Sejauh amatan saya, pemerintah masih jauh untuk dikatakan membangun kolaborasi dengan simpul-simpul jejaring semacam itu. Padahal jika dikembangkan, praktik e-government mestinya mampu menjadi enabler efektif dalam menjembatani kolaborasi.
Gagasan one data yang nantinya akan diimplementasikan oleh Kominfo melalui super apps menurut saya tidak boleh hanya mengintegrasikan data seluruh K/L, tetapi juga dari stakeholders di luar pemerintahan sehingga menjadi sebuah data raya. Data raya tersebut mestilah transparan dan akuntabel.
Melalui akses terhadap TIK, unsur-unsur non-pemerintahan dapat ikut mengawasi super apps tersebut yang nantinya menjadi pusat pelaksanaan e-government. Super apps itu menaungi banyak urusan seperti politik, ekonomi, kebudayaan, olahraga, dan lain sebagainya.
Proses kolaborasi ini harus dilakukan hingga pada tahapan yang paling esensial, misalnya penganggaran (budgeting). Semua stakeholders hingga level akar rumput turut berperan dalam merumuskan anggaran (participatory budgeting) tahunan terkait urusan tertentu. Misalnya, budgeting pada urusan pariwisata melibatkan semua unsur termasuk pelaku bisnis wisata, bahkan UMKM.
Proses partisipatif lewat media super apps dapat menjadi titik temu dari berbagai pemangku kepentingan. Anggaran negara akan terserap dengan jauh lebih efektif karena penggunaannya yang lebih tepat sasaran. Kebutuhan masyarakat akan terpenuhi, sementara pemerintah dapat mengefisiensikan belanja negara.
Participatory budgeting hanya menjadi salah satu aspek. Aspek lain yang juga sangat penting, misalnya, membangun kolaborasi dengan para pakar ketika merumuskan kebijakan. Pandemi Covid-19 telah menunjukkan betapa negara dan saintis begitu memiliki jarak. Kebijakan penanganan pandemi seringkali bertentangan dengan apa yang seharusnya dilakukan menurut riset sahih. Padahal Indonesia memiliki cukup banyak pakar mewakili berbagai bidang. Perumusan kebijakan negara justru tidak mampu secara maksimal dalam melibatkan mereka.
Tentu saja kepemimpinan kolaboratif dan e-government hanya mungkin terjadi jika kondisi demokrasi begitu kondusif. Demokrasi adalah prasyaratnya. Tetapi dengan melihat adanya pasal penghinaan dan penyempitan definisi kritik dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang belakangan sedang ramai, sepertinya pemerintah masih enggan berkolaborasi dengan warganya sendiri.
Baca juga: Mempersoalkan Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.