Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moch S. Hendrowijono
Pengamat Telekomunikasi

Mantan wartawan Kompas yang mengikuti perkembangan dunia transportasi dan telekomunikasi.

kolom

Satelit Satria Angkat Martabat 26,5 Juta Penduduk 3T

Kompas.com - 13/07/2021, 13:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Menurut Direktur Utama Bakti, Anang Latif, harga Satria 1 sekitar Rp 7,1 triliun termasuk biaya peluncuran. Setiap tahun selama 15 tahun beroperasi sesuai usia rata-rata satelit, pemerintah membayar ke KPBU tadi Rp 1,4 triliun yang diambil dari dana USO (universal service obligation – kewajiban pemerintah memberi layanan publik), di luar pajak.

Dana USO didapat dari sumbangan operator yang dipungut 1,25 persen dari pendapatan kotor mereka, sekitar Rp 2,6 triliun hingga Rp 3 triliun per tahun berupa PNBP (penerimaan negara bukan pajak).

Tumbuhkan ekonomi

Satelit HTS beda dengan satelit konvensional, yang cakupannya berupa footprint yang bisa seluas kawasan dari Asia Selatan, sebagian Asia Tenggara, Nusantara dan Australia Utara.

Cakupan satelit HTS berupa spot beam, atau titik cakupan seperti halnya cakupan BTS (base transceiver station yang radiusnya lima kilometeran).

Satelit Telkom yang akan dibangun dan diluncurkan tahun 2024, sebagian konvensional (C-Band dan XC-Band) berkapasitas 7 Gbps dan sebagian lagi HTS dengan Ku-Band berkapasitas 20 Gbps.

Transponder C-Band dan XC-Band satelit Telkom merambah hutan, samudera, kawasan perkotaan dan pedesaan, sementara Satria 1 hanya masuk ke 150.000 titik yang dituju dengan frekuensi Ka-Band yang lebih tinggi, 20 GHz – 30 GHz.

Hingga tahun 2023, kapasitas 150 GB kalau rata- rata digunakan selama 15 jam sehari, hanya akan mampu membagi sebesar 1,14 Gbps tiap pengguna tiap bulan, sangat kecil dibanding saudara-saudara mereka di kota yang bisa “makan” 50 Gbps.

Ketika satelit Satria 2a dan 2b diluncurkan tahun 2025 yang total kapasitasnya 300 Gbps, jatah tiap pengguna per bulan bisa naik sampai 2,29 Gbps, dan pada 2030, Satria 3 yang berkapasitas 500 Gbps akan membagi masing-masing pengguna 3,82 Gbps per bulan.

Kapasitas itu tidaklah akan cukup, apalagi lima tahun ke depan, kebutuhan digital manusia akan terus tumbuh yang kalau dituruti dan ada dana, tidak akan cukup dengan meluncurkan 20 satelit lagi. Akhirnya, sayangnya, namanya 3T akan tetap saja 3T, terluar, terdepan dan tertinggal.

Kenapa? Karena 150.000 titik itu bisa dikatakan, satu desa mungkin hanya masuk satu titik. Sementara desanya luas, sampai ke seberang sungai, seberang hutan atau seberang bukit.

Mereka yang ada di seberang inilah yang disebut tetap 3T, karena jangkauan BTS Bakti tidak bisa sampai batas desanya. Bukan hanya itu, jika pengguna yang tinggal dekat BTS Bakti mengakses video yang makan data banyak, tidak hanya yang di seberang, yang agak jauh sedikit dari BTS pun tidak akan kebagian jatah.

Namun, bagaimanapun, masuknya internet ke kawasan 3T akan mampu menumbuhkan ekonomi masyarakat, menyetarakan ilmu para pelajar karena mereka bisa mengakses informasi dari mana saja seperti saudara-saudara mereka di perkotaan, dan dapat digunakannya teknologi pengobatan dari jauh, teledoctor, yang bisa meningkatkan kesehatan masyarakat, dan sebagainya.

Kelebihan satu daerah 3T, misalnya potensi wisata, atau hasil bumi, kerajinan khas daerah, kreasi masyarakat, dibukakan pasarnya lewat internet, harkat dan martabat mereka pun terangkat. Orang tidak perlu ke kota untuk belajar, berobat, selain bisa menjajakan hasil produksi mereka hingga ke seluruh pelosok dunia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com