Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moch S. Hendrowijono
Pengamat Telekomunikasi

Mantan wartawan Kompas yang mengikuti perkembangan dunia transportasi dan telekomunikasi.

kolom

Sharing Lebih Nyaman Dibanding Merger

Kompas.com - 22/11/2021, 12:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Akhir pekan ini, Indosat Ooredoo akan menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), yang tampaknya jadi RUPS terakhir sebelum merger dengan Hutchison Tri Indonesia (Tri). Namanya pun akan berubah menjadi Indosat Ooredoo Hutchison (IOH).

Kedua entitas menempuh proses awal yang sangat alot, beberapa kali diperpanjang sebelum sepakat bergabung, lalu lapor ke Menteri Kominfo. Menteri secara prinsip setuju merger kedua entitas milik Qatar (Ooredoo) dan Hongkong (Hutchison) itu tetapi harus menunggu hasil evaluasi pihaknya.

Tahapan evaluasi yang diperkirakan dua-tiga bulan, hanya sebulanan sudah keluar, hasilnya mengejutkan karena pemerintah mengambil 2X5 MHz di spektrum 2100 MHz.

Industri tidak siap karena sejak akuisisi XL Axiata terhadap Axis tahun 2014 yang berbuntut diambilnya 2X5MHz X2 frekuensi milik XL Axiata, semua operator memadamkan niat berkonsolidasi.

Tetapi pemerintah selalu mendorong konsolidasi, hanya tidak pernah menjamin, frekuensi hasil penggabungan atau akuisisi tetap boleh dimiliki sebab tidak diatur UU Telekomunikasi No 36/1999.

Beberapa operator yang kemudian mengajukan niat ke pemerintah untuk konsolidasi lalu meminta kejelasan soal frekuensi yang selalu dijawab, “..silakan merger, soal frekuensi nanti kami evaluasi…”, membuat operator maju-mundur.

Sebelum sepakat merger dengan Indosat, Hutchison sudah menjajaki dengan hampir seluruh operator, karena ada harapan kebijakan pemerintah akan menguntungkan industri.

Konsolidasi membuat industri efisien dengan berkurangnya jumlah operator, yang semula dilakukan masing-masing operator kini bisa disatukan, terutama dalam pengadaan perangkat teknologi.

Angin segar bagi operator yang ingin konsolidasi (M&A - merger & acquisition), apa yang dikhawatirkan sudah dijamin Undang-Undang No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Di pasal 33 ayat (6) UU Cipta Kerja disebut jelas, “… operator seluler dapat mengalihkan spektrum frekuensi radio ke operator lain setelah mendapat persetujuan pemerintah”.

Ketika Indosat – Tri melapor ke Menkominfo Johnny G Plate soal kesepakatan merger, menteri mengatakan secara prinsip setuju. Menteri akan melakukan evaluasi terkait soal alokasi spektrum setelah proses merger selesai, mengacu ke UU Cipta Kerja soal efisiensi pemanfaatan sumber daya spektrum, sharing infrastuktur dan tata kelola tarif.

Tidak memadai

Kedua operator galau walaupun pemerintah secara pinsip setuju, frasa “evaluasi” adalah kata usang yang sangat mencemaskan, bagaikan hantu di siang bolong. Awalnya kedua operator percaya pada penerapan UU Cipta Kerja, tetapi buyar ketika mereka dipanggil beberapa hari sebelum pengumuman pemerintah.

Menurut seorang petinggi ATSI (Asosiasi Penyelenggara Telepon Seluler) dalam pertemuan itu pemerintah menyebut akan mengambil 2X10 MHz di spektrum 2100 Mhz. Terjadi tawar menawar, akhirnya disepakati “hanya” akan diambil 2X5 MHz.

Seorang petinggi salah satu operator yang merger menyampaikan bagaimana kesalnya mereka, juga induk perusahaan mereka atas keputusan pemerintah tadi.

“Upaya kami memenuhi himbauan pemerintah agar industri telekomunikasi konsolidasi, tidak ditanggapi secara memadai. Mestinya kami diberi tahu sebelum kesepakatan merger terjadi,” katanya.

Nasi sudah menjadi bubur, mereka tidak bisa mundur, merger harus maju teratur. Walaupun, kegalauan bertambah dari sisi Indosat Ooredoo karena anak perusahaannya, IM2, harus membayar denda pidana sebesar Rp 1,3 triliun, sesuai keputusan MA 10 Juli 2014 buntut dari perkara aneh yang diwarnai arogansi pemegang kuasa.

Bagaimanapun, sebagai perusahaan terbuka, RUPS harus tetap dilakukan untuk memberi laporan ke publik, soal kepemilikan saham dan masalah-masalah yang beturutan terkait merger. Tri tidak wajib karena bukan perusahaan terbuka yang terdaftar di Bursa Efek.

Dua pengalaman pahit, kasus XL Axiata – Axis dan Indosat – Tri makin menyuramkan pandangan investor terhadap kebijakan pemerintah Indonesia. Bahkan, niat yang kabarnya sudah mengerucut akan mergernya XL Axiata dan Smartfren, tiba-tiba saja pupus.

“Jebakan batman”

Saran satu praktisi seluler, operator tidak usah M&A, cukup saling kerja sama, sharing infrastruktur. Diatur UU Cipta Kerja, pasal 50 PP (Peraturan Pemerintah) No 46 tahun 2021 tentang Pos Telekomunikasi dan Penyiaran (Postelsiar), juga Peraturan Menteri (PM) Kominfo No 5 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi.

Operator seluler boleh menyewakan jaringan telekomunikasinya kepada penyelenggara telekomunikasi lain dan non-penyelenggara telekomunkasi, sesuai PM No 5 tahun 2021, pasal 37 ayat (1). Pada ayat (2) disebutkan, “Penyewaan jaringan telekomunikasi dilakukan berdasarkan kesepakatan secara adil, wajar dan non-diskriminatif,” ayat (3) sebut, “…jaringan telekomunikasi dapat digunakan oleh Penyelenggara Jasa Telekomunikasi”.

Peluang ini membuat operator tidak perlu melakukan M&A jika tujuannya ingin jadi operator besar dengan frekuensi lebar. Cukup menyewa jaringan operator lain dengan kesepakatan yang adil, wajar dan non-diskriminatif, tak perlu membangun sendiri jaringannya sehingga jauh lebih efisien, walau jumlah operator tidak akan berkurang.

Tetapi awas, ada “jebakan batman” lagi. Pasal 57 PP No 46/2021 ayat (1) menyebutkan, “Pengalihan hak penggunaan spektrum frekuensi radio… wajib mendapat persetujuan dari Menteri berdasarkan hasil evaluasi.”

Tak bisa dikatakan, frasa “evaluasi” di UU Cipta Kerja No 11/2020 akan sama efeknya dengan isi pasal 57 PP 46/2021. Barangkali pemerintah arif dalam membuka kerja sama infrastruktur antar-operator, jadi evaluasinya akan ‘aman-aman saja’.

Tetapi ketika sewa-menyewa terjadi lalu operator pemberi sewa dievaluasi pemerintah, dan kedapatan ia kelebihan spektrum? Nah..

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com