Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moch S. Hendrowijono
Pengamat Telekomunikasi

Mantan wartawan Kompas yang mengikuti perkembangan dunia transportasi dan telekomunikasi.

kolom

Teknologi “BTS Langit” Sudah di Ambang Pintu

Kompas.com - 03/10/2022, 12:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ketika Teknologi GSM (global system for mobile communication) Tekomsel pertama beroperasi di Batam 1 Januari 1994, Kapro (kepala proyek) GSM PT Telkom, Garuda Sugardo bilang layanan seluler akan mematikan layanan telepon kabel, yang saat itu jadi layanan utama PT Telkom.

Semua orang pun menyebut otaknya miring, apalagi ketika dia bilang bahwa 10 tahun lagi sopir truk dan tukang sayur akan memakai ponsel, kawan-kawannya bilang dia gila.

Semua terjadi sesuai “ramalan” Garuda, yang pernah jadi direktur di Telkom, Telkomsel dan Indosat serta anggota Dewan TIK Nasional (WanTIKnas). Kini dia punya ramalan baru, orang bisa pakai ponsel pintar biasa untuk mengakses sinyal dari satelit yang berfungsi sebagai BTS (base transceiver station) langit. Tidak membutuhkan lagi menara-menara BTS yang menjulang di mana-mana.

Tidak ada lagi kekosongan, blank spot, seperti sekarang, terutama di daerah 3T (terdepan, tertinggal dan terluar) seperti di kawasan Papua, sebagian Kalimantan dan pulau-pulau lainnya yang penuh hutan rimba dan perbukitan. Saat ini PT Telkomsel, kata Garuda, sedang melakukan uji coba dengan mitra pemilik satelit komunikasi yang berkedudukan di Virginia, Amerika Serikat.

Dari beberapa catatan yang ada, layanan akses satelit komunikasi ada dua macam, satelit konvesional dan satelit HTS (high throughput satellite), yang beroperasi sebagai satelit GEO (geostationer earth orbit). Satelitnya biasanya besar, berat sekitar 4 ton, “dipatok” pada koordinat tertentu di ketinggian 36.500 kilometer di atas Bumi.

Operasional GEO membutuhkan stasiun bumi yang kemudian akan menyebarkannya ke pelanggan karena pengguna layanan telekomunikasi tidak bisa mengakses langsung sinyal satelit. Satelit Palapa, satelit Telkom dan satelit Satria-1, termasuk satelit GEO yang memberi layanan telekomunikasi.

Faktor jarak yang begitu jauh membuat terjadinya jeda atau latensi sepersekian detik dalam layanan satelit GEO. Satelit orbit lebih rendah makin kecil jedanya, seperti satelit MEO (medium earth orbit – orbit menengah) dan LEO (low earth orbit – orbit rendah), dua jenis satelit yang beredar terus memutari bumi.

Gravitasi bumi

Satelit komunikasi Starlink milik Elon Musk adalah satelit LEO yang diluncurkan roket SpaceX, atau juga satelit Iridium, yang bergerak di ketinggian antara 500 kilometer hingga 1.000 kilometer. Beberapa waktu lalu Starlink dan Telkomsel untuk bekerja sama di Indonesia dan kabarnya biaya akses dan langganan bulanan Starlink satu titik masing-masing 99 dollar AS, atau sekitar Rp 1,5 juta dengan nilai tukar dollar saat ini.

Semua satelit harus berbekal roket yang bisa diaktifkan untuk mendorong kembali ke orbit, jika satelit melenceng atau turun karena gravitasi bumi. Makin sering roket diaktifkan, usia satelit makin kurang karena bakar roket terbatas dan pada satu saat satelit tidak bisa dikontrol lagi.

Usia satelit LEO pendek karena keberadaan mereka yang harus sering dikoreksi. Jika usia satelit GEO bisa sampai 15 tahun – 20 tahun, LEO hanya sekitaran 5 – 7 tahun saja.

Kendala gravitasi yang membuat LEO – juga MEO – harus terus bergerak agar tidak jatuh, setidaknya bertahan di ketinggian orbitnya. Karena bergerak terus, satu satelit LEO tidak mungkin hanya punya satu jejak layanan (foot print) seperti halnya GEO. Menurut SAT International, diperlukan 48 satelit LEO, estafet melayani satu kawasan yang dilayani satu satelit dalam waktu 10 menit.

Karenanya untuk meliput seluruh permukaan bumi diperlukan puluhan ribu satelit yang bergantian meng-hand over layanan untuk satu titik, sehingga bisa dimaklumi kalau Starlink menerapkan tarif tidak murah.

Cocok untuk 3T

Satelit LEO sangat cocok untuk kawasan yang jarang penduduk dan yang kontur kawasannya bergunung dan bukit serta sungai yang lebar seperti yang ditugaskan negara untuk Bakti (Badan Aksesibilitas Telekomunikasi) sebuah badan layanan umum di Kementerian Kominfo. Kendala Bakti melayani daerah 3T misalnya Papua, kondisi geografis yang sangat menghambat. Dengan LEO semua kawasan 3T menjadi terbuka, tak ada yang tidak bisa dihubungi via ponsel.

Di rata-rata kawasan Pulau Jawa, membangun menara BTS kerangka besi (guey mast) cuma perlu sehari sebelum radio BTS dipasang dan beroperasi. Tetapi di 3T bisa sebulanan menara BTS belum tentu bisa berdiri.

Untuk mencapai titik pembangunan BTS hanya bisa dengan alat angkut sederhana. Memanfaatkan kerbau, baja-baja terpaksa dipanggul manusia, pakai perahu kecil, atau harus menyewa helikopter karena daerahnya sulit dijangkau, selain masalah gangguan keamanan. Selain soal kendala geografi dan mahalnya biaya angkut, belum tentu semua tenaga kerja mau membangun di kawasan 3T walau dibayar mahal.

Kembali ke masalah ramalan Garuda Sugardo, kemungkinan yang dimaksudkannya adalah satelit milik Lynk Global yang sejak 2021 melakukan uji coba untuk mendapat lisensi operasional akhir tahun ini dari FCC (Federal Communication Commission) Amerika Serikat. Sebagai BTS, Lynk harus bekerja sama dengan operator seluler lokal karena tidak menggunakan stasiun bumi.

Lynk Global memosisikan diri sebagai mitra jelajah (roaming) operator, seperti kalau kita berada di luar negeri dan tetap bisa pakai ponsel. Tentu saja tarifnya tidak sama dibanding kalau dipakai lokal, pasti lebih mahal sedikit.

Beda dengan telepon satelit yang memanfaatkan satelit GEO dengan ponsel yang antenenya seperti belalai gajah, sinyal seluler Lynk bisa ditangkap ponsel-ponsel pintar 5G tanpa tambahan apa-apa.

Lynk sedang menyelesaikan tes operasi yang melibatkan lima satelit yang sudah mengudara, bersama NASA (National Aeronautics and Space Administration) AS dan beberapa operator seluler. Bisa jadi juga dengan Telkomsel. *

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com