Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Riset: Bitcoin dkk Sudah Sulit Didapat Sebelum Diblokir China

Kompas.com - 18/07/2021, 18:12 WIB
Galuh Putri Riyanto,
Yudha Pratomo

Tim Redaksi

Sumber Reuters

KOMPAS.com - Pada akhir Mei lalu, otoritas finansial China mulai melarang bank dan perusahaan menyediakan layanan yang berkaitan dengan transaksi mata uang kripto (cryptocurrency), seperti Bitcoin, Ethereum, dkk.

Belakangan, alasan lingkungan juga membuat pemerintah China makin gencar memberangus aktivitas terkait mata uang kripto, termasuk dengan melarang kegiatan penambangannya alias mining.

Pelarangan ini akhirnya membuat sejumlah tambang kripto di China ditutup, termasuk yang berada di provinsi Sinchuan dan Xinjiang.

Padahal, dua daerah itu termasuk penyumbang daya komputasi (hash rate) terbesar untuk jaringan Bitcoin. Akibatnya, hash rate Bitcoin secara global ikut terdampak secara signifikan.

Alhasil, keping Bitcoin baru pun akan semakin sulit didapat karena proses atau kecepatan penambangannya akan semakin lambat.

Meski China bertindak keras terhadap mata uang kripto, ternyata bukan China yang bikin Bitcoin dkk sulit didapat.

Baca juga: Berapa Listrik yang Dihabiskan untuk Menambang 1 Keping Bitcoin?

Sebab, sebelum ada pelarangan itu mata uang kripto di Negeri Tirai Bambu itu sudah lebih dahulu merosot tajam. Setidaknya begitulah hasil yang terungkap dari penelitian dari Cambridge Center for Alternative Finance yang dipublikasi baru-baru ini.

Penelitian itu menyebutkan, sebulan sebelum adanya pelarangan Bitcoin dkk, tepatnya pada April 2021, China hanya menyumbangkan kinerja hash rate sebesar 46 persen saja pada aktivitas penambangan cryptocurrency global.

Angka hash rate itu merosot tajam bila dibanding 2019 lalu. Pada September 2019, China dilaporkan berhasil meyumbang kinerja hash rate hingga 75,5 persen dalam aktivitas mining mata uang kripto global.

Penelitian Cambridge Center for Alternative Finance juga melaporkan, di saat kinerja hash rate China terjun bebas pada 2021, negara seperti Amerika Serikat dan Kazakhstan justru terlihat mengalami peningkatan secara drastis.

Misalnya, Kazakhstan meningkat enam kali lipat, dari 1,4 persen pada September 2019, menjadi 8,2 persen pada April 2021.

Kinerja hash rate Amerika Serikat naik dari 4,1 persen menjadi 16,8 persen, pada periode yang sama.

Sementara Rusia dan Iran juga tampil menjadi negara terbesar keempat dan kelima sebagai penambangan Bitcoin, sebagaimana dihimpun KompasTekno dari Reuters, Minggu (18/7/2021).

Baca juga: Harga Bitcoin dkk Anjlok Lagi, Apa Penyebabnya Kali Ini?

Harga Bitcoin terjun bebas

Akibat pelarangan yang diberlakukan pemerintah China dan kinerja hash rate global yang menurun, Bitcoin menjadi salah satu mata uang kripto yang paling terdampak. Harganya pun terjun bebas.

Menurut situs Coindesk, Bitcoin diperdagangkan dengan harga kisaran 31.000 dollar AS atau sekitar Rp 451 juta, pada Jumat siang.

Angka tersebut tak sampai setengah dari rekor nilai tertinggi Bitcoin sebesar lebih dari 64.000 dollar AS (sekitar Rp 921 juta) per keping yang tercatat pada April lalu.

Pada akhir Mei lalu, harga Bitcoin bahkan anjlok drastis, di mana turun 30 persen dalam sehari hingga nyaris menyentuh angka 30.000 dollar AS (sekitar Rp 431 juta).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber Reuters


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com