KOMPAS.com - Bagi sebagian orang yang selalu mengikuti perkembangan teknologi, khususnya di Tanah Air, mungkin sudah tak asing lagi dengan sosok Otto Toto Sugiri. Ia merupakan presiden direktur perusahaan Data Center Indonesia (DCI) Indonesia.
DCI merupakan perusahaan pusat data terbesar di Indonesia yang menyediakan penyimpanan data server dan layanan ruang pusat data. Pria 68 tahun ini saat ini tercatat pada jajaran 50 orang terkaya di Indonesia 2021 versi media bisnis Forbes.
Saat artikel ini dimuat, Otto menduduki peringkat ke-19 sebagai orang terkaya di Indonesia versi Forbes. Kekayaan tercatat mencapai 2,5 miliar US dollar atau setara dengan Rp 35,62 triliun (kurs Rp 14.250). Kekayaannya di bidang teknologi membuatnya dijuluki sebagai "Bill Gates"-nya Indonesia.
Baca juga: Jeff Bezos Jadi Orang Terkaya di Dunia Versi Forbes, Segini Kekayaannya
Otto sendiri termasuk pengusaha teknologi paling awal di Indonesia yang membantu pertumbuhan ekonomi digital Indonesia dengan pusat data terbesarnya yaitu DCI. Empat dekade lebih pengalamannya di bidang teknologi, membawanya ke titik sukses saat ini.
Perjalanan karirnya dimulai sejak dirinya meraih gelar sarjana teknik elektro pada tahun 1980 di RWTH Aachen University di Jerman.
Saat itu dirinya pulang ke Indonesia untuk merawat ibunya sekaligus memulai proyek pertamanya yakni membuat pemrograman lokal, seperti software untuk perusahaan minyak dan program untuk mengelola pencairan pinjaman nelayan di Papua.
Pada tahun 1983, dirinya mulai bergabung dengan Bank Bali untuk membuat sebuah software akuntansi yang memudahkan para pegawai akuntansi bank lebih efisien dalam mengerjakan tugasnya.
Baca juga: Peraturan Menteri Kominfo tentang Data Center Jadi Pelengkap PP 71/2019
Setelah itu dirinya mulai membangun perusahaan perangkat lunaknya sendiri yaitu Sigma Cipta Caraka pada tahun 1989 dengan modal 200 ribu US dollar. Di sini ia bergabung dengan enam mantan pegawai Bank Bali lainnya termasuk Marina Budiman yang kini menjabat sebagai presiden komisaris DCI.
Sigma Cipta Caraka cukup memberikan angin segar untuk perkembangan teknologi saat itu khususnya di bidang perbankan yang mana saat itu pemerintah baru saja menderegulasi industri perbankan.
Saat itu, jumlah bank di Indonesia merangkak naik. Pada tahun 1988, jumlahnya baru mencapai 111. Di tahun 1994, jumlahnya naik lebih dari dua kali lipat, yakni mencapai 240 bank. Kala itu, tenaga IT di perbankan sedang sangat dibutuhkan.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.