Industri telekomunikasi global kini menghadapi dilema yang tidak terbayangkan hingga dekade lalu.
Operator seluler bukan lagi perusahaan yang penuh gebyar, labanya tinggi – bayangkan Telkomsel dengan pendapatan di bawah Rp 100 triliun labanya sekitaran Rp 25 triliun – mengalahkan induknya, PT Telkom.
Industri telko yang selama ini merajai yang bahkan berkembang ketika pandemi menebang semua jenis bisnis dan industri, harus mulai bebenah kalau tidak mau mati dalam dua-tiga tahun ke depan.
Telko harus segera bertransformasi, merambah bisnis baru yang selama ini dipandang sebelah mata oleh operator telko, karena potensi pertumbuhannya sangat tinggi.
Tarif layanan data di Indonesia terendah kedua setelah India dan operator tidak bisa leha-leha dengan mengandalkan infrastruktur jaringan dan teknologi yang sudah mereka kuasai, sebab teknologi bergerak maju dengan cepat, durasinya makin lama makin pendek.
Hingga sekarang, investasi operator untuk jaringan dan layanan generasi ketiga (3G) belum impas, ketika 4G sudah muncul, yang terus bergerak menjadi 4G LTE (long term evolution).
Kini 5G sudah masuk, dan itu bukan berarti kelanjutan dari 4G seperti halnya 2G ke 3G terus ke 4G. Teknologinya beda, bentuk layanannya beda, kebutuhan akan spektrum frekuensi juga beda sehingga 5G lebih cocok untuk bisnis, baik industri, manufaktur, pertanian, kota pintar, rumah pintar, kesehatan, dan transportasi pintar berupa kendaraan tanpa sopir.
Di sinilah pentingnya M&A (merger dan akuisisi) karena kalau dibiarkan operator-operator kecil yang EBITDA-nya (earn before interest, tax, depreciation and amortization) di bawah 8 persen tidak akan bisa bertahan dalam 3 tahun ke depan. Beberapa operator telko di India yang kolaps bisa menjadi pelajaran.
Dengan M&A, kekuatan dihimpun untuk memperkuat daya beli teknologi yang pertumbuhannya dinikmati vendor teknologi yang selalu memasang harga tinggi untuk teknologi baru.
Apakah operator tidak bertahan saja dengan teknologi yang sudah dikuasai sehingga minim capex (capital expenditure – belanja modal) dan hanya fokus menambah pelanggan?
Alamnya sudah beda, jasa telekomunikasi yang selama ini dikuasai operator telko, sudah berpindah dari layanan jaringan ke perangkat (device) dan aplikasi, yang berakibat pada 347 juta nomor aktif pelanggan enam operator Indonesia semuanya bergerak ke lapar data.
Pandemi memberi hikmah, virus itu langsung membuat pelanggan lapar data karena semua kegiatan bekerja, belajar, belanja, semua dari rumah, online, yang semua butuh data.
Hingga dua tahun lalu, operator masih bangga memperluas jaringan, membangun BTS, menambah jumlah pelanggan dan memberi layanan VAS (value added service – layanan nilai tambah).
Tetapi jika operator hanya menjajakan jaringan, menjual datanya, akan dikalahkan aplikasi yang lewat di atas jaringan (OTT – over the top) karena pendapatannya melebihi pendapatan “inang”-nya.
Yang terakhir ini yang akan merebut keuntungan operator, jika operator telko tidak mengubah pola bisnisnya, bertransformasi. Menurut Teguh Prasetyo, Founder Asosiasi IoT Indonesia, peran jaringan dalam bisnis telko dalam waktu dekat hanya akan menyumbang 9 persen pada pendapatannya, karena yang 13 persen diambil perangkat (device) dan yang 70 persen lebih direbut penyedia aplikasi.
Contohnya saja, pandemi membuat pengguna aplikasi smarthome (rumah pintar) pada yang tahun 2019 hanya 1,5 juta rumah, akhir tahun ini akan menjadi 12 juta dan akan terus berkembang dengan potensi lebih dari 60 juta rumah pada 2024.
Operator telko tetap dibutuhkan, sebab semua industri, semua kegiatan dan aplikasi, harus menggunakan jasanya sehingga industri telekomunikasi harus tetap dipertahankan dan sehat, hanya saja jaringan bukan lagi andalan.
Untuk keluar dari posisi bertahan hingga mencapai kondisi sehat dan bertumbuh, kata Ketua Masyarakat Telematika (Mastel), Sarwoto dalam kesempatan berbeda, operator dipaksa untuk mengubah diri menjadi perusahaan teknologi.
Bisa dengan mengakuisisi perusahaan-perusahaan teknologi rintisan (startup) yang meski penuh risiko namun “murah” dibanding mengakuisisi perusahaan teknologi yang sudah eksis, sembari tetap berinvestasi di infrastruktur.
Mengutip hasil survei Kearney, pertumbuhan perusahaan teknologi secara global berkembang pesat dengan kapitalisasi pasar tumbuh 29 persen (CAGR 2009—2020) yang diakselerasi oleh dampak Covid-19, sedangkan perusahaan telekomunikasi tumbuh stagnan hanya 3 persen.
Pada 2009, penghasilan operator telko 140 miliar dollar AS dan perusahaan teknologi baru 32 miliar dollar AS, tetapi pada 2020 pendapatan telko hanya 114 miliar dollar AS, perusahaan teknologi melambung menjadi 252 miliar dollar AS.
Arah Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) untuk berubah menjadi perusahaan teknologi dikuatkan dengan penggabungan semua sumber daya, dan Indosat Ooredoo sudah memulainya sejak awal. Pada laporan keuangan terakhir mereka, ada pendapatan dari solusi bisnis yang sudah mencapai angka pendapatan Rp 3 triliun. ***
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.