KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Ukrida
UKRIDA Bagimu Negeri
Akademisi

Platform akademik Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA) untuk menyebarluaskan gagasan dari para akademisi tentang ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat bagi masyarakat dan dipersembahkan bagi kemajuan negeri Indonesia.

kolom

Menyelisik Lebih Jauh Tantangan Cyber Ethics 4.0

Kompas.com - 27/05/2022, 10:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh Denni B Saragih, PhD

Dosen Etika dan Moralitas, Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA), Jakarta

 

PERKEMBANGAN teknologi digital dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang mahacepat telah membawa dampak yang mendalam di tengah masyarakat. Hal ini pun membawa banyak dampak positif, seperti kemudahan komunikasi, efisiensi sektor finansial, pengelolaan transportasi, dan bahkan pelayanan kedokteran.

Namun, pada saat yang sama, banyak pula tantangan terjadi. Bahkan, beberapa perkembangan teknologi tersebut belum memiliki regulasi yang jelas.

Hal itu bukan saja terjadi di Indonesia, melainkan juga di dunia, termasuk di negara-negara yang merupakan technological power-houses, seperti Amerika Serikat (AS), Jepang, China, Jerman, dan Inggris. Masalah etika siber menjadi salah satu isu yang sangat penting dan mendesak.

Melalui artikel ini, saya ingin mengajak masyarakat untuk mulai mencermati sisi etis dari perkembangan teknologi digital. Mungkin, ada yang merasa topik ini tidak berkaitan dengan dirinya. Namun, cobalah pahami dulu.

Ambil contoh peristiwa sehari-hari ketika perangkat lunak gawai elektronik Anda di-update oleh vendor, seperti Google, Microsoft, dan Apple. Aktivitas sederhana seperti ini sebenarnya penuh dengan sisi etika.

Meski sering diinformasikan bahwa hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan kinerja, kenyamanan, dan keamanan, tidak pernah ada penjelasan yang terperinci terkait versi terbaru.

Sering kali pengguna tertimpa akibat yang tidak diinginkan. Contohnya, ada aplikasi yang tidak berfungsi, mesin gawai terpengaruh, hingga energi baterai cepat soak.

Meski begitu, para vendor tersebut tetap melakukan update secara rutin tanpa ada izin yang jelas dan terperinci dari pengguna. Bahkan, aktivitas update ini sering kali dilakukan di belakang layar (background).

Jika ditelaah, perkembangan teknologi digital dan AI yang pesat menghadirkan berbagai tantangan yang lebih fundamental. Berikut saya jabarkan beberapa tantangan tersebut untuk kita pikirkan dan diskusikan bersama.

Dampak kemanusiaan dari perubahan yang terlalu cepat

Saat ini, semua orang latah dengan kata “disruptif”. Kata ini seolah diartikan serbapositif. Semua harus berubah, mulai dari pemerintahan, pendidikan, kesehatan, sosial, hingga ekonomi.

Jumlah telepon genggam yang beroperasi secara online saat ini diprediksi mencapai 4 miliar. Dengan jumlah sebanyak itu, tidak ada yang mampu mengukur secara akurat dampaknya secara global.

Ambil contoh sederhana Facebook. Media sosial ini semula dirancang untuk merekatkan komunitas. Namun, seiring waktu, Facebook ternyata bisa menjadi sarana kampanye genosida, manipulasi politik, penyebaran hoaks, dan propagasi ujaran kebencian. Regulasi kemudian mulai hadir setelah begitu banyak dampak negatif yang dirasakan oleh publik. Namun, implikasi lebih jauh dari perubahan ini belum tentu dikaji secara serius.

Contoh lainnya adalah peningkatan isolasi antarindividu akibat pertumbuhan komunikasi daring. Hal ini kerap terlihat dalam acara makan bersama sebuah keluarga di restoran. Daripada mengobrol, setiap orang justru sibuk dengan gawai komunikasinya masing-masing.

Tantangannya adalah bagaimana menata alat komunikasi tetap sebagai alat. Gawai adalah sarana bukan tujuan. Kita harus menggunakan alat itu, bukan digunakan alat.

Tentu saja ada yang berkepentingan agar semakin banyak penggunaan alat, maka semakin banyak pula klik dan kunjungan ke situs. Tanpa disadari, pemasaran digital mendikte kemanusiaan dengan cara yang menjauhkan kita dari hakikat komunikasi itu sendiri.

Bahaya kapitalisme pengintip

Baru-baru ini, mantan Wakil Presiden AS Al Gore berbicara tentang fenomena “stalker economy”. Ini adalah fenomena perusahaan-perusahaan global yang punya kepentingan mengumpulkan data pengguna gawai.

Tentu kita masih ingat skandal Facebook yang dimanfaatkan Cambridge Analytica untuk iklan kampanye politik di Amerika. Fenomena serupa juga terjadi pada awal 2000-an saat Google ditemukan menyimpan berbagai fragmen data dari pengguna. Data ini dapat dijadikan acuan untuk memahami pikiran dan emosi pengguna sebagai bagian dari algoritma untuk memprediksi perilaku klik dan kunjungan situs.

Dalam buku The Age of Surveillance Capitalism, Zuboff sebagai penulis menjelaskan bagaimana perusahaan-perusahaan terbesar dunia lainnya, seperti Apple, Facebook, Amazon, dan Microsoft, melakukan hal yang sama dalam mengumpulkan informasi tentang penggunanya.

Informasi itu kemudian digunakan untuk menjadi bagian dari modifikasi perilaku yang menjadi bagian dari strategi pemasaran dan periklanan. Bahkan, juga menjadi bagian dari pengiklanan dengan target yang dipersonalisasi.

Melalui mekanisme tersebut, setiap pengguna akan diberikan iklan yang sesuai dengan data yang dikumpulkan dan diolah oleh AI. Wujud dari modifikasi yang “dienjiner” adalah agar setiap pengguna semakin lama menghabiskan waktu dengan aplikasi yang mereka miliki.

Tentu saja kesadaran akan intensionalitas ini perlu disadari oleh publik. Namun, sangat jarang pengguna mengakses setiap aplikasi dengan kesadaran bahwa aktivitas tersebut tidak hanya melibatkan pengguna dan gawainya. Akan tetapi, ada pihak ketiga yang memonitor dan memodifikasi agar pengguna tanpa sadar berlama-lama dalam aplikasi tersebut.

Tantangan kekuatan ekonomi yang berlebihan

Bisa bekerja di perusahaan raksasa dunia, seperti Google dan Facebook, merupakan kebanggaan tersendiri bagi sebagian orang. Namun, ada sisi lain yang perlu diketahui.

Sudah sering disebut bahwa perusahaan teknologi itu mempekerjakan sedikit pegawai, tetapi modal keuntungan yang dimiliki dapat disandingkan dengan negara kaya di Asia, seperti Singapura atau Taiwan. Artinya, mereka punya modal finansial yang luar biasa. Apakah ini etis? Bagaimana implikasi perpajakannya?

Bukan hanya itu, mereka juga dikenal sangat selektif memilih pegawai. Biasanya, hanya talenta terbaik dari seluruh dunia yang dipilih dan dipekerjakan di sana. Hal ini merupakan bagian dari perkembangan dan situasi dunia kerja yang tak terhindari. Namun, ada sisi gelap yang sering diabaikan pemerintah dan masyarakat.

Karena perannya yang sangat besar, perusahaan digital memiliki pengaruh yang juga sangat besar di masyarakat, termasuk di Indonesia. Perusahaan lokal, seperti Gojek, Grab, Tokopedia, Bukalapak, serta perusahaan besar dunia, seperti Facebook dan Google, memiliki pengaruh sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Akan tetapi, tidak memiliki monitoring dan evaluasi yang jelas serta terarah.

Perlu dipahami bahwa setiap perusahaan pada dasarnya ingin mencari keuntungan, terlepas dari sebaik apa pun branding yang mereka tampilkan. Ini terlihat dari berbagai upaya untuk menekan perkembangan startup baru atau bahkan upaya membelinya agar tidak berkembang dan menjadi saingan.

Di AS, misalnya, Google tercatat sebagai perusahaan terbesar dalam melakukan sumbangan finansial yang berkaitan dengan lobi-lobi politik di sana. Terlepas dari sumbangsihnya yang besar bagi perekonomian, diperlukan kajian dan regulasi yang mengatur kekuatan terselubung dari berbagai perusahaan ini dalam melakukan modifikasi terhadap kehidupan sosial di masyarakat.

Tantangan kemanusiaan AI

Sisi lain dari etika siber adalah skenario ketika AI akan mencapai singularitas, yaitu kemampuan berpikir yang saat ini terbatas (narrow) akan diperluas menjadi kecerdasan yang lebih luas–dikenal juga dengan istilah General AI.

Meskipun saat ini masih terdapat perdebatan di kalangan para ahli mengenai hal tersebut, dalam banyak aspek, banyak orang sudah memperlakukan mesin sebagai rekan kerja dan dimanusiakan layaknya orang pribadi.

Sebagai contoh, saat ini, pengguna iPhone sudah terbiasa dengan Siri, pengguna Android dengan Google Assistant, dan pengguna Amazon dengan Alexa. Di Inggris, Alexa sudah dipakai untuk berdoa sebelum makan. Sementara di Jepang, sebuah robot bernama Mindar dijadikan imam dalam ibadah di sebuah klenteng Buddha. Fenomena ini merupakan salah satu tantangan yang muncul sehubungan dengan eksistensi AI dalam kehidupan manusia.

Contoh lain, ketika robot Sophia yang dirancang oleh Hanson Robotics dari Hong Kong diberikan kewarganegaraan oleh Arab Saudi. Hal ini akan memunculkan pertanyaan mengenai eksistensi AI dalam bentuk manusia (humanoid) sebagai warga sipil.

Pada dasarnya, robot humanoid tersebut adalah jaringan elektronik berteknologi silikon yang diberikan ekspresi dengan mereplikasi ekspresi dan gerak-gerik manusia. Upaya “manusiaisasi” AI ini membuat banyak orang memiliki persepsi bahwa sudah ada robot yang bisa berpikir sebagai manusia. Padahal, kenyataannya belum ada robot seperti itu.

Pakar humaniora perkembangan AI dari Cambridge University, Dr Beth Singler, mengatakan bahwa kecerdasan buatan telah diperlakukan sebagai manusia dan memunculkan persoalan filosofis yang tidak mudah dalam banyak aspek.

Setidaknya, ada empat pertanyaan penting yang muncul sehubungan dengan hal itu. Pertama, apakah AI bisa mengerti moralitas, atau tahu benar dan salah? Pertanyaan ini penting karena saat ini banyak keputusan kompleks yang melibatkan masyarakat justru dilakukan oleh AI tanpa pakar informasi dan teknologi (IT) mengerti sepenuhnya apa yang terjadi dalam pengambilan keputusan tersebut karena kompleksnya variabel dan besarnya data yang digunakan.

Kedua, apakah AI bisa menderita? Jika ahli IT bisa merancang sejenis “penderitaan” yang dialami oleh sebuah program, apakah ada gelanggang dan arah etis yang bisa dijadikan acuan? Ketiga, apakah AI bisa menjadi rekan yang nyata? Dalam arti bertindak dengan relasi yang lahir dari kepedulian terhadap pengguna dan bukan hanya sebagai sebuah ekspresi dari simulasi sosial yang kompleks.

Keempat, apakah AI bisa memiliki kehendak bebas atau hanya merupakan mesin yang dibatasi oleh program algoritma yang dirancang ahli IT.

Apa yang perlu kita lakukan?

Merespons berbagai tantangan fundamental tersebut, ada beberapa hal yang bisa dijadikan acuan dan pokok pikiran yang perlu dipertimbangkan oleh masyarakat dan pemerintah. Utamanya, yang berhubungan dengan perkembangan teknologi digital dan kecerdasan buatan.

1. Perlu transparansi yang lebih luas bagi pengguna tentang surveilans yang terjadi dengan gawai elektronik yang dimilikinya.

2. Perlu transparansi tentang sistem pengambilan keputusan yang dilakukan AI dan penggunaannya dalam hubungan dengan pengguna gawai.

3. Perlu ada standardisasi dari penulisan algoritma dan arahan etika dari sistem yang dibangun bagi perusahaan.

4. Perlu transparansi mengenai pengumpulan data yang dilakukan perusahaan dan aplikasi, serta ketegasan soal pilihan bagi pengguna dan kesinambungan penggunaan aplikasi apabila pengguna tidak ingin melakukan pemutakhiran dari aplikasi tersebut.

5. Apabila ada pekerjaan yang terpengaruh oleh teknologi digital, pemerintah dan masyarakat perlu menyelenggarakan pelatihan ulang keterampilan dan pembukaan lapangan kerja baru.

Tak dapat dimungkiri, kajian sisi etika dari teknologi digital dan kecerdasan buatan adalah sebuah bidang baru yang sangat menantang. Kiranya, tulisan ini bisa menjadi jendela bagi kita untuk mengkaji lebih jauh dimensi etis dari dunia yang didisrupsi oleh perkembangan teknologi dan industri 4.0.

Baca tentang

Terkini Lainnya

komentar di artikel lainnya
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com