Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Facebook dan Google Disebut Beri Panggung Konten "Clickbait" dan Sebar Misinformasi

Kompas.com - 23/11/2021, 10:01 WIB
Galuh Putri Riyanto,
Reska K. Nistanto

Tim Redaksi

Caranya dengan membuat website yang banyak, memposting konten yang sama, bisa pula mencuri konten orang lain dan mereproduksinya dengan "bumbu-bumbu". Terakhir menyebarkannya ke Facebook pages sebanyak-banyaknya.

Dengan begitu, pembuat informasi itu dapat mendatangkan jumlah pengguna yang melihat konten clickbait tersebut dan pada akhirnya menghasilkan pendapatan iklan yang banyak dari Facebook.

Picu konflik

Parahnya, pembuat konten clickbait ini turut memanfaatkan krisis politik dari suatu negara, Myanmar misalnya. Selama kudeta Myanmar yang dimulai pada 1 Februari, warga Myanmar banyak yang menggunakan Facebook untuk memberitakan kondisi terkini di negaranya.

Salah satu live Facebook yang memperlihatkan ratusan warga Myanmar sedang protes soal kudeta militer di Myanmar. Konten ini banyak direproduksi bahkan disiarkan ulang dengan klaim merupakan siaran live.MIT Technology Review Salah satu live Facebook yang memperlihatkan ratusan warga Myanmar sedang protes soal kudeta militer di Myanmar. Konten ini banyak direproduksi bahkan disiarkan ulang dengan klaim merupakan siaran live.
Namun, konten tersebut dicuri dan diproduksi ulang oleh pembuat konten clickbait. Misalnya seperti konten video live di Facebook yang memperlihatkan ratusan orang sedang protes terhadap kudeta Myanmar. 

MIT Technology Review mencatat, pembuat konten clickbait semacam itu dapat menghasilkan pendapatan ribuan dollar AS per bulan dari iklan di Instant Articles Facebook.

Pendapatan itu 10 kali lipat lebih banyak dibandingkan rata-rata gaji bulanan di Myanmar.

Sebelumnya, krisis etnis Rohingya di Myanmar pada 2017 juga diselimuti dengan berbagai berita palsu (fake news) dan clickbait di Facebook.

Baca juga: Facebook dan Instagram Blokir Akun Milik Militer Myanmar

Akibatnya, intensitas konflik meningkat yang pada akhirnya menyebabkan kematian pada 10.000 orang etnis Rohingya, dan emigrasi dari 700.000 orang Rohingya lainnya.

Saat krisis Rohingya, tepatnya pada 2018, media populer di Myanmar sudah dikuasai oleh pembuat berita palsu dan clickbait. Setidaknya begitulah menurut data CrowdTangle, sebuah tools insight milik Facebook (sekarang Meta).

Sebagai perbandingan, pada 2017, masih ada dua situs berita yang sah (secara hukum) yang masuk dalam 10 penerbit teratas di Facebook, untuk kawasan Myanmar. Delapan sisanya adalah situs berita fake news dan clickbait.

Pada tahun 2018, investigasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan bahwa kekerasan terhadap Rohingya merupakan genosida dan Facebook telah memainkan "peran yang menentukan" dalam kekejaman tersebut.

Baca juga: Facebook Lambat Hapus Propaganda di Myanmar, Zuckerberg Minta Maaf

Beberapa setelah hasil investigasi PBB, Facebook mengakui bahwa pihaknya tidak melakukan cukup upaya "untuk membantu mencegah platform miliknya digunakan untuk memicu perpecahan dan menghasut kekerasan di dunia nyata".

Panggung misinformasi Google: YouTube

Ilustrasi YouTube userbusinessinsider.com Ilustrasi YouTube user
Untuk Google sendiri disebut ikut menyediakan panggung bagi informasi misinformasi melalui platform streaming video populer milik perusahaan, yaitu YouTube.

Seperti Facebook, Google juga dilaporkan memberikan insentif melalui iklan AdSense, untuk YouTuber yang memposting konten tidak patut dan misinformasi yang viral.

MIT Technology Review melaporkan, banyak pembuat konten clickbait yang menghasilkan uang dan memonetisasi kontennya dengan cara mudah, yakni mengandalkan Instant Articles Facebook dan AdSense YouTube.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com