Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dilarang di China, Penambangan Bitcoin Malah Kian Rusak Lingkungan

Kompas.com - 04/03/2022, 06:48 WIB
Lely Maulida,
Wahyunanda Kusuma Pertiwi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Aktivitas penambangan (mining) Bitcoin dan mata uang kripto lainnya resmi dilarang di China per tahun 2021. Larangan ini didasarkan pada visi negeri Tirai Bambu tersebut untuk mengurangi emisi karbon pada tahun 2030 dan menjadi negara netral karbon pada 2060.

Alih-alih mengurangi emisi karbon, larangan tersebut justru dinilai semakin merusak lingkungan karena peningkatan jumlah emisi karbon secara global.

Klaim ini berasal dari studi baru berjudul "Revisiting Bitcoin's Carbon Footprint" yang ditulis oleh para peneliti dari beberapa universitas internasional, yakni Vrije Universiteit Amsterdam, Technical University of Munich, ETH Zurich, dan Massachusetts Institute of Technology (MIT).

Baca juga: Penambang Bitcoin Beli Pembangkit Listrik Sendiri untuk Mining

Menurut laporan tersebut, peningkatan emisi ini ditimbulkan dari menurunnya penggunaan energi terbarukan, seperti tenaga angin, surya atau tenaga air untuk kativitas jaringan Bitcoin.

Studi itu menyebut penggunaan energi terbarukan untuk aktivitas penambangan jaringan Bitcoin turun dari rata-rata 41,6 persen di tahun 2020, menjadi 25 persen pada Agustus 2021. Sehingga, intensitas karbon dari aktivitas penambangan kripto disebut meningkat sekitar 17 persen.

Di tahun yang sama, para peneliti mengestimasi bahwa penambangan Bitcoin berkontribusi atas sekitar 65,4 megaton karbon dioksida setiap tahun. Jumlah ini diklaim hampir sebanding dengan emisi karbon di Yunani pada 2019 yang tercatat mencapai 57 megaton.

Salah satu alasan penurunan penggunaan energi terbarukan untuk penambangan mata uang kripto adalah karena penambang Bitcoin kehilangan akses ke pembangkit listrik tenaga air di China, tepatnya di provinsi Sinchuan dan Yunnan. Padahal, fasilitas ini memberikan energi yang murah dan lebih ramah lingkungan.

Baca juga: Pemerintah Ukraina Terima Donasi Bitcoin dan Ethereum, Terkumpul Rp 271 Miliar

Untuk mengatasi larangan penambangan di China, mayoritas penambang Bitcoin bermigrasi ke Kazakhstan hingga Amerika Serikat (AS).

Namun di negara ini, mereka lebih banyak menggunakan bahan bakar konvensional yang kurang ramah lingkungan, seperti batu bara di Kazakhstan dan gas alam di AS.

Kedua bahan bakar fosil itu dinilai sebagai pendorong perubahan iklim karena dalam proses pembakarannya menghasilkan sejumlah besar karbon dioksida. Pada akhirnya, praktik ini menghasilkan emisi karbon yang dapat menyebabkan perubahan iklim atau pemanasan global.

"Ada banyak kepercayaan bahwa larangan penambangan Bitcoin oleh China akan membuat aktivitas penambangan lebih menjadi lebih hijau (baik untuk lingkungan)... Namun faktanya, aktivitas itu menjadi bisnis "kotor" dan semakin buruk," kata Alex de Vries, salah satu peneliti studi dikutip KompasTekno dari The New Yok Times, Selasa (1/3/2022).

Baca juga: Benarkah Aset NFT Bikin Boros Energi Listrik?

Mengapa penambangan Bitcoin boros listrik?

Menurut data Bitcoin Energy Consumption Index dari Digiconomist per September 2021, pemakaian listrik untuk kegiatan penambangan Bitcoin diperkirakan mencapai 166,40 Terra Watt per jam (TWh) per tahun.

Angka tersebut diestimasi menghasilkan emisi karbon sebesar 79 metrik ton (Mt) dan 22,93 kiloton (kt) limbah elektronik (e-waste). Penambangan Bitcoin maupun mata uang kripto lain memang membutuhkan konsumsi daya yang sangat besar.

Konsumsi listrik yang besar ini berasal dari transaksi Bitcoin harus divalidasi. Proses validasi ini dibutuhkan untuk meyakinkan penjual bahwa Bitcoin yang diterima adalah asli.

Keseluruhan proses ini akan dicatat dan diamankan ke dalam sistem Bitcoin public ledger atau dikenal dengan istilah blockchain. Rangkaian blockchain inilah yang membutuhkan konsumsi listrik yang sangat besar.

Para penambang akan berlomba-lomba untuk menjadi pihak yang memvalidasi transaksi dan memasukannya ke dalam blockchain. Untuk mendapatkan Bitcoin, komputer yang digunakan para penambang harus mampu memecahkan soal matematika yang melibatkan serangkaian perhitungan algoritma rumit.

Proses pemecahan itulah yang disebut dengan mining atau penambangan. Untuk menambang, dibutuhkan komputer yang tangguh dan beroperasi 24 jam terus-menerus agar penambang bisa mendapat imbalan berupa keping Bitcoin, setiap kali blok baru ditambah ke blockchain untuk mencatat transaksi.

Semakin banyak pihak yang melakukan penambangan, semakin besar pula listrik yang dibutuhkan, dan emisi yang dihasilkan pun akan kian bertambah.

Bertentangan dengan studi pro-kripto

Studi "Revisiting Bitcoin's Carbon Footprint" dari beberapa peneliti itu tampaknya bertentangan dengan laporan lain tantang penambangan Bitcoin.

Menurut laporan Dewan Penambang Kripto (Bitcoin Mining Council/BMC), industri tambang kripto menggunakan lebih dari 58 persen energi terbarukan untuk menambang aset digital.

"Hasil survei menunjukkan bahwa anggota BMC dan peserta survei saat ini memanfaatkan energi listrik terbarukan sebesar 66,1 persen," tulis BMC,  dikutip dari laman resminya.

"Berdasarkan data ini, diperkirakan penggunaan energi listrik terbarukan di industri tambang kripto secara global mencapai sekitar 58,5 persen selama kuartal IV-2021, naik satu persen dari kuartal III-2021," lanjut penjelasan BMC.

Baca juga: Harga Bitcoin Anjlok, Pasar Kripto Dunia Rugi Hingga Rp 14.329 Triliun

Peningkatan itu disebut karena adanya kemajuan teknologi semikonduktor, ekspansi penambangan yang cepat di Amerika Utara, hingga teknik penambangan yang lebih modern.

"Di kuartal ini, kami melihat tren berlanjut dengan peningkatan signifikan pada efisiensi dan keberlanjutan energi penambangan Bitcoin karena kemajuan teknologi semikonduktor, ekspansi penambangan Amerika Utara, eksodus China dan visi menuju energi berkelanjutan serta teknik penambangan modern," kata pimpinan BMC sekaligus CEO MicroStrategy, Michael Saylor.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com