Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

E-mail Hasilkan Emisi Karbon, Bagaimana Perusahaan Teknologi Mengatasinya?

Kompas.com - 25/01/2022, 10:30 WIB
Kevin Rizky Pratama,
Wahyunanda Kusuma Pertiwi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Tidak bisa dipungkiri, digitalisasi memudahkan  banyak aktivitas manusia saat ini. Akan tetapi, aktivitas digital ternyata ikut menyumbang jejak karbon (carbon footprint) atau jumlah emisi yang dihasilkan manusia.

Emisi ini bisa dihasilkan dari aktivitas kecil sekalipun, salah satunya adalah berkirim e-mail.  Sebab secara tidak langsung, e-mail ikut menyumbang emisi karbon yang menjadi kontributor perubahan iklim. Hal ini dijelaskan oleh peneliti dari Universitas Lancaster, Mike Berners-Lee.

"Saat Anda mengetik, komputer Anda akan menggunakan listrik. Ketika Anda menekan tombol kirim, maka (e-mail) itu akan melewati jaringan internet, dan dibutuhkan listrik untuk menjalankan internet," kata Berners-Lee.

Menurut Berners-Lee, mengirim satu e-mail diperkirakan dapat menyumbangkan sekitar 4 gram emisi karbon. Angka tersebut didapatkan dari e-mail berisi teks yang tanpa disertai lampiran file.

Baca juga: Teknologi Cloud Disebut Bisa Kurangi Emisi Karbon hingga 78 Persen

Apabila disertai dengan lampiran seperti foto, sebuah e-mail bisa menghasilkan 50 gram emisi karbon.

Sementara pada e-mail yang bersifat spam, jumlah emisi karbon yang dihasilkan cenderung sangat sedikit yakni 0,3 gram.

Berners-Lee juga memperkirakan bahwa seseorang dapat menyumbang 1,6 kg emisi karbon dalam satu hari dari kegiatan berkirim e-mail.

Melansir The Good Planet, pada tahun 2019, tercatat ada lebih dari 2,3 miliar pengguna global yang terdaftar menggunakan layanan e-mail. Diperkirakan ada sekitar 293,6 miliar e-mail yang dikirimkan setiap harinya.

Untuk dapat menampung e-mail yang dibuat oleh pengguna, penyedia layanan e-mail membutuhkan mesin pusat data (data center).

Namun, asupan energi listrik yang diperlukan mesin-mesin tersebut tidaklah sedikit. Demi menyediakan sumber listrik yang tercukupi, tak jarang perusahaan penyedia data center masih mengandalkan bahan bakar fosil, seperti minyak bumi dan batu bara.

Peningkatan emisi karbon yang disebabkan oleh proses pembakaran inilah yang dapat memicu perubahan iklim dan pemanasan global.

Baca juga: Hari Bumi, Google Doodle Bagi-bagi Tips Merawat Lingkungan

Di Amerika Serikat, data center bertanggung jawab atas 2 persen penggunaan listrik negara atau sekitar 200 terawatt Hours (TWh) pada konsumsi listrik secara global.

Berdasarkan dokumen Komisi Perdagangan Internasional Amerika Serikat (UITC) yang mengutip data dari CloudScene, setidaknya ada 8.000 data center yang tersebar di 110 negara di tahun 2021.

Perusahaan teknologi seperti Google, Amazon, dan Microsoft, disebut menguasai industri data center dunia. Bayangkan dengan banyaknya data center yang tersebar di berbagai berbagai negara, bagaimana perusahaan-perusahaan itu mengatasi masalah emisi karbon?

Ambisi perusahaan teknologi menuju bebas karbon

Data center Google di Asia, salah satunya berada di Singapuragoogle.com Data center Google di Asia, salah satunya berada di Singapura

Salah satu upaya yang ditempuh adalah dengan memanfaatkan energi terbarukan. Sejumlah raksasa teknologi seperti Google dan Microsoft telah mempublikasikan kampanye bebas karbon (carbon-neutral) dengan memanfaatkan energi terbarukan serta mengembangkan industri berbasis energi bersih.

Sejak tahun 2007, Google mengklaim telah mengoperasikan layanan berbasis komputasi awan (cloud) yang bebas karbon.

"Pada tahun 2007, kami menjadi perusahaan besar pertama yang mencapai netralitas karbon. Ini berarti bahwa layanan yang kami sediakan, termasuk penggunaan Gmail oleh konsumen dan perusahaan, memiliki jejak karbon bersih nol," jelas Country Director Google Cloud Indonesia, Megawaty Khie kepada KompasTekno.

Baca juga: Google Earth Buktikan Perubahan Iklim Itu Nyata

Upaya pelestarian lingkungan tersebut berlanjut hingga tahun 2017, ketika Google memproklamirkan pihaknya telah menjadi salah satu perusahaan yang menggunakan sumber energi yang dapat diperbaharui.

Tak lagi mengandalkan bahan bakar fosil, Google mengimplementasikan teknologi pembangkit listrik tenaga angin dan surya untuk memasok konsumsi listrik yang dibutuhkan.

"Pada tahun 2017, kami melangkah lebih jauh dan menjadi perusahaan pertama seukuran kami yang mencocokkan 100 persen konsumsi listriknya dengan energi terbarukan. Kami terus melakukan ini setiap tahun sejak itu," lanjut Megawaty.

Mengacu pada laporan bertajuk "Google Environmental Report 2020", Google mengklaim bahwa layanan Gmail mampu mengurangi dampak emisi gas rumah kaca yang dihasilkan hingga 98 persen, dibandingkan dengan layanan e-mail yang dijalankan melalui server lokal.

Tercatat pada akhir tahun 2019, Google telah memiliki 19 area operasional serta 21 data center yang tersebar di empat benua di dunia.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Google, jumlah aktivitas komputasi yang dilakukan oleh data center meningkat hingga 550 persen di antara tahun 2010 hingga 2018.

Namun, jumlah energi yang dikonsumsi oleh data center hanya tumbuh sebesar 6 persen selama periode yang sama.

Ini menandakan bahwa pusat data masih menyumbang sekitar 1 persen dari konsumsi listrik global, meski turut disertai dengan pertumbuhan penggunaan energi listrik yang masif.

Baca juga: Bos Amazon Donasi Rp 137 Triliun untuk Tanggulangi Perubahan Iklim

Google nampaknya akan terus melanjutkan komitmen pelestarian lingkungan hingga tahun 2030, yakni dengan menjalankan bisnis dengan energi bebas karbon.

Dalam waktu kurang dari 10 tahun ke depan (terhitung dari tahun 2020), Google mengeklaim akan berupaya untuk membantu lebih dari 500 kota dengan mengurangi 1 Gigaton emisi karbon yang dihasilkan setiap tahunnya.

Selain Google, Microsoft juga menjadi salah satu perusahaan yang mengampanyekan langkah bebas emisi karbon.

Sebagaimana dihimpun KompasTekno dari situs resmi Microsoft, Selasa (25/1/2022), Microsoft memperkirakan menyumbang 16 juta metrik ton karbon di tahun 2020.

Dari total tersebut, sekitar 100.000 emisi karbon yang dihasilkan berasal dari aktivitas transportasi, seperti truk dan aktivitas generator.

Sementara sekitar 4 juta lainnya disebabkan oleh emisi karbon tidak langsung seperti produksi listrik atau panas yang kerap digunakan pada rumah dan gedung.

Baca juga: 4 Ramalan Bill Gates untuk Tahun 2021, dari Pandemi hingga Perubahan Iklim

Sisa 12 juta ton emisi karbon disumbangkan oleh cakupan yang lebih luas, seperti aktivitas produksi makanan hingga proses pembuatan sebuah produk.

Dalam rangka menanggulangi besaran emisi karbon yang dihasilkan, raksasa teknologi asal AS ini berkomitmen untuk menghasilkan aktivitas bebas karbon pada tahun 2030.

Dan pada tahun 2050, Microsoft mengeklaim akan terus berupaya untuk menghapus semua karbon yang dihasilkan perusahaan sejak didirikan pada tahun 1975, baik itu secara langsung maupun melalui konsumsi listrik.

"Sementara dunia perlu mencapai nol bersih (emisi karbon), kami mampu bergerak lebih cepat dan melangkah lebih jauh harus melakukannya. Itulah mengapa hari ini kami mengumumkan tujuan ambisius dan rencana baru untuk mengurangi dan pada akhirnya menghapus jejak karbon (yang dihasilkan) Microsoft," jelas Brad Smith selaku President Microsoft.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com