Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moch S. Hendrowijono
Pengamat Telekomunikasi

Mantan wartawan Kompas yang mengikuti perkembangan dunia transportasi dan telekomunikasi.

kolom

Frekuensi Tetap Jadi Korban Merger

Kompas.com - 09/11/2021, 10:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sesi paling ditunggu dari proses merger – penggabungan – antara dua operator seluler, Indosat Ooredoo dan Hutchison Tri Indonesia (3), akhirnya tiba juga. Menkominfo menyatakan setuju dengan mengeluarkan izin prinsip.

Tetapi “hantu” yang menakutkan operator berupa ancaman pengambilan spektrum, di luar dugaan, terjadi juga. Namun bagaimanapun Indosat Ooredoo sudah menyatakan penghargaan kepada Kementerian Kominfo atas dukungan pada upaya merger itu.

Pemerintah akhirnya, seperti proses merger XL Axiata – Axis belasan tahun lalu, memutuskan mengambil frekuensi selebar 2X5 MHz di spektrum 2.100 GHz, setelah prosesnya dievaluasi. Masih mending, dalam kasus XL Axiata – Axis, tidak ada kata evaluasi yang berbuntut pengambilan 2X10 MHz di spektrum 2.100 MHz.

XL Axiata konon tidak menyangka sebagian frekuensinya diambil pemerintah karena ada pertimbangan KPPU (Komisi Pengawasan Persaingan Usaha) yang melihat jumlah frekuensi yang dimiliki XL Axiata tidak selaras dengan jumlah pelanggannya.

Frekuensi yang diambil itu lalu dilelang oleh pemerintah, XL Axiata juga ikut tetapi kalah dan yang dapat antara lain Tri. Dalam beberapa saat manajemen XL Axiata agak ”limbung” dalam pengelolaan keuangannya.

Lama setelah kejadian XL Axiata itu kebijakan pemerintah berubah, tidak mengambil frekuensi begitu saja tetapi menghitung lebih dahulu berapa wajarnya spektrum yang bisa dimiliki operator sebanding dengan jumlah pelanggan dan cakupan kerjanya.

Jika berdasarkan hitungan itu jumlah spektrumnya terlalu banyak, pemerintah akan “mengandangkan” kelebihan spektrum itu sampai si operator berhasil menambah pelanggan dan luasan cakupannya dan frekuensinya dikembalikan.

Ketika beberapa operator yang berniat melakukan M&A (merger dan akuisisi) meminta ketegasan soal kepemilikan frekuensi, pemerintah (Kementerian Kominfo) selalu bilang silakan jalan, nanti kami evaluasi.

Kata bersayap “evaluasi” ini yang menghantui operator, apalagi UU no 36 tahun 1999 tidak memungkinkan adanya pengalihan frekuensi bersama perusahaannya, sebab frekuensi adalah milik negara. Padahal dalam setiap proses M&A telekomunikasi, operator pasti berharap juga menggabungkan spektrumnya.

Surutkan niat

UU Ciptakerja No 11 tahun 2020, pada pasal 33 ayat (6) disebutkan, operator seluler dapat mengalihkan spektrum frekuensi radio ke operator lain setelah mendapat persetujuan pemerintah. Sekarang kata bersayapnya pindah ke UU Ciptakerja, pada frasa “mendapat persetujuan pemerintah”, dan pemerintah di sini yang dimaksud bukan hanya Kominfo tetapi Kominfo dan KPPU.

Jangan-jangan, syarat pemerintah mengevaluasi setiap upaya M&A akan menyurutkan niat – walau masih rumor – mergernya XL Axiata dan Smartfren. Dengan pelanggan 56,8 juta (XL) dan 28 juta (Smartfren), sekitar 87 juta dan pemilikan frekuensi 50 MHz (Smartfren) dan 90 MHz (XL) atau 140 MHz, bukan tidak mungkin lebar spektrum yang diambil pemerintah akan lebih banyak.

Posisi Indosat + Tri yang nama mergernya Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) tidak lebih baik dari XL Axiata ketika itu, apalagi yang jadi ukuran adalah lebar spektrum yang dimiliki operator lain, khususnya Telkomsel. Dengan pelanggan 169 juta, Telkomsel memiliki 155 MHz, cakupannya sampai pedesaan Indonesia, sementara IOH dengan pelanggan sebanyak 104 juta, punya 145 MHz tetapi belum mencakup semua kota, pedesaan dan terpencil.

Dari jumlah pelanggan dan cakupan dibandingkan dengan kepemilikan frekuensi, jelas masih timpang. Kecuali, misalnya jumlah pelanggan IOH sudah 140 juta, jumlah kota sedikitnya 450 dan sudah masuk pedesaan.

Kenapa Telkomsel tidak diberi tambahan frekuensi seperti belum lama ini dapat tambahan 50 MHz di spektrum 2.300 MHz hasil memenangkan lelang, ternyata tidak semudah itu. Frekuensi adalah sumber daya alam yang sangat langka dan tidak dapat diternakkan supaya jumlahnya menjadi lebih banyak.

Saat ini belum ada spektrum yang bisa dibagi ke operator yang masih lapar frekuensi, yang paling cepat spektrum 700 MHz yang baru kosong pada tahun 2022, setelah siaran televisi pindah dari analog ke digital (ASO – analog switch off). Spektrum ini yang selebar 90 MHz dari 112 MHz yang tersedia, baru bisa dibagi atau dilelang pada 2023.

Bukan keledai

Mungkin milimeter band atau high band di spektrum 6 GHz ke atas yang sangat bagus untuk layanan 5G, ada selebar 1.000 MHz di spektrum 26 GHz dan 35 GHz tetapi baru tersedia di tahun 2022. Atau 150 MHz di spektrum 2600 MHz yang baru dilepas oleh industri satelit siaran pada tahun 2024.

Bagi pemerintah dan bagi operator lapar frekuensi, penambahan 2X5 MHz di spektrum 2.100 MHz sempalan IOH sangat bermanfaat, tetapi prosesnya tidak begitu saja. Bisa diberikan dengan cara dilelang dan pemerintah dapat penerimaan negara bukan pajak (PNBP), bisa juga dengan cara kontes kecantikan (beauty contest).

Hanya saja dengan cara lelang, maksud menyeimbangkan pemilikan spektrum tidak akan tercapai kalau Telkomsel kalah. Sementara beauty contest bisa dilakukan dengan Telkomsel pemenang pasti namun belum berarti negara mendapat PNBP, padahal negara juga sedang lapar dana.

Cara lain lagi, kalau saja XL Axiata dan Smartfren kena “jebakan batman”, nekat merger, dan sekian kanal di spektrum 2100 MHz-nya diambil pemerintah. Tetapi rasa-rasanya, karena kemungkinan diambilnya jauh lebih lebar dibanding kasus IOH, XL Axiata akan berpikir ulang tujuh kali untuk merger.

Keledai saja tidak mau terperosok keduakalinya di satu lubang. “Megel sekalang, lugi laaa…,” kata seorang analis telko dari Singapura, yang bagi kita kata-kata ini juga bersayap.

Sebab artinya bisa saja “Rugi lah, atau malah: Lu gila…” Tinggal pilih.*

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com