Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Greg Teguh Santoso
Versatilist dan Auditor Sistem Manajemen

Sedang menyelesaikan studi S3 di Taiwan sembari menjadi pengajar di beberapa universitas.  Seorang versatilist yang gemar bertualang di dunia maya dan berkolaborasi di dunia nyata, membaca, mengajar, dan menulis. Mari mampir, tegur-sapa di versatilistmilenial2020@gmail.com.

kolom

Titik Mula Sandyakalaning Meta?

Kompas.com - 05/02/2022, 13:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

LAGI, nilai valuasi saham Facebook atau yang telah berganti nama menjadi Meta, anjlok 251 miliar dollar AS pada awal perdagangan bursa saham pada 3 Februari lalu, sebelum terpangkas menjadi sekira 195 miliar dollar AS.

Tak pelak, hal ini mengguncang banyak pihak, khususnya para investor institusi. Inilah nilai penurunan terbesar dalam sejarah yang pernah terjadi hingga saat ini, tak hanya di pasar Amerika, tetapi juga dunia!

Sebelumnya, pada 2018 lalu, saham Facebook juga pernah mengalami penurunan tajam sebesar 19 persen dalam sehari.

Demikian pula saham Apple pernah anjlok tak kurang dari 180 miliar dollar AS pada 3 September 2020.

Adapun saham Microsoft sempat terjun bebas senilai 178 miliar dollar AS pada 16 Maret 2020.

Tak urung ‘Ada apa dengan Meta?’ adalah tanya yang banyak mengelayuti benak investor dan analisis di muka bumi selepas rontoknya harga saham Facebook, termasuk mempertanyakan keberlanjutan eksistensinya.

Tak kurang analis dari Moffet Matheson, sebuah entitas yang secara khusus fokus dalam melakukan aneka kajian dalam ranah media dan komunikasi digital.

Michael Nathanson secara tajam menulis: apakah ini adalah awal dari berakhirnya era kejayaan Meta yang baru secara resmi dideklarasikan sang pendiri di kuartal terakhir 2021 lalu?

Tentu, sangatlah ironis bila fenomena ini menjadi titik-balik dari keberadaan Meta yang telah mengharu-biru dunia dengan maraknya metaverse sebagai masa depan dunia maya.

Tentu juga, masihlah terlalu dini guna menyimpulkan bahwa hal ini adalah awal kejatuhan bisnis Facebook yang memang telah memasuki masa-masa maturity.

Bila ditelisik lebih jauh, terungkaplah data bahwa jumlah pengguna aktif harian Facebook turun untuk pertama kalinya, dari 1,93 miliar pada kuartal III 2021 menjadi 1,929 miliar akhir tahun lalu.

Nilai pasar perusahaan induk, Meta, anjlok 251,3 miliar dollar AS atau sekitar Rp 3.613 triliun.

Salah satu akar masalah alias biang kerok yang dituduh sebagai biang penurunan jumlah pengguna aktif ini adalah kian mahalnya harga paket internet di India yang merupakan pengguna nomor wahid di dunia, selain Indonesia tentu saja.

Selain itu, dalam nuansa persaingan geo-ekonomi politik global, makin melejitnya penggunaan aplikasi video pendek asal China, TikTok, telah memainkan peran makin signifikan dalam menggerus masifnya jumlah pengguna aktif harian Facebook.

Hal ini diakui sendiri oleh sang CEO Mark Zuckerberg sebagaimana dikutip dalam USA Today.

"Orang-orang memiliki banyak pilihan untuk menghabiskan waktu mereka dan aplikasi seperti TikTok berkembang sangat cepat," kata Zuckerberg dalam sambutan terkait pengumuman laporan keuangan beberapa waktu sebelumnya.

Mark menegaskan bahwa Meta berinvestasi lebih banyak ke bisnis video berdurasi pendek untuk bersaing dengan TikTok.

Induk Facebook ini dinyatakan bakal berfokus pada Reels, aplikasi video pendek besutan Meta, yang diluncurkan di Instagram pada 2020 lalu.

Menarik diamati lebih lanjut bagaimana dampak kebijakan bisnis Meta terkait persaingan yang kian sengit dengan TikTok.

Faktor ketiga yang diduga menjadi penyebab kejatuhan harga saham tersebut adalah arah investasi bisnis Meta yang amat fokus, untuk tak dibilang jor-joran, pada pengembangan divisi Divisi metaversenya, yakni Realty Labs.

Ternyata, merujuk pada laporan keuangan perusahaan pada kuartal IV 2021 lalu, bisnis dunia virtual ini merugi lebih dari 10 miliar AS atau sekitar Rp 144 triliun selama tahun lalu.

Sebagai catatan, Realty Labs adalah divisi baru yang bertugas membangun visi CEO Meta Mark Zuckerberg untuk metaverse, termasuk perangkat keras (hardware) seperti headset VR (virtual reality) Meta Quest.

Adapun data rincian rugi bersih divisi metaverse Realty Labs ini bila ditelusur lebih lanjut telah bermula sejak 2019 sebesar 4,5 miliar dollar AS dengan pendapatan sebesar 501 juta dollar AS.

Sedangkan pada tahun 2020, sebagai awal mula pandemi, tercatat bahwa pendapatan total Facebook tak kurang dari 1,14 miliar dollar AS, namun mengalami kerugian senilai 6,62 miliar dollar AS untuk divisi metaversenya.

Pada tahun 2021, sang induk usaha Meta berhasil mendongkrak pendapatannya ke level 2,27 miliar dollar AS, namun mencatatkan rugi bersih lebih besar lagi, yakni 10,19 miliar dollar AS.

Tak bisa dimungkiri bahwa kerugian tersebut menghambat profitabilitas Meta secara keseluruhan tahun lalu.

Sejatinya perusahaan diperkirakan memiliki laba lebih dari 56 miliar dollar AS sepanjang tahun lalu, jika bukan karena Reality Labs yang terus merugi demi mengembangkan metaverse.

Sudah barang tentu mega kerugian beruntun yang terjadi berimbas pada valuasi harga saham perusahaan sebagai konsekuensi logis.

Lepas dari aspek bisnis, upaya dan proses pengembangan metaverse takkan surut, mengingat makin banyak entitas usaha yang bertekad menggeluti bisnis ini.

Tak boleh kita lupakan juga sejarah pengembangan berbagai teknologi selama ini, investasi besar di awal adalah keniscayaan untuk kemudian berbagai pesaing bakal mengaplikasikan mantra mujarab: amati-tiru-modifikasi hingga mampu melahirkan beragam piranti canggih dengan harga yang murah dikarenakan ‘melompati’ tahap research and development (R&) yang menguras banyak biaya.

Sejarah pengembangan perangkat telepon seluler pintar telah membuktikan hal ini.

Lagi-lagi, faktor geo-politik ekonomi global telah mencatat China sebagai pihak yang menikung secara jenial serta menangguk keuntungan dalam situasi tersebut (kendati hal ini juga berimbas aneka benefits bagi pengguna atau customers).

Di sisi lain, patut diingat pula apa yang dinyatakan oleh CEO Microsoft Satya Nadella sebagaimana dikutip Kompas.com belum lama ini, bahwa konsep metaverse sebenarnya tak lain adalah seperti membuat game alias media permainan digital yang sudah banyak diakrabi khalayak selama ini.

Apakah pernyataan ini semacam psywar dalam geliat persaingan antarentitas bisnis raksasa ataukah sebaliknya, tentu layak kita nantikan perkembangan lebih lanjut.

Sejauh berbagai pengembangan tersebut bakal memberi manfaat bagi khalayak tentu patut kita dukung disertai sikap kritis akan beragam dampak negatif yang mungkin.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com