Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Facebook dan Google Disebut Beri Panggung Konten "Clickbait" dan Sebar Misinformasi

Kompas.com - 23/11/2021, 10:01 WIB
Galuh Putri Riyanto,
Reska K. Nistanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Di tengah derasnya arus informasi di era internet, misinformasi menjadi salah satu masalah yang dihadapi oleh berbagai platform digital, seperti Facebook dan Google, misalnya.

Yang mengejutkan, keberadaan misinformasi di Facebook dan Google ternyata turut didukung dan didanai oleh dua perusahaan teknologi raksasa itu sendiri.

Hal tersebut terungkap dalam laporan investigasi dari situs Technology Review, sebuah media yang didirikan di kampus Massachusetts Institute of Technology (MIT).

Dalam situs resminya, MIT Technology Review melaporkan bahwa Facebook dan Google mendukung penyebaran misinformasi dengan memberikan panggung kepada pembuat informasi clickbait secara global.

Baca juga: Facebook Saring Berita “Clickbait” dari Linimasa Pengguna

Informasi clickbait biasanya menyisipkan kata-kata sensasional, biasanya pada judul, tapi menyembunyikan informasi apa yang terdapat dalam artikel sebenarnya.

Tujuannya untuk memancing rasa penasaran pembaca. Seringkali isi informasi clickbait ini tak sesuai harapan bahkan dapat berisi misinformasi.

Menurut Kominfo, misinformasi sendiri dapat didefinisikan sebagai informasi yang memang tidak benar atau tidak akurat, namun orang yang menyebarkannya berkeyakinan bahwa informasi tersebut benar dan dapat dipercaya.

Tak hanya panggung, Facebook dan Google mengamini misinformasi dengan memberikan insentif melalui iklan.

Panggung misinformasi Facebook: Instant articles

Facebook disebut memberikan panggung kepada misinformasi melalui Instant Article, fitur yang diluncurkan pada 2015 ini dapat digunakan untuk hosting penerbitan konten berita secara langsung di platform Facebook.

Sebelum ada fitur Instant Article, saat pengguna membuka artikel yang diposting di Facebook, mereka akan dialihkan ke situs web penerbitnya langsung di browser. Tidak dibuka langsung di browser bawaan Facebook.

Alhasil, Facebook tidak bisa mendapatkan keuntungan sebab tak memiliki ruang iklan. Ruang iklan di browser biasanya dikuasai oleh Google, selaku pemilik browser Chrome.

Baca juga: Kominfo Gandeng Google Perangi Misinformasi di Internet, Begini Caranya

Untuk mengakali hal ini, Facebook meluncurkan Instant Article. Dengan fitur ini, artikel yang diposting di Facebook dapat terbuka langsung di dalam aplikasi, tidak lagi dialihkan ke browser eksternal.

Ini membuat Facebook bisa memiliki ruang iklan untuk meraup keuntungan. Jika ingin memonetisasi konten miliknya, penerbit bisa berpartisipasi dalam jaringan periklanan Facebook, yang disebut Audience Network.

Facebook akan memasukkan iklan ke dalam konten penerbit dan mengambil potongan 30 persen dari pendapatan.

Saat awal diluncurkan, Instant Articles tidak dibekali dengan kontrol konten kualitas konten yang kuat. Jadi, kelemahan Instant Articles ini dimanfaatkan oleh para pembuat informasi clickbait.

Caranya dengan membuat website yang banyak, memposting konten yang sama, bisa pula mencuri konten orang lain dan mereproduksinya dengan "bumbu-bumbu". Terakhir menyebarkannya ke Facebook pages sebanyak-banyaknya.

Dengan begitu, pembuat informasi itu dapat mendatangkan jumlah pengguna yang melihat konten clickbait tersebut dan pada akhirnya menghasilkan pendapatan iklan yang banyak dari Facebook.

Picu konflik

Parahnya, pembuat konten clickbait ini turut memanfaatkan krisis politik dari suatu negara, Myanmar misalnya. Selama kudeta Myanmar yang dimulai pada 1 Februari, warga Myanmar banyak yang menggunakan Facebook untuk memberitakan kondisi terkini di negaranya.

Salah satu live Facebook yang memperlihatkan ratusan warga Myanmar sedang protes soal kudeta militer di Myanmar. Konten ini banyak direproduksi bahkan disiarkan ulang dengan klaim merupakan siaran live.MIT Technology Review Salah satu live Facebook yang memperlihatkan ratusan warga Myanmar sedang protes soal kudeta militer di Myanmar. Konten ini banyak direproduksi bahkan disiarkan ulang dengan klaim merupakan siaran live.
Namun, konten tersebut dicuri dan diproduksi ulang oleh pembuat konten clickbait. Misalnya seperti konten video live di Facebook yang memperlihatkan ratusan orang sedang protes terhadap kudeta Myanmar. 

MIT Technology Review mencatat, pembuat konten clickbait semacam itu dapat menghasilkan pendapatan ribuan dollar AS per bulan dari iklan di Instant Articles Facebook.

Pendapatan itu 10 kali lipat lebih banyak dibandingkan rata-rata gaji bulanan di Myanmar.

Sebelumnya, krisis etnis Rohingya di Myanmar pada 2017 juga diselimuti dengan berbagai berita palsu (fake news) dan clickbait di Facebook.

Baca juga: Facebook dan Instagram Blokir Akun Milik Militer Myanmar

Akibatnya, intensitas konflik meningkat yang pada akhirnya menyebabkan kematian pada 10.000 orang etnis Rohingya, dan emigrasi dari 700.000 orang Rohingya lainnya.

Saat krisis Rohingya, tepatnya pada 2018, media populer di Myanmar sudah dikuasai oleh pembuat berita palsu dan clickbait. Setidaknya begitulah menurut data CrowdTangle, sebuah tools insight milik Facebook (sekarang Meta).

Sebagai perbandingan, pada 2017, masih ada dua situs berita yang sah (secara hukum) yang masuk dalam 10 penerbit teratas di Facebook, untuk kawasan Myanmar. Delapan sisanya adalah situs berita fake news dan clickbait.

Pada tahun 2018, investigasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan bahwa kekerasan terhadap Rohingya merupakan genosida dan Facebook telah memainkan "peran yang menentukan" dalam kekejaman tersebut.

Baca juga: Facebook Lambat Hapus Propaganda di Myanmar, Zuckerberg Minta Maaf

Beberapa setelah hasil investigasi PBB, Facebook mengakui bahwa pihaknya tidak melakukan cukup upaya "untuk membantu mencegah platform miliknya digunakan untuk memicu perpecahan dan menghasut kekerasan di dunia nyata".

Panggung misinformasi Google: YouTube

Ilustrasi YouTube userbusinessinsider.com Ilustrasi YouTube user
Untuk Google sendiri disebut ikut menyediakan panggung bagi informasi misinformasi melalui platform streaming video populer milik perusahaan, yaitu YouTube.

Seperti Facebook, Google juga dilaporkan memberikan insentif melalui iklan AdSense, untuk YouTuber yang memposting konten tidak patut dan misinformasi yang viral.

MIT Technology Review melaporkan, banyak pembuat konten clickbait yang menghasilkan uang dan memonetisasi kontennya dengan cara mudah, yakni mengandalkan Instant Articles Facebook dan AdSense YouTube.

Sebab, algoritma Facebook dan YouTube menaikkan/merekomendasikan konten apa pun yang menarik bagi pengguna dan viral, sebagaimana dihimpun KompasTekno dari situs MIT Technology Review, Selasa (23/11/2021).

Baca juga: Pahami Algoritma YouTube, Kunci Jadi YouTuber Sukses

Karena algoritma itu pula, menurut MIT Technology Review, Facebook dan YouTube telah menciptakan ekosistem informasi global di mana konten yang menjadi viral di satu platform akan sering didaur ulang di platform lain untuk memaksimalkan distribusi dan pendapatan.

Informasi yang sering didaur ulang itu tidak terjamin kualitasnya. Sebab bisa saja, isi informasi yang disampaikan menjadi keliru (misinformasi) atau ditambah bumbu-bumbu untuk memancing rasa penasaran pembaca (clickbait).

Tanggapan Facebook dan Google

Terkait temuan ini, juru bicara Meta Joe Osborne membantah temuan MIT Technology Review yang menyebut bahwa Facebook memberi panggung bahkan mendanai distribusi misinformasi di platformnya. Osborne mengatakan bahwa pihak MIT Technology Review salah memahami masalah ini.

"Bagaimanapun, kami telah berinvestasi dalam membangun solusi baru yang terukur dan berdasarkan pendapat pakar untuk masalah kompleks ini (misinformasi) selama bertahun-tahun, dan akan terus melakukannya," katanya.

Baca juga: Facebook dan YouTube Dituding Sebarkan Misinformasi Vaksin Covid-19

Sementara, Google mengonfirmasi bahwa perilaku memproduksi atau reproduksi konten tidak patut atau berisi misinformasi tersebut melanggar kebijakannya.

Google disebut telah menutup semua saluran YouTube yang MIT Technology Review identifikasi sebagai penyebar msiinformasi.

"Kami bekerja keras untuk melindungi pengguna dari konten clickbait atau yang menyesatkan di seluruh platform kami. Dan (kami) telah banyak berinvestasi dalam sistem yang dirancang untuk meningkatkan informasi otoritatif,” kata juru bicara YouTube, Ivy Choi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com