Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sriwijaya Air SJ182 Jatuh akibat "Thrust Asymmetry", Ini Analisisnya

Kompas.com - 04/11/2022, 12:45 WIB
Reska K. Nistanto

Penulis

CSTM akan aktif saat kendali guling (roll) di sayap membuka 2,5 derajat ke atas selama minimum 15 detik. Daan kondisi ini sebenarnya juga tercapai pada penerbangan SJ182, namun CSTM tak menyala (engage).

Diketahui, setelah pesawat mengalami assymetry, flight spoiler sebelah kanan PK-CLC membuka agar pesawat berbelok ke kanan lagi, setelah pesawat serong dan rolling ke kiri, akibat thrust asymmetry tadi.

Namun dalam penerbangan SJ182, CSTM bekerja terlambat dalam memutus (disconnect) auto-throttle dan memberikan peringatan di kokpit (saat auto-throttle mati, ada alarm peringatan di kokpit).

"Setelah (terjadi) assymmetry, CSTM seharusnya menon-aktifkan auto throttle, tetapi tidak, jadi asymmetry berlebih," ungkap Nurcahyo.

Kondisi flight spoiler yang membuka 2,5 derajat selama 1,5 detik menurut flight data recorder (FDR) tercatat pada pukul 14:39.40 WIB. Sedangkan CSTM baru engage/mematikan auto-throttle pada 14:40.10 WIB, alias terlambat sekitar 30 detik.

Baca juga: Peringatan dari Boeing, Jadi Petunjuk Penyebab Sriwijaya Air SJ182 Jatuh?

Menurut KNKT, keterlambatan ini diyakini karena flight spoiler memberikan informasi dengan nilai yang lebih rendah dari seharusnya (2,5 derajat), karena kesalaha setting/penyetelan (rigging) flight spoiler, yang belum pernah dilakukan sejak pesawat dioperasikan Sriwijaya Air.

Boeing pun dalam panduannya mengatakan flight spoiler tidak perlu disetel kalau tidak dilepas atau diganti.

KNKT juga mengungkap kondisi assymetry ini juga terjadi pada PK-CLC di penerbangan-penerbangan sebelumnya, dan sudah dilakukan perbaikan, namun belum sampai pada perbaikan mekanis.

Faktor complacency

Nah, di atas adalah analisis KNKT dari segi teknis. Lantas bagaimana dari segi human factor? Mengapa saat pesawat berbelok dan berguling ke kiri, kru terlambat mengantisipasinya?

KNKT dalam hal ini menyebut faktor complacency atau ketergantungan pada sistem otomatisasi, dan confirmation bias (bias konfirmas) menjadi faktor.

Dikatakan Nurcahyo, kru telah memprogram penerbangan SJ182 sejak dari darat menggunakan FMC (flight management computer). Di FMC itu sudah dimasukkan rute penerbangan, jalur yang diambil, ketinggian, kecepatan pesawat dan sebagainya, dari Jakarta ke Pontianak.

Setelah pesawat takeoff dan mendaki, FMC kemudian bekerja sesuai program yang diinput di darat. ATC meminta SJ182 holding ketinggian di 11.000 kaki, program di FMC saat itu juga memerintahkan pesawat berbelok ke kanan.

Kru SJ182 pun menyangka, spoiler yang membuka di sayap kanan adalah normal, karena pesawat sedang berbelok ke kanan, sesuai rute yang dipasang di FMC. Padahal, spoiler sayap kanan itu membuka untuk mengompensasi agar pesawat tidak berlebihan miring ke kiri.

Ilustrasi EADI di kokpit pesawat B737.users.owt.com Ilustrasi EADI di kokpit pesawat B737.
Sementara, layar EADI sebenarnya menunjukkan bahwa sikap (attitude) pesawat sedang miring ke kiri. Namun attitude pesawat ini tidak dimonitor oleh kru SJ182, karena mereka percaya pada komputer FMC.

Baca juga: Instagram KNKT Rilis Video Pemulihan Data Black Box Sriwijaya Air SJ182

"Adanya complacency, rasa percaya kepada sistem otomatisasi, dan confirmation bias, adanya informasi yang mendukung opini, telah berakibat dikuranginya monitor pada instrumen, sehingga tidak disadari terjadi asimetri, dan terjadi penyimpangan penerbangan," ujar Nurcahyo.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com