Saat ini Bakti sedang merancang pembangunan FO Palapa Ring Integrasi yang panjangnya 12.803 kilometer, sepanjang 8.203 kilometer akan digelar di daratan, 3.880 kilometer di laut dan sisanya berupa microwave dengan puluhan hop.
Investasi sebesar Rp 8,6 triliun itu membangun jaringan yang mengintegrasikan jaringan Palapa Ring Barat, Tengah, dan Timur yang sudah terbangun, dengan jaringan yang ada.
Baca juga: Kendala Teknis Masih Mengintai Palapa Ring dalam 2 Tahun ke Depan
Tenggat waktu yang tidak sampai dua tahun mulai 2022, cukup memusingkan Dirut Bakti, Anang A. Latif. Selain medan tempat penggelaran serat optik, yang kalau di laut melewati palung-palung yang sangat dalam.
Sementara di darat, gangguan kriminal sangat tinggi di beberapa kawasan, sehingga acap fasilitas yang sudah dibangun seperti gelaran FO, atau sarana hop gelombang mikro dan BTS dibakar.
Operasional FO jauh lebih bagus dibanding gelaran kabel tembaga, gelombang mikro, radio BTS atau sarana satelit HTS (high throughput satellite) sekalipun, dan setiap gelaran bisa terdiri dari ribuan lembar FO.
Selembar kabel kaca selebar 120 mikrometer – lebih kecil dari rambut manusia – mentransmisikan jutaan data dengan menggunakan cahaya yang tahan gangguan elektromagnetik, termasuk gangguan gelombang radio, karena tidak mengandung listrik.
FO juga bisa digelar jauh tanpa penguat, seperti halnya gelombang mikro atau BTS, tahan karat, dengan tingkat keamanan tinggi, kecuali dari gangguan kriminal. Namun investasinya lebih tinggi dan butuh sumber cahaya yang kuat.
Kecepatan transmisi FO mencapai 180.000 sampai 200.000 kilometer per detik, dengan latensi – delay antara saat pengiriman hingga tujuan – hanya 5 sampai 5,5 mikrodetik per kilometer.
Jarak sejauh 1.000 kilometer, misalnya antara Merak sampai Panarukan, latensinya sekitar 11 milidetik, hampir tidak terasa.
Bandingkan dengan kemampuan 4G LTE yang latensinya di atas 30 – 40 milidetik, atau transmisi satelit yang sampai 440 milidetik.
Latensi menjadi penting ketika layanan telekomunikasi generasi kelima (5G) membutuhkan kecepatan besar yang tidak terputus, seperti untuk industri manufaktur, pertanian, peternakan, kota pintar, transportasi dalam kota dan sebagainya.
Sangat membahayakan jika kendaraan tanpa sopir (autonomous vechicle) sedang melaju di jalan padat, tidak mendapat pasokan informasi dan instruksi karena misalnya BTS-nya ngadat atau informasinya terlambat tiba.
Baca juga: Satelit Satria Angkat Martabat 26,5 Juta Penduduk 3T
Atau ketika sukucadang di industri berat terlambat dikirim, karena instruksi lewat gelombang radionya terhambat.
Bagi Bakti, penggelaran FO saat ini belum menyangkut soal layanan 5G, tetapi mengejar kapasitas yang tidak bisa disediakan oleh layanan radio BTS dan gelombang mikro. Atau satelit HTS yang harus membagi 150 Giga-nya ke 150.000 titik di seluruh Nusantara.
Ketika satelit Satria 1 beroperasi pada 2023 nanti, tiap titik hanya akan kebagian 1,14 giga byte per detik (Gbps) per pengguna per bulan. Kalau saja jaringan FO sampai ke pedesaan, di mana pun, bukan tidak mungkin jatah per pengguna per bulan bisa sampai 10 Gbps.
Memang masih jauh dibanding saudara-sadara mereka di perkotaan yang bisa melahap 50 Gbps per bulan.
Namun pembukaan isolasi itu akan memajukan masyarakat, pelajar bisa mendapat ilmu setara dengan yang didapat saudara-saudara di kota, potensi industri, pertanian dan wisata di daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar) bisa terangkat ke tataran dunia. ***
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.