (FBI) di AS. Sekarang pun kasusnya masih terus didalami sambil komunikasi dengan FBI.

SFR dan MZMSBP terancam dijerat dengan pasal 32 ayat (2) Jo pasal 48 ayat (2) UU RI nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik Jo pasal 55 ayat (1) KUHP.

Mereka menghadapi ancaman hukuman 9 tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp 3 miliar. Kok kayaknya lebih sedikit ya dibanding cuan yang mereka dapatkan tadi?

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com