Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Gatot Rahardjo
Pengamat Penerbangan

Pengamat penerbangan dan Analis independen bisnis penerbangan nasional

kolom

Utang Bandara Bukan akibat Pandemi

Kompas.com - 11/12/2021, 11:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dalam dunia penerbangan, operator yang kena dampak paling parah dari pandemi Covid-19 bukan hanya maskapai, tetapi juga pengelola bandara.

Berkurangnya jumlah penumpang dan penerbangan pesawat membuat pemasukan bandara juga menjadi tipis.

Bahkan kementerian BUMN memyatakan salah satu BUMN pengelola bandara yaitu PT. Angkasa Pura 1 terlilit utang sebesar Rp35 triliun dan tiap bulan selama pandemi ini rugi Rp200 miliar. Sehingga pada saat pandemi usai diperkirakan utang AP 1 bisa mencapai Rp38triliun.

Namun benarkah utang bandara menggunung akibat pandemi Covid-19?

Bukan karena Covid

Utang Angkasa Pura 1 dan mungkin juga Angkasa Pura 2 serta pengelola bandara lain yang sangat besar bukan diakibatkan oleh Covid-19. Utang besar AP 1 itu mayoritas dipakai untuk membangun dan mengembangkan bandaranya.

Baca juga: Sejarah Angkasa Pura I yang Kini Rugi dan Terlilit Utang Rp 35 Triliun

Pandemi hanya menyebabkan AP 1 kesulitan membayar utang karena secara total jumlah pendapatannya menurun. Jika pada tahun 2019 pendapatannya bisa mencapai Rp 8,9 triliun, pada tahun 2020 pendapatannya turun jadi Rp 3,9 triliun dan 2021 hingga bulan Oktober baru mencapai Rp 2,5 triliun.

AP 1 mengakui ada 10 bandara yang sejak 2018 dikembangkan dan dibangun yaitu Bandara Ahmad Yani Semarang, Syamsudin Noor Banjarmasin, Bandara Internasional Yogyakarta (baru), Ngurah Rai Bali, Adi Soemarmo Solo, El Tari Kupang, Pattimura Ambon, Juanda Surabaya, Sam Ratulangi Manado, BIL Lombok. Ada dua bandara lagi yang ditunda penyelesaiannya yaitu Bandara Sultan Hasanuddin Makassar dan Sentani Jayapura.

Beberapa bandara dikembangkan karena sudah kelebihan beban atau lack of capacity seperti Bandara Yogyakarta, Bandara Ahmad Yani dan Bandara Syamsuddin Noor.

Bandara lainnya tidak disebutkan apa alasannya, apakah lack of capacity, antisipasi kenaikan jumlah penumpang di masa depan, atau karena faktor lain. Padahal jika dilihat, beberapa bandara seperti Adi Soemarmo, Pattimura, El Tari dan lainnya, masih cukup layak untuk dipakai saat ini hingga beberapa tahun ke depan.

Menurut AP 1, hingga tahun 2018 itu kapasitas semua bandaranya hanya untuk 80 juta penumpang, sedangkan jumlah penumpangnya sudah mencapai 97 juta. Di tahun 2019, ketika beberapa bandara selesai dibangun, kapasitasnya naik menjadi 104 juta, namun justru realisasi penumpangnya turun menjadi 82 juta. Tahun 2020 dan 2021, realisasi penumpang tambah makin terpuruk yaitu 32,8 juta dan 21,5 juta penumpang.

Bisnis bandara

Bisnis bandara memang tidak bisa dipisahkan dengan bisnis maskapai penerbangan. Namun walaupun sama-sama produk jasa penerbangan, bisnis bandara sedikit lebih mudah karena produknya tidak bersifat perisable (tidak tahan lama) seperti produk maskapai. Artinya produk bandara bisa dijual kapan saja.

Penumpang saat tiba di terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Selasa (12/5/2020). PT Angkasa Pura II mengeluarkan tujuh prosedur baru bagi penumpang penerbangan rute domestik selama masa dilarang mudik Idul Fitri 1441 H di Bandara Internasional Soekarno-Hatta.KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG Penumpang saat tiba di terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Selasa (12/5/2020). PT Angkasa Pura II mengeluarkan tujuh prosedur baru bagi penumpang penerbangan rute domestik selama masa dilarang mudik Idul Fitri 1441 H di Bandara Internasional Soekarno-Hatta.

Pendapatan terbesar bandara-bandara di Indonesia saat ini adalah dari penerbangan pesawat dan penumpang. Dengan adanya penerbangan, bandara mendapatakan pendapatan dari biaya pelayanan pada pesawat atau PJP4U dan dari penumpang dapat dari PJP2U/ Passenger service charge (PSC). Pendapatan ini yang dinamakan pendapatan aero. Jumlahnya, jika merujuk pada data AP 1 sebelum pandemi mencapai lebih dari 60% total pendapatan.

Sisanya adalah pendapatan yang didapat dari penyewaan lahan parkir, toko-toko di bandara dan lainnya yang dinamakan pendapatan non aero. Jadi bisa dikatakan semakin banyak penerbangan dan semakin ramai penumpang dan pengunjung bandara, pemasukan bandara dari aero dan non aero makin besar.

Baca juga: Genjot Kinerja pada 2022, Begini Strategi AP I

Hal ini sedikit berbeda dengan maskapai penerbangan. Pendapatan maskapai besar jika load factor atau tingkat keterisian pesawat tinggi dan/ atau harga tiket juga tinggi. Load factor dipengaruhi oleh jumlah penerbangan. Biasanya semakin banyak penerbangan, load factor justru akan turun.

Maskapai masih bisa untung jika hanya salah satu saja, load factor atau harga tiket yang tercapai. Namun akan rugi jika dua faktor itu tidak tercapai. Artinya, jumlah penumpang dan jumlah penerbangan yang banyak tidak serta merta membuat maskapai untung.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com