Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moch S. Hendrowijono
Pengamat Telekomunikasi

Mantan wartawan Kompas yang mengikuti perkembangan dunia transportasi dan telekomunikasi.

kolom

Kritis, jika Operator Tetap Perang Tarif

Kompas.com - 21/02/2022, 07:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Industri telekomunikasi di Indonesia akan segera memasuki masa kritis ketika operator tetap berkutat pada bagaimana merebut sebanyak mungkin pelanggan baru, dengan promo-promo murah. Saat ini agak mustahil mendapat pelanggan baru karena jumlah pelanggan sudah melebihi angka 360 juta, untuk penduduk 272 juta termasuk balita.

Masalah pelanggan sudah memasuki zona zero sum game, ketika jumlah pelanggan satu operator bertambah berarti jumlah pelanggan operator lain berkurang. Merger juga berpotensi mengurangi jumlah pelanggan, jika satu pelanggan memiliki kedua kartu operator yang merger, mungkin akan mematikan salah satu kartu SIM-nya.

Namun masalah besarnya bukan di jumlah pelanggan, melainkan di cara operator menarik pelanggan baru dengan promo, banting-bantingan harga layanan, harga data, padahal kesetiaan pelanggan kini sudah agak luntur. Ketika promo selesai, proses churn akan terjadi, pelanggan akibat promo akan pindah ke operator lain yang sedang berpromo, dan ini dampak kompetisi yang tajam.

Proses yang tidak akan selesai, yang justru meninggalkan jejas di operator berupa beban yang berat di sistem mereka. Sistem menjadi tidak produktif karena spektrum dikuasai pelanggan akibat harganya yang murah.

Jika ini semua dikaitkan dengan industri keseluruhan masa kini yang mengandalkan infrastruktur untuk ekonomi digital, jelas operator yang masih yakin akan tetap berada di kompetisi yang kasar, mereka rugi besar. Bahkan bisa sampai kolaps.

Semua lini ekonomi, pendidikan, transportasi, dan sebagainya yang menguasai keseharian manusia yang masuk ke era digital tidak bisa dikejar oleh operator yang masih jor-joran tarif murah – yang sebenarnya menguntungkan pelanggan – dengan layanan kelas abu-abu. Di lapangan terbukti, kompetisi tarif membuat operator sulit berkembang karena labanya kecil, bahkan ada yang bertahun-tahun rugi terus.

Ancaman denda

Ada RPP (rancangan peraturan pemerintah) berdasarkan UU Cipta Kerja, operator yang tidak mampu melayani semua desa/kelurahan, akan kena denda sebesar Rp 2 miliar per desa. Angka ini dihitung dari biaya modal pembangunan (capex – capital expenditure) dan opex (operational expenditure) biaya operasi selama setahun.

Mayoritas operator akan menolak karena RPP jadi ancaman serius pada operasional mereka, yang di antaranya hanya berkutat di kota-kota besar di Jawa, Sumatera, Bali, tetapi melupakan sebagian lain wilayah Indonesia. Secara hitungan ekonomi sekilas, wilayah yang belum dijamah ini memang tidak akan menguntungkan dalam waktu singkat karena masa impasnya sangat lama.

Namun testimoni sering menyebutkan, ketika operator telko melayani satu wilayah baru, anak-anak sekolah semakin cerdas, ekonomi tumbuh, kawasan wisata mereka dikenal manca negara, layanan kesehatan membaik karena ada telemedicine, dan sebagainya.
Murid sekolah mulai butuh data, pengelola wisata butuh data, juga pelaku UMKM yang makin luas jangkauan pemasaran dan penjualan produknya.

Kini, kawasan industri mulai butuh layanan 5G, yang jelas membantu operasional, efisiensi dan kualitas produk mereka, dengan biaya jauh lebih murah. Beberapa hari lalu Telkom dan Telkomsel bekerja sama dengan pengelola Kawasan Jababeka untuk mengembangkan pemanfaatan teknologi jaringan 5G, menuju Jababeka Digitalized Township Ecosystem.

Ekonomi digital lewat layanan 5G akan menguasai kehidupan masyarakat Indonesia, dan dunia secara keseluruhan. Dan, sektor telekomunikasi (seluler) punya peran paling utama, karena hanya mereka yang bisa memberikan layanan 5G lewat operasional spektrum yang mereka miliki, bukan perbankan, pemerintahan, atau sektor lain.

Semua butuh layanan digital

Bahkan perbankan yang dua dekade lalu menolak masuknya telko ke dapur mereka dengan berbagai batasan, kini harus bekerja sama dengan operator untuk mendapat layanan digital. Bank digital pun sudah di depan mata.

Jika kerja sama Jababeka hanya dengan Kelompok Telkom, tidak berarti operator lain – Indosat Ooredoo Hutchison, XL Axiata dan Smartfren – tidak akan kebagian kue. Kue sangat banyak, industri di Indonesia jumlahnya jutaan kalau tidak mau disebut ratusan jutaan, ada 64 jutaan UMKM, dan transportasi mandiri akan segera menyusul.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com