Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Gatot Rahardjo
Pengamat Penerbangan

Pengamat penerbangan dan Analis independen bisnis penerbangan nasional

kolom

Pura-pura Menyelamatkan Garuda

Kompas.com - 04/06/2021, 14:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Beberapa hari ini tersiar kabar niat pemerintah yang diwakili Menteri BUMN, Erick Thohir untuk menyelamatkan Garuda Indonesia dari kebangkrutan. Maskapai kebanggaan Indonesia yang telah mengudara selama 72 tahun tersebut katanya sakit akut. Utangnya mencapai Rp 70 triliun dan akan bertambah Rp 1 triliun tiap bulan.

Ada 4 opsi penyelamatan yang dipaparkan. Pertama terus mendukung Garuda melalui pinjaman atau ekuitas, kedua restrukturisasi Garuda dengan hukum perlindungan kebangkrutan, ketiga restrukturisasi Garuda dengan menyiapkan maskapai baru sebagai pendamping, dan keempat melikuidasi atau menutup maskapai ini.

Yakinkah tiga opsi pertama tersebut dapat menyelamatkan Garuda? Atau jika opsi keempat diambil, yakinkah penerbangan nasional Indonesia akan membaik?

Restrukturisasi

Restrukturisasi sudah sering dilakukan Garuda. Di tahun 1998, Garuda pun nyaris bangkrut imbas krisis ekonomi dan hutang menumpuk akibat sewa pesawat. Pemerintah kemudian menunjuk almarhum Robby Djohan sebagai Dirut.

Robby bersama Direktur Keuangan Emirsyah Sattar mendatangi para lessor dan pabrik pesawat sambil berkata kalem, ”Saya ke sini bukan untuk menyelesaikan masalah saya, tapi masalah Anda! Jika Garuda bangkrut, tak akan bisa membayar pinjaman, Anda yang rugi.”

Perundingan yang alot, tetapi membuahkan hasil.

Robby juga mengurangi rute dan frekuensi penerbangan yang rugi, mengurangi jumlah karyawan dan lainnya. Garuda pun seperti terlahir kembali.

Baca juga: Sederet Penyebab Krisis Keuangan Garuda Indonesia

Pasca-Robby Djohan, Garuda dipimpin berbagai macam profesional, dari dalam maupun luar organisasi, termasuk Emirsyah Sattar. Strategi dan aksi korporasi dilakukan, termasuk penghematan operasional.

Emirsyah Satar.KOMPAS/HARYO DAMARDONO Emirsyah Satar.

Apakah kondisi Garuda membaik? Secara layanan, iya. Garuda pernah menjadi 10 besar maskapai terbaik di dunia. Namun secara operasional dan keuangan, tidak! Garuda kembali mengulangi sejarahnya. Lebih banyak rugi dibanding untung.

Tahun 2019, direksi yang dipimpin Ari Askhara kembali melakukan restrukturisasi. Anda dapat melihatnya di laporan keuangan tahun 2019. Jumlah penerbangan Garuda group (Garuda dan Citilink) dikurangi dari 299.113 penerbangan (tahun 2018) menjadi 233.320 penerbangan atau turun hampir 22persen.

Banyak rute ditutup dan jumlah frekuensi penerbangan dikurangi karena selalu rugi. Yield dinaikkan dari 6,63 sen dolar AS menjadi 7,97 sen atau naik sekitar 20 persen. Naiknya yield berarti juga naiknya tarif (bisa diartikan naiknya harga tiket). Selama tahun 2019, Garuda rata-rata menaikkan tarif sebesar 25 persen.

Biasanya mereka menjual 60 persen dari tarif yang ditetapkan Kementerian Perhubungan, dan tahun 2019 itu menjual hingga 85 persen. Sedangkan Citilink bahkan menaikkan tarif sebesar 40 persen, yaitu dari 30 persen menjadi 70 persen. Hasilnya, Garuda Group mencatatkan untung setelah tahun-tahun sebelumnya rugi besar.

Namun harus dicatat pula bahwa sepanjang tahun itu masyarakat resah karena harga tiket pesawat melambung tinggi. Jumlah penumpang pesawat nasional turun drastis, dari 138,2 juta (2018) menjadi 116,7 juta penumpang.

Pemerintah uring-uringan dengan sikap Garuda itu. Apalagi sikap Garuda kemudian diikuti maskapai lain seperti Lion Group. Pemerintah bahkan sampai harus memanggil pimpinan semua maskapai dan kemudian membuat skema untuk menurunkan harga tiket.

Dari sejarah itu, dapat disimpulkan bahwa restrukturisasi internal Garuda tidak gampang dan juga tidak selalu membuahkan hasil positif. Garuda sebagai moda transportasi yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mempunyai masalah yang kompleks.

Baca juga: S.O.S Garuda, S.O.S Indonesia

Misalnya, banyak penerbangan yang merupakan penugasan dari negara yang tetap harus mereka terbangi, walaupun rugi. Seperti untuk ke daerah tertinggal, terluar, terdalam atau rawan bencana. Maskapai swasta tentu tidak mau terbang, karena sudah pasti rugi.

Direktorat Angkutan Udara Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan mencatat bahwa pada tahun 2019, sektor transportasi udara itu mempunyai 4,2 juta pekerja. Kontribusi nilai tambah kotor kepada produk domestik bruto (PDB) mencapai 24 miliar dollar AS.

Sedangkan kontribusi transportasi udara dan pariwisata yang menggunakan pesawat mencapai 2,6 persen dari PDB. Itu baru di internal penerbangan. Belum lagi pada sektor-sektor yang menggantungkan dirinya pada penerbangan, karena sektor ini merupakan multiplier effect, misalnya pada sektor pariwisata dan perdagangan.

Berapa wisatawan yang masuk dengan pesawat dan belanja di Indonesia. Berapa banyak e-commerce yang harus berterimakasih pada maskapai karena barangnya bisa diangkut dengan cepat, selamat dan aman. Ingatlah bahwa wilayah Indonesia berbentuk kepulauan, dan untuk pengiriman barang yang cepat hanya bisa dilakukan dengan pesawat.

Apa jadinya jika jumlah penerbangannya dikurangi hingga 50 persen karena maskapai Indonesia melakukan restrukturisasi (baca: mengurangi) pesawat, rute dan frekuensi penerbangan? Maukah pemerintah menerima kenyataan ini? Sulit dibayangkan.

Komisaris atau Avtur?

Yang juga ramai diperbincangkan terkait Garuda adalah tentang jajaran komisaris yang minta tidak digaji. Juga keinginan Erick Thohir untuk mengurangi jumlah komisaris Garuda dari lima menjadi dua orang saja. Semua dilakukan untuk mengurangi biaya.

Namun tahukah anda bahwa biaya gaji dan tunjangan karyawan termasuk komisaris itu sangat kecil dibanding biaya-biaya lainnya?

Dari laporan keuangan tahun 2018, struktur biaya yang ditanggung Garuda adalah biaya operasional 60persen, pemeliharaan dan perbaikan 11 persen, beban bandara 9 persen, beban tiket -penjualan -promosi 7 persen, beban layanan penumpang 6 persen, beban administrasi umum 5persen, beban operasional- transportasi hotel dan lainnya 2 persen.

Depot Pengisian Pesawat Udara Hang Nadim, Batam, Kepri terus meningkatkan pelayanannya dalam menyediakan avtur terhadap sejumlah maskapai yang ada di Bandara Hang Nadim, Batam. Hal ini bertujuan untuk membantu kelancaran tranfortasi udara guna mempersingkat jarak dan waktu antara daerah satu ke daerah lainnya yang ada di Indonesia.KOMPAS.COM/ HADI MAULANA Depot Pengisian Pesawat Udara Hang Nadim, Batam, Kepri terus meningkatkan pelayanannya dalam menyediakan avtur terhadap sejumlah maskapai yang ada di Bandara Hang Nadim, Batam. Hal ini bertujuan untuk membantu kelancaran tranfortasi udara guna mempersingkat jarak dan waktu antara daerah satu ke daerah lainnya yang ada di Indonesia.

Gaji dan tunjangan masuk dalam beban layanan penumpang, yaitu 39 persen. Jumlahnya kecil sekali. Bandingkan dengan beban biaya operasional yang di dalamnya termasuk biaya avtur 51 persen dan sewa dan carter pesawat 40 persen.

Baca juga: Dampak Virus Corona, Pemerintah Bahas Kemungkinan Penurunan Harga Avtur

Jadi daripada meributkan masalah komisaris, lebih baik membenahi masalah avtur yang sangat besar pengaruhnya bagi pembiayaan maskapai. Lebih baik memikirkan bagaimana agar harga avtur bisa lebih rendah dengan negara tetangga, atau mekanisme pembayaran avtur yang lebih meringankan bagi maskapai.

Pasokan avtur di dalam negeri dikuasai di bawah Pertamina, BUMN yang tentu berada di bawah kuasa Kementerian BUMN. Bisnis avtur juga merupakan bagian kecil dari bisnis Pertamina. Seharusnya jika ada kebijakan keringanan avtur bagi maskapai, pengaruhnya kecil bagi Pertamina.

Soal komisaris Garuda, dari pada dikurangi, lebih baik diganti dengan orang-orang yang lebih kredible dan mempunyai pengetahuan baik terkait penerbangan. Bisa dilakukan tender terbuka dan target khusus untuk membenahi Garuda dengan waktu tertentu. Bukankah hal itu akan lebih bermakna bagi Garuda?

Sedangkan untuk restrukturisasi hutang terkait sewa dan carter pesawat, silahkan dilanjutkan karena hal tersebut memang penting. Sudah sejak tahun 2019 saya ingatkan hal ini. Silahkan googling pemberitaan terkait penerbangan nasional tahun itu, banyak himbauan saya agar pemerintah turun membantu maskapai melakukan negosiasi hutang.

Jangan cuma pura-pura

Perlu diingat bahwa saat ini bukan hanya Garuda saja yang sakit. Seluruh maskapai nasional sakit dan terancam pailit, sebut saja misalnya Lion Air Group, Sriwijaya Group, Indonesia AirAsia Graoup dan lainnya.

Lion bahkan sepertinya telah punya strategi restrukturisasi dengan membuat maskapai baru bernama Super Air Jet, jika maskapai induk tidak bisa diselamatkan.

Sakitnya maskapai bukan hanya karena pandemi saja, jauh sebelumnya pun sudah sakit. Anda dapat mencari buktinya dengan mudah dari laporan keuangan maskapai dan pemberitaan yang beredar sebelum tahun 2020.

Penerbangan nasional ibarat kolam yang sudah keruh airnya. Jika kita memasukkan ikan segar ke kolam yang keruh, apa yakin ikannya dapat hidup sehat dan membuat kolam menjadi jernih? Atau justru ikannya yang akan sakit dan mati?

Penampakan maskapai baru Super Air Jet yang segera lepas landas perdana dalam waktu dekat.dok. Super Air Jet Penampakan maskapai baru Super Air Jet yang segera lepas landas perdana dalam waktu dekat.

Jikapun Garuda bisa sehat dengan salah satu opsi yang akan dilakukan Kementerian BUMN tersebut, apakah Garuda akan bisa terus bertahan dan tidak jatuh sakit lagi? Atau justru Garuda akan mengulangi sejarah yang sama?

Baca juga: 5 Fakta Pesawat Super Air Jet, Sasar Milenial hingga Low Cost Carrier

Pembenahan penerbangan harusnya menyeluruh. Selain pembenahan internal maskapai, iklim bisnis atau kolam tempat hidup maskapai juga harus dibenahi. Untuk itu perlu kolaborasi antar kementerian seperti misalnya Kementerian Keuangan, Pariwisata, Perhubungan, Perdagangan, Perindustrian, Investasi, PUPR, Komisi Pengawasa Persaingan Usaha (KPPU) dan sebagainya.

Sebagai leading sector-nya tentu adalah Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi karena dialah regulator yang mempunyai tugas mengatur, mengawasi dan mengendalikan penerbangan nasional.

Baik dari sisi keselamatan, keamanan, bisnis (services) dan kepatuhan menjalankan aturan. Banyak aturan dan kebijakan yang harus dievaluasi, misalnya terkait kebandarudaraan, tarif penerbangan, rute dan slot, laporan keuangan dan sebagainya.

Kementerian Perhubungan sebaiknya juga membuat semacam kriteria kesehatan maskapai berdasarkan laporan keuangan yang tiap tahun disampaikan maskapai. Dengan demikian dapat diantisipasi lebih awal jika ada maskapai sakit sehingga dapat cepat disehatkan.

Jangan ditutup-tutupi terkait kondisi penerbangan nasional yang sekarang lagi sakit. Sebaiknya dikurangi seremoni peresmian infrastruktur fisik transportasi.

Perbanyak dan perbaikilah pembangunan infrastruktur non-fisik seperti misalnya aturan atau kebijakan yang membuat transportasi termasuk penerbangan menjadi selamat, aman, nyaman, sehat dan berkelanjutan.

Jika iklim bisnis penerbangan nasional tidak dibenahi, pembenahan parsial seperti yang dilakukan pemerintah pada Garuda itu dapat dikatakan hanya pura-pura saja!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com