MENTERI Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani, geleng-geleng kepala melihat banyaknya aplikasi (apps) -mencapai 24.000- tersebar di berbagai kementerian dan lembaga (K/L). Sebagai Menkeu, Sri Mulyani menyoroti betapa borosnya anggaran aplikasi sementara fungsionalitasnya berbanding terbalik: sangat tidak efisien. Ini baru di level pemerinitah pusat.
Ketika saya melakukan asistensi kebijakan untuk salah satu pemda di pulau Jawa, betapa terkejutnya saya bahwa ternyata masing-masing dinas memiliki key performance indicator (KPI) yaitu membuat aplikasi.
Jika dikulik-kulik sepertinya pemborosan dan inefisiensi serupa akan kita temui pada hampir semua daerah. Langkah ke depan yang dikatakan Sri Mulyani, yaitu mengintegrasikan seluruh data K/L ke dalam satu database (one data) sebetulnya sudah tepat. Bahkan menurut saya sangat patut dinanti.
Akan banyak masalah yang seharusnya dapat terselesaikan jika one data benar-benar direalisasikan. Selain efisiensi anggaran, one data dapat meminimalisasi gangguan keamanan siber (ini diakui Sri Mulyani), kemudahan pelayanan publik, mencegah fraud, hingga terwujudnya keselarasan seluruh institusi pemerintah.
Baca juga: Sri Mulyani Keluhkan 24.000 Aplikasi Pemerintah Bikin Boros Anggaran, Menkominfo: Akan Ditutup
Data penerima bantuan sosial, misalnya, menjadi lebih tertata karena one data mencegah terjadinya data ganda akibat masing-masing institusi sebelumnya memiliki aplikasi sendiri-sendiri. Korupsi dalam pemerintahan dapat ditekan jika one data dapat diawasi oleh publik.
Tentu saja gagasan one data ini harus sampai ke level pemerintahan daerah. Saya kira ini menjadi langkah awal baik untuk merealisasikan janji kampanye Jokowi saat pilpres lalu: e-government.
Secara harafiah istilah e-government memang merujuk pada tata kelola pemerintahan yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Namun itu bukan hanya soal membuat aplikasi semata. Aplikasi hanyalah sarana fisik dalam e-government yang sebetulnya berada di posisi hilir. Yang tidak kalah penting adalah apa yang terdapat di posisi hulu, yaitu realitas masyarakat kita yang semakin berjejaring (network society).
Kita harus memahami bahwa informasi dan komunikasi kini terdesentralisasi. Bukan hanya milik pemerintah ataupun media massa, tetapi milik semua orang. Setiap individu yang memiliki akses TIK (seperti smartphone) artinya dapat menjadi nodus (simpul) yang tidak hanya mengonsumsi melainkan juga memproduksi informasi.
Sosiolog Manuel Castells mengistilahkannya dengan mass-self communication menggantikan era mass communication dengan media massa sebagai sumber utama informasi saat itu. Disebut “self” karena proses komunikasi semakin personal dalam arti setiap individu dapat menjadi agen independen yang mampu membangun jejaring informasinya sendiri.
Menteri Komunikasi dan Informatika Jhony G. Plate, memberikan Penghargaan E-government Award kepada Pemprov Banten saat pembukaan rangkaian acara Gerakan Menuju 1000 Smart City 2019, Senin (4/11).
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.