Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Gatot Rahardjo
Pengamat Penerbangan

Pengamat penerbangan dan Analis independen bisnis penerbangan nasional

kolom

S.O.S Garuda, S.O.S Indonesia

Kompas.com - 25/05/2021, 18:34 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Good and Reliable Under Dutch Administration. Begitu candaan di kalangan penerbangan untuk kepanjangan dari Garuda, maskapai kebanggaan bangsa Indonesia.

Candaan ini didasarkan pada kenyataan sebenarnya, karena awalnya Garuda adalah maskapai dari Pemerintah Belanda yang beroperasi di Indonesia, yaitu KNILM-IIB yang kemudian diserahkan ke Indonesia pasca-Koferensi Meja Bundar pada Desember 1949. Maskapai seserahan ini kemudian oleh Bung Karno diberi nama Garuda.

Setelah di pelukan Indonesia, Garuda memang berkembang pesat. Maskapai ini pernah mendapat julukan “maskapai terbesar di belahan Bumi bagian selatan” pada era tahun 1970-1980an karena banyaknya armada yang dimiliki. Di era setelah tahun 2000-an Garuda juga sempat masuk dalam jajaran 10 besar maskapai terbaik di dunia versi lembaga survey berpengaruh, Skytrax.

Baca juga: Dilarang Angkut Penumpang Saat Lebaran, Ini Strategi Garuda Indonesia

Namun semua itu bukan berarti Garuda adalah sebuah maskapai yang berhasil dan sehat. Karena pada setiap akhir tahun, hampir selalu laporan keuangannya membukukan kerugian.

Ada beberapa tahun laba, namun jumlahnya masih kalah jauh dibanding kerugiannya.
Bongkar pasang direksi dan pengelolaan karyawan Garuda pun dilakukan dari dulu hingga kini. Dengan isu yang hampir selalu sama, untuk menyehatkan perusahaan Garuda, maskapai kebanggan Indonesia.

Makanya timbul candaan itu, apa sebaiknya Garuda dibalikin saja ke Belanda agar jadi lebih baik?

Bisnis maskapai

Memang tidak mudah mengelola sebuah maskapai penerbangan. Sebagai sebuah perusahaan yang menggunakan teknologi sangat tinggi dan sangat diminati masyarakat, pada kenyataannya hanya mempunyai margin keuntungan di bawah 5 persen. Banyak maskapai di dunia yang hanya berumur di bawah 5 tahun.

Biaya yang ditanggung maskapai penerbangan sangat tinggi, baik biaya operasional maupun yang lain seperti pengadaan dan perawatan pesawat. Seperti misalnya Garuda dan lainnya, sebagian besar biaya dalam bentuk dollar AS. Misalnya untuk pengadaan dan perawatan pesawat (harga 1 pesawat bisa mencapai Rp 1 triliun rupiah).

Bahan bakar (avtur) yang sebagian besar dipasok Pertamina, harganya juga mengacu pada pergerakan harga minyak dunia yang hitungannya dalam dollar AS.

Sementara pemasukannya sebagian besar dalam bentuk rupiah, seperti dari tiket, jasa angkutan kargo, iklan dan lainnya. Jadi jika nilai tukar rupiah melemah terhadap dollar AS, sudah pasti maskapai nasional tekor.

Pengaruh sosial politik

Pasar Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh iklim sosial politik. Terutama pada Garuda yang merupakan badan usaha milik negara (BUMN) dan tentu saja harus melaksanakan operasionalnya berdasarkan mandat sosial-politik-ekonomi yang diberikan pemerintah.

Mau bukti? Lihat saja di tahun 2018-2019, di mana maskapai beramai-ramai menaikkan harga tiket untuk menambah pendapatan karena sudah tidak kuat menanggung kerugian. Maskapai juga mengurangi rute dan frekuensi penerbangan yang dianggap merugikan. Akibatnya rakyat resah. Pemerintah kalang kabut. Apalagi tahun itu adalah tahun politik.

Ilustrasi Pesan Tiket Pesawat sebagai Bagian dari Rencana PerjalananSHUTTERSTOCK Ilustrasi Pesan Tiket Pesawat sebagai Bagian dari Rencana Perjalanan

Pemerintah melalui Menteri Perhubungan dan beberapa kementerian lain sampai membuat skema untuk menurunkan harga tiket pesawat. Yang menjadi kambing hitam, siapa lagi kalau bukan Garuda. Garuda sebagai maskapai full service dan punya nama besar, adalah price leader. Kalau Garuda menaikkan harga tiket, maskapai lain pasti mengikuti. Begitu pula sebaliknya.

Padahal, apa yang dilakukan manajemen Garuda saat itu tidak menyalahi aturan. Harga tiket yang dijual, masih di dalam koridor harga tiket yang ditetapkan Menteri Perhubungan. Namun iklim sosial politik berkata lain. Gejolak di masyarakat harus diredam. Pemerintah pun menekan maskapai yang saat itu posisinya sudah sangat sulit.

Manajemen Garuda memang tidak sepenuhnya mematuhi apa keinginan pemerintah. Di laporan akhir tahun 2019 terlihat bahwa yield atau bisa diartikan harga tiket, lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya.

Jumlah rute dan frekuensi juga menyusut. Maskapai mendapat keuntungan, walaupun sedikit. Namun apa lacur, ditambah dengan kasus-kasus lain, manajemen Garuda baik direksi maupun di bawahnya diganti.

Tahun 2019, dengan sedikit pembangkangan terhadap keinginan pemerintah, maskapai nasional, tak hanya Garuda, bisa mendapat keuntungan atau setidaknya pendapatannya naik.

Pandemi Covid 19

Tahun 2020 menjadi tahun yang kelam bagi dunia penerbangan. Orang-orang takut terbang atau dilarang terbang agar tidak tertular atau menularkan Covid 19. Jumlah penumpang pesawat menurun drastis hingga lebih dari 50 persen.

Di Indonesia, momen mudik lebaran yang biasanya menjadi musim panen maskapai, selama 2 tahun ini ditiadakan. Semua maskapai kalang kabut, termasuk Garuda. Program mempertahankan hidup, yang dibungkus dengan kata-kata restrukturisasi perusahaan, pun dilakukan.

Baca juga: Bos Garuda Ungkap Alasan Tawarkan Karyawan Pensiun Dini

Karyawan dirumahkan, diputus kontrak atau bahkan disuruh resign. Pesawat dikandangkan, dibalikin pada lessor atau dijual. Rute-rute dan frekuensi penerbangan yang tidak menguntungkan ditutup atau dikurangi. Semua maskapai Indonesia sudah mengalami hal itu.

Karena untuk mendapat pendapatan saat ini sangat sulit, jadi hitung-hitungan logisnya adalah mengurangi biaya agar bisnis tetap berjalan. Atau jika tidak bisa bertahan ya terpaksa berhenti beroperasi atau bangkrut.

Perang harga

Sayangnya, di tengah kondisi yang demikian, maskapai justru tidak kompak dan masih melakukan perang harga murah. Alasannya untuk meningkatkan jumlah penumpang. Padahal jumlah penumpang yang banyak belum tentu maskapai juga untung. Masih ada hal lain yang menentukan yaitu harga tiket dan jumlah penerbangan yang berarti biaya.

Penumpang banyak, namun harga tiket rendah dan penerbangan juga banyak, hasilnya akan membuat keuntungan maskapai kecil, bahkan bisa saja rugi. Begini contoh hitungan sederhananya. Jumlah penumpang 100 x harga tiket 50 – biaya penerbangan 375 (@75 x 5 penerbangan) = 125.

Coba bandingkan jika penumpang 70 x harga tiket 70 – biaya penerbangan 300 (@75 x 4 penerbangan) = 190. Lebih untung kan? Belum lagi biaya-biaya untuk melayani penumpang juga turun karena jumlah penumpangnya lebih sedikit.

Itulah yang dilakukan manajemen Garuda di tahun 2019. Namun tentu saja Garuda sebagai BUMN tidak bisa leluasa melakukan siasat seperti itu. Harga tiket harus tidak terlalu mahal, namun harus tetap untung.

Pemerintah percaya bahwa jumlah penumpang dan jumlah penerbangan yang selalu meningkat setiap tahun berarti merupakan keberhasilan sektor penerbangan. Jumlah penumpang yang turun menjadi aib dan bukan berita yang baik. Sementara maskapai diminta menentukan nasibnya sendiri. Bagi Garuda, tentu saja juga berarti nasib para direksinya.

Alhasil harga tiket Garuda yang turun pun pada akhirnya membuat harga tiket maskapai turun. Logikanya sederhana, jika Garuda (maskapai full service) menjual tiket mendekati atau seharga Sriwijaya Air (medium service), tentu Sriwijaya Air otomatis menurunkan harga tiket agar penumpangnya tidak lari ke Garuda.

Baca juga: Likuiditas Makin Menurun, Sriwijaya Air Resmi Minta Pegawai Resign

Imbasnya, harga tiket Lion dan Citilink (maskapai tanpa layanan) yang berada di bawah Sriwijaya, juga pasti akan lebih turun lagi agar penumpangnya tidak lari ke Sriwijaya. Begitu gambarannya perang tarif.

Apakah Garuda salah? Tidak juga. Karena itu adalah keinginan pemerintah. Aturan tentang tarif penerbangan juga tidak memisahkan secara adil antara maskapai layanan penuh, medium dan tanpa layanan. Jadi Garuda bisa menjual tiket seharga Sriwijaya Air, bahkan kalau perlu bisa seharga Lion Air.

Agar maskapai di tataran bawah tidak terus tertekan, biasanya mereka memperbanyak rute dan frekuensi. Sehingga penumpang diharapkan bisa memilih jam-jam terbang yang lebih sesuai dengan ketentuannya dan sedikit mengabaikan harga tiket. Jika tidak bisa, ya tinggal menunggu nasib baik saja maskapainya. Begitu kira-kira gambaran bisnis penerbangan di Indonesia selama ini.

S.O.S Indonesia

Sayangnya, bisnis model begini tidak membuat maskapai sejahtera. Dari laporan keuangan Garuda, Indonesia AirAsia serta pemberitaan tentang Sriwijaya Air dan maskapai lain selama 5 tahun belakangan ini, lebih banyak rugi. Ditambah dengan pandemi Covid 19, kondisi maskapai kita makin menderita.

Jika keadaan sudah seperti ini, tentu juga peringatan bagi pemerintah Indonesia. Akan banyak pengangguran, akan banyak rute yang ditutup, frekuensi penerbangan berkurang dan lainnya.

Padahal penerbangan sampai saat ini masih belum bisa tergantikan untuk mengirim orang atau barang antar pulau secara cepat, selamat dan aman. Jika tidak ada penerbangan, pengiriman orang atau barang (kargo) akan terhambat.

Suasana Bandara Soekarno-Hatta di Kota Tangerang tepat satu hari usai laranhan mudik Lebaran, Selasa (18/5/2021). KOMPAS.com/MUHAMMAD NAUFAL Suasana Bandara Soekarno-Hatta di Kota Tangerang tepat satu hari usai laranhan mudik Lebaran, Selasa (18/5/2021).

Badan Pusat Statistik (BPS) sudah mencatat di tahun 2020 dan awal 2021 bahwa jika penerbangan turun, pertumbuhan ekonomi nasional juga turun.

Sekarang bola-nya ada di Pemerintah c.q Kementerian Perhubungan sebagai regulator penerbangan nasional. Karena semua maskapai mengalami masalah yang sama, berarti harus ada penanganan secara menyeluruh, tidak bisa ditangani satu-satu per maskapai.

Baca juga: Larangan Mudik Berakhir, Bandara Soekarno-Hatta Mulai Dipadati Penumpang Pesawat

Bantuan harus segera diberikan. Bukan berarti harus dana segar, tapi bisa juga berupa kebijakan yang meringankan. Misalnya kebijakan terkait tarif, keringanan pembelian avtur, bea masuk sparepart, belanja pemerintah untuk semua maskapai secara adil, kebijakan pengangkutan vaksin pakai maskapai lokal dan sebagainya.

Menteri Perhubungan harus hadir, karena tugas pokok regulator selain terkait masalah keselamatan dan keamanan penerbangan, juga memastikan penerbangan bisa berjalan secara kontinyu, berkesinambungan.

Selama pandemi ini, kementerian perhubungan lebih banyak melakukan larangan perjalanan dan semacamnya, sehingga terkesan hanya menjadi bagian dari satgas penanganan Covid 19. Sedikit sekali kebijakan yang mendukung kelangsungan transportasi nasional. Fungsi sebagai regulator transportasi nasional, termasuk penerbangan, tidak begitu tampak.

Jika tidak sanggup menangani, ada baiknya dibentuk badan tersendiri yang terdiri dari orang-orang profesional untuk menangani penerbangan nasional sehingga berjalan sehat, berkembang dan berkesinambungan.

Ini bukan perkara membantu Garuda atau para pebisnis di maskapai penerbangan, tapi juga membantu menyelamatkan masa depan Indonesia!

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com