Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Gatot Rahardjo
Pengamat Penerbangan

Pengamat penerbangan dan Analis independen bisnis penerbangan nasional

kolom

S.O.S Garuda, S.O.S Indonesia

Kompas.com - 25/05/2021, 18:34 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Jumlah rute dan frekuensi juga menyusut. Maskapai mendapat keuntungan, walaupun sedikit. Namun apa lacur, ditambah dengan kasus-kasus lain, manajemen Garuda baik direksi maupun di bawahnya diganti.

Tahun 2019, dengan sedikit pembangkangan terhadap keinginan pemerintah, maskapai nasional, tak hanya Garuda, bisa mendapat keuntungan atau setidaknya pendapatannya naik.

Pandemi Covid 19

Tahun 2020 menjadi tahun yang kelam bagi dunia penerbangan. Orang-orang takut terbang atau dilarang terbang agar tidak tertular atau menularkan Covid 19. Jumlah penumpang pesawat menurun drastis hingga lebih dari 50 persen.

Di Indonesia, momen mudik lebaran yang biasanya menjadi musim panen maskapai, selama 2 tahun ini ditiadakan. Semua maskapai kalang kabut, termasuk Garuda. Program mempertahankan hidup, yang dibungkus dengan kata-kata restrukturisasi perusahaan, pun dilakukan.

Baca juga: Bos Garuda Ungkap Alasan Tawarkan Karyawan Pensiun Dini

Karyawan dirumahkan, diputus kontrak atau bahkan disuruh resign. Pesawat dikandangkan, dibalikin pada lessor atau dijual. Rute-rute dan frekuensi penerbangan yang tidak menguntungkan ditutup atau dikurangi. Semua maskapai Indonesia sudah mengalami hal itu.

Karena untuk mendapat pendapatan saat ini sangat sulit, jadi hitung-hitungan logisnya adalah mengurangi biaya agar bisnis tetap berjalan. Atau jika tidak bisa bertahan ya terpaksa berhenti beroperasi atau bangkrut.

Perang harga

Sayangnya, di tengah kondisi yang demikian, maskapai justru tidak kompak dan masih melakukan perang harga murah. Alasannya untuk meningkatkan jumlah penumpang. Padahal jumlah penumpang yang banyak belum tentu maskapai juga untung. Masih ada hal lain yang menentukan yaitu harga tiket dan jumlah penerbangan yang berarti biaya.

Penumpang banyak, namun harga tiket rendah dan penerbangan juga banyak, hasilnya akan membuat keuntungan maskapai kecil, bahkan bisa saja rugi. Begini contoh hitungan sederhananya. Jumlah penumpang 100 x harga tiket 50 – biaya penerbangan 375 (@75 x 5 penerbangan) = 125.

Coba bandingkan jika penumpang 70 x harga tiket 70 – biaya penerbangan 300 (@75 x 4 penerbangan) = 190. Lebih untung kan? Belum lagi biaya-biaya untuk melayani penumpang juga turun karena jumlah penumpangnya lebih sedikit.

Itulah yang dilakukan manajemen Garuda di tahun 2019. Namun tentu saja Garuda sebagai BUMN tidak bisa leluasa melakukan siasat seperti itu. Harga tiket harus tidak terlalu mahal, namun harus tetap untung.

Pemerintah percaya bahwa jumlah penumpang dan jumlah penerbangan yang selalu meningkat setiap tahun berarti merupakan keberhasilan sektor penerbangan. Jumlah penumpang yang turun menjadi aib dan bukan berita yang baik. Sementara maskapai diminta menentukan nasibnya sendiri. Bagi Garuda, tentu saja juga berarti nasib para direksinya.

Alhasil harga tiket Garuda yang turun pun pada akhirnya membuat harga tiket maskapai turun. Logikanya sederhana, jika Garuda (maskapai full service) menjual tiket mendekati atau seharga Sriwijaya Air (medium service), tentu Sriwijaya Air otomatis menurunkan harga tiket agar penumpangnya tidak lari ke Garuda.

Baca juga: Likuiditas Makin Menurun, Sriwijaya Air Resmi Minta Pegawai Resign

Imbasnya, harga tiket Lion dan Citilink (maskapai tanpa layanan) yang berada di bawah Sriwijaya, juga pasti akan lebih turun lagi agar penumpangnya tidak lari ke Sriwijaya. Begitu gambarannya perang tarif.

Apakah Garuda salah? Tidak juga. Karena itu adalah keinginan pemerintah. Aturan tentang tarif penerbangan juga tidak memisahkan secara adil antara maskapai layanan penuh, medium dan tanpa layanan. Jadi Garuda bisa menjual tiket seharga Sriwijaya Air, bahkan kalau perlu bisa seharga Lion Air.

Agar maskapai di tataran bawah tidak terus tertekan, biasanya mereka memperbanyak rute dan frekuensi. Sehingga penumpang diharapkan bisa memilih jam-jam terbang yang lebih sesuai dengan ketentuannya dan sedikit mengabaikan harga tiket. Jika tidak bisa, ya tinggal menunggu nasib baik saja maskapainya. Begitu kira-kira gambaran bisnis penerbangan di Indonesia selama ini.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com