Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mantan CEO Google Dorong AS Rangkul Jepang dan Korea Melawan China

Kompas.com - 12/07/2021, 08:35 WIB
Wahyunanda Kusuma Pertiwi,
Yudha Pratomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Perkembangan teknologi China kian berkembang, khususnya teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Bahkan, hal ini sampai menjadi kekhawatiran bagi mantan CEO Google, Eric Schmidt. 

Pesatnya perkembangan China dalam teknologi AI membuat Schmidt "mendorong" pemerintah AS untuk merangkul negara dari Asia, yakni Jepang dan Korea Selatan untuk melawan China dalam kompetisi kecerdasan buatan.

Menurut Schmidt, kemampuan China dalam mengembangkan kecerdasan buatan semakin mendekati AS.

"Itu adalah masalah besar," ungkap Schmidt dalam sebuah sesi wawancara bersama Nikei Asia.

Schmidt mengatakan AS harus menjaga kepemimpinan di beberapa area strategis, seperti AI, semikonduktor, energi, komputasi kuantum, dan biologi sintetis. Hal ini membutuhkan dukungan dari negara lain.

"Kami harus mengeratkan hubungan dengan para peneliti Jepang, universitas Jepang, pemerintah Jepang, serta Korea Selatan dan juga Eropa," ujar pria yang sudah 19 tahun bekerja di Google dan Alphabet ini.

Ia menyarankan agar Washington menjalin koordinasi untuk menjaga komunikasi dengan pihak Jepang dan mitranya di Tokyo, serta negara lain.

Baca juga: TikTok Mulai Jualan AI dan Algoritma, Salah Satu Peminatnya dari Indonesia

"Kami ingin agar Jepang memiliki kelompok koordinasi di dalam pemerintahan Jepang yang membagi pendangan kami sebagai hal yang penting dan memastikan bahwa universitas mengambil perannya satu sama lain, perusahaan berbagi informasi untuk memudahkan kerja sama," kata Schmidt.

Sekadar informasi, Schmidt yang pensiun dari jabatan Kepala Eksekutif induk Google, Alphabet tahun 2018 lalu, menjadi ketua komisi untuk membuat rekomendasi kebijakan terkait AI kepada presiden dan Kongres sejak 2019 lalu.

Dalam laporan akhir komisi yang dirilis bulan Maret lalu, disebutkan bahwa AS patut waspada. Sebab jika tidak segera bertindak, AS akan kehilangan posisinya sebagai pemimpin di bidang AI dalam dekade mendatang.

Kondisi tersebut juga membuat AS menjadi lebih rentan terhadap ancaman yang berasal dari AI.

Schimdt juga menyinggung Quadrilateral Security Dialogue atau Quad, grup yang beranggotakan AS, Jepang, India, dan Australia.

Grup tersebut, kata Schmidt, adalah grup yang sangat baik apabila ada struktur yang permanen dan bisa memastikan bahwa masing-masing negara saling berbicara, bukan hanya sekadar melakukan pertemuan tingkat negara.

Meskipun mendorong upaya persaingan, Schmidt menggambarkan hubungan AS dan China sebagai "rivarly partnership".

Baca juga: Google Perkenalkan AI untuk Bantu Cek Kondisi Kulit

Artinya, China bukan sepenuhnya musuh AS, di mana hubungan bilateral harus berakhir. Namun, AS juga bisa bekerja sama dengan China di area lain, seperti isu perubahan lingkungan, kesehatan, dan bidang non-strategis lainnya.

"Ini persaingan, tapi kami sebenarnya juga bermitra dengan mereka dalam banyak hal. Anda harus melihat setiap masalah sebagai 'apakah itu strategis atau tidak'," jelas Schmidt.

Persaingan semikonduktor

Ketika ditanya soal pesaingan di semikonduktor, Schmidt berpendapat menggelontorkan uang ke sektor tersebut tidak cukup menyelesaikan masalah.

Sebab, salah satu pabrikan semikonduktor raksasa asal Taiwan, yakni Taiwan Semiconductor Manufacturing Co. (TSMC), sudah bergerak di industri tersebut selama 20 tahun.

"Itu adalah hal yang sulit dilakukan," katanya.

TSMC sendiri berencana membuka pabrik di China dan Arizona. Menurut Schmidt, untuk beberapa alasan teknis, pabrik tersebut tidak akan secanggih fasilitas pabrik yang ada di Taiwan.

"Bagi saya, China sangat bergantung pada Taiwan, tapi begitu juga dengan AS, karena AS keluar dari bisnis ini 15-20 tahun lalu," jelas Schmidt.

Ia juga menekankan pentingnya membangun fasilitas pabrik di AS sebaik di Taiwan. Schmidt juga menyinggung Samsung, yang dinilainya kurang mendapat apresiasi di industri semikonduktor. Padahal menurutnya, Samsung dengan chipset Exynos sangat baik.

Baca juga: Microsoft Caplok Perusahaan Kecerdasan Buatan Senilai Rp 288 Triliun

Meskipun ia telah memberikan rekomendasi, Schmidt belum mengetahui kapan rekomendasinya akan diadopsi pemerintahan Joe Biden. Sebab, saat ini, Biden masih fokus mengendalikan pandemi covid-19 di negaranya.

Schmidt mengklaim bahwa komisinya memainkan peran besar dalam mendorong Senat membuat Undang-undang (UU) Innovation and Competition Act yang memuat investasi besar-besaran dalam bidang AI, komputasi kuantum, dan penelitian mutakhir lainnya.

"Kami jelas akan terus mendorong upaya untuk mengubah RUU itu menjadi UU," kata Schmidt.

Komisi tersebut akan dibubarkan ada bulan Oktober setelah menyerahkan laporan akhir kepada pemerintah awal tahun ini sebagaimana dirangkum KompasTekno dari Nikkei Asia, Senin (12/7/2021)

"Saya harap ada kelompok yang akan melanjutkan pekerjaan ini," pungkas Schimdt.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com