Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Grady Nagara
Peneliti Next Policy

Peneliti Next Policy. Pembelajar sosiologi dari Universitas Indonesia. Pemerhati dunia sosial dan politik.

kolom

Beginilah "E-Government" Seharusnya Berjalan

Kompas.com - 13/07/2022, 11:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sejauh amatan saya, pemerintah masih jauh untuk dikatakan membangun kolaborasi dengan simpul-simpul jejaring semacam itu. Padahal jika dikembangkan, praktik e-government mestinya mampu menjadi enabler efektif dalam menjembatani kolaborasi.

Gagasan one data yang nantinya akan diimplementasikan oleh Kominfo melalui super apps menurut saya tidak boleh hanya mengintegrasikan data seluruh K/L, tetapi  juga dari stakeholders di luar pemerintahan sehingga menjadi sebuah data raya. Data raya tersebut mestilah transparan dan akuntabel.

Melalui akses terhadap TIK, unsur-unsur non-pemerintahan dapat ikut mengawasi super apps tersebut yang nantinya menjadi pusat pelaksanaan e-government. Super apps itu menaungi banyak urusan seperti politik, ekonomi, kebudayaan, olahraga, dan lain sebagainya.

Proses kolaborasi ini harus dilakukan hingga pada tahapan yang paling esensial, misalnya penganggaran (budgeting). Semua stakeholders hingga level akar rumput turut berperan dalam merumuskan anggaran (participatory budgeting) tahunan terkait urusan tertentu. Misalnya, budgeting pada urusan pariwisata melibatkan semua unsur termasuk pelaku bisnis wisata, bahkan UMKM.

Demokrasi sebagai prasyarat

 

Proses partisipatif lewat media super apps dapat menjadi titik temu dari berbagai pemangku kepentingan. Anggaran negara akan terserap dengan jauh lebih efektif karena penggunaannya yang lebih tepat sasaran. Kebutuhan masyarakat akan terpenuhi, sementara pemerintah dapat mengefisiensikan belanja negara.

Participatory budgeting hanya menjadi salah satu aspek. Aspek lain yang juga sangat penting, misalnya, membangun kolaborasi dengan para pakar ketika merumuskan kebijakan. Pandemi Covid-19 telah menunjukkan betapa negara dan saintis begitu memiliki jarak. Kebijakan penanganan pandemi seringkali bertentangan dengan apa yang seharusnya dilakukan menurut riset sahih. Padahal Indonesia memiliki cukup banyak pakar mewakili berbagai bidang. Perumusan kebijakan negara justru tidak mampu secara maksimal dalam melibatkan mereka.

Tentu saja kepemimpinan kolaboratif dan e-government hanya mungkin terjadi jika kondisi demokrasi begitu kondusif. Demokrasi adalah prasyaratnya. Tetapi dengan melihat adanya pasal penghinaan dan penyempitan definisi kritik dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang belakangan sedang ramai, sepertinya pemerintah masih enggan berkolaborasi dengan warganya sendiri.

Baca juga: Mempersoalkan Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com