Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moch S. Hendrowijono
Pengamat Telekomunikasi

Mantan wartawan Kompas yang mengikuti perkembangan dunia transportasi dan telekomunikasi.

kolom

Starlink, Bintang Baru di Angkasa Kita

Kompas.com - 28/07/2021, 13:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Moch S Hendrowijono

Satelit komunikasi terbaru yang sudah mulai diluncurkan dan dioperasikan SpaceX Services milik miliarder Elon Musk mulai mengusik angkasa Indonesia dengan rencana pemasaran layanan internet cepat di Asia akhir 2021 atau awal 2022.

Puluhan ribu satelit mini yang akan membuat angkasa jadi ruwet dioperasikan dengan banyak keunggulan – sekaligus kekurangan – dibanding satelit konvensional atau satelit dengan teknologi mutakhir, HTS (high throughput satellite) yang sedang tren.

Semua berbeda, karena misalnya dengan satelit Nusantara 1 milik Pasifik Satelit Nusantara (PSN), atau Satria 1 milik Bakti Kominfo yang akan diluncurkan tahun 2023, Starlink lebih mungil. Berat Starlink hanya antara 227 kilogram sampai 260 kilogram sementara kelas satelit HTS Satria 1 beratnya 4,6 ton.

Ketika diluncurkan ke langit oleh roket Falcon9 milik SpaceX juga, sekali luncur hanya satu atau dua satelit sekelas Satria, Starlink bisa sekaligus 60 buah satelit, dan akan menjadi 400 satelit sekali luncur dengan menggunakan roket StarShip.

SpaceX Services, anak perusahaan SpaceX, sudah mendapat izin baik dari FCC (Federal Communication Commision) Amerika Serikat, dan ITU (International Telecommunication Union), mengorbitkan 42.000 satelit Starlink hingga 2027.

Beda keduanya juga, Satria sebagai satelit GEO (geosynchronous earth orbit) dipatok di orbit sangat tinggi, 36.000 kilometer di atas bumi, tidak berpindah dari slot orbitnya. Ia bergerak dengan kecepatan 2,6 kilometer per detik, atau 9.360 km per jam supaya tetap berada di atas titik buminya di 146 derajat bujur timur.

Satelit Starlink diantarkan sampai ketinggian rendah, LEO (low earth orbit), antara 200 kilometer sampai 2.000 kilometer dan tidak diam. Mereka bergerak terus dengan kecepatan tinggi, memutari bumi dalam 90 menit dan tidak bisa sinkron dengan perputaran bumi.

Karenanya perlu satelit-satelit tambahan untuk melayani titik di bumi pada orbit yang sama, kata ahli satelit dari Mastel (Masyarakat Telematika Indonesia), Kanaka Hidayat.

Diprotes astronom

Akibat satelitnya terus bergerak sementara terminal bumi yang dilayani posisinya tetap, sedikitnya harus ada 48 satelit untuk mencakup satu posisi/titik. Dengan enam orbital, dioperasikan 7 sampai 10 satelit bergantian agar layanan tidak terputus.

Satelit GEO tidak akan bisa dilihat dengan mata telanjang. Acapkali satelit LEO bisa dilihat, terutama saat malam hari ketika satelit memantulkan sinar matahari.

Terangnya cahaya Starlink di malam hari diprotes ahli-ahli atronomi yang sering mengintip dan meneliti bintang-bintang dan planet di angkasa, sebab pandangan mereka terhalang pendaran cahaya pantulan satelit.

Rombongan satelit berikut yang dikirimkan roket Falcon9 pun sudah memenuhi permintaan para astronom, tidak lagi berpendar.

Sebelum Elon Musk punya ide meluncurkan ribuan – sampai 42.000 lebih – Starlink, sudah ada yang mengoperasikan satelit LEO, ada Teledesic, tetapi segera saja bangkrut.

Yang paling terkenal adalah Irridium yang mengoperasikan 66 satelit pada November 1998, bangkrut pada 1999 dan dibantu pemerintah AS, diteruskan oleh Irridium LLC sejak 2001, khusus untuk komunikasi telepon satelit.

Selain itu ada juga yang menyediakan layanan internet cepat, OneWebb patungan Inggris dan Bharti India yang berdiri tahun 2012. Perusahaan yang sempat bangkrut ini baru meluncurkan 146 satelit dari rencana 650 satelit LEO yang diorbitkan di ketinggian 1.200 kilometer di atas bumi.

Satelit yang dipatok di GEO, kadangkala melenceng dari posisinya, lalu dikoreksi oleh petugas di stasiun bumi, dikembalikan ke posisi semula. Caranya dengan menyalakan roket-roket kecil yang ada di dalam satelit, sesuai arah yang diharapkan.

Satelit tidak mungkin membawa bahan bakar roket banyak. Umumnya untuk GEO disiapkan bahan bakar cukup untuk mengoreksi posisi satelit, dan membuangnya (de-orbit) kelak ke kuburan satelit di nun lebih jauh di atas langit menjelang bahan bakarnya habis. Rata-rata usia operasi satelit GEO 15 tahun, bisa kurang kalau satelitnya “binal”, atau lebih, bisa sampai 20 tahun kalau satelitnya anteng.

Latensi rendah

Usia satelit LEO, terlebih V-LEO (very low earth orbit) yang ditaruh di orbit 300 km – 400 km sekitar lima tahun dan ketika usianya habis ia diturunkan, masuk atmosfer dan terbakar, musnah. Satelit kecil itu selain tidak bisa membawa banyak bahan bakar krypton, perlu tenaga ekstra antara lain untuk melawan gaya tarik bumi (gravitasi).

Elon Musk mulai mengembangkann bisnis satelit Starlink pada 2015 dengan perkiraan modal serta operasional sebesar 10 miliar dollar AS (+/- Rp 145 triliun) dan baru melucurkan satelit percobaan pada 2018.

Hingga 20 Juli lalu sudah ada 1.740 satelit Starlink di langit, 111 satelit di antaranya gagal dan dibuang, siap bekerja 1.629 satelit dan baru 1.285 satelit yang sudah beroperasi. Tahun ini masih dengan Falcon9, setiap dua minggu SpaceX akan mengorbitkan 60 satelit baru.

SpaceX akan menjual jasa layanan internet cepat, yang diharapkan kapasitas unduhnya akan bisa sampai 1 Gbps (gigbyte per detik) dengan latensi – lama transmisi dari awal hingga tujuan – hanya sekitar 20 milidetik hingga 35 milidetik.

Latensi lebih rendah karena jarak satelit LEO yang lebih pendek ke bumi dibanding satelit HTS atau satelit FSS (fixed satellite services – satelit konvensional), yang 440-an milidetik.

SpaceX Services akan meminta izin penggunaan transponder V-Band, selain C-Band, XC-Band, Ku-Band, atau Ka-Band yang digunakan oleh satelit HTS. Starlink di posisi V-LEO (very low earth orbit) dengan V-Band, akan memberi layanan dengan kapasitas unduh dan unggah yang akan lebih besar dan latensi yang lebih rendah lagi.

Sudah ada ratusan calon pelanggan di Indonesia, kebanyakan korporasi, yang ingin berlangganan internet super cepat dari Starlink. Informasi sementara, tarif yang akan diterapkan per bulan sekitar 80 dollar AS (Rp 1.160.000). Menurut sumber SpaceX, Indonesia mungkin baru terlayani akhir tahun ini atau awal 2022. ***

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com