Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sriwijaya Air SJ182 Jatuh akibat "Thrust Asymmetry", Ini Analisisnya

Kompas.com - 04/11/2022, 12:45 WIB
Reska K. Nistanto

Penulis

KOMPAS.com - Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengungkap hasil investigasi penyebab kecelakaan Sriwijaya Air SJ182 yang jatuh pada 9 Januari 2021 lalu, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi V DPR RI pada Kamis (3/11/2022).

Secara singkat, Ketua Sub-Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT, Nurcahyo Utomo mengungkap faktor penyebab kecelakaan Sriwijaya Air SJ182 adalah yaitu faktor mekanis seperti thrust asymmetry dan faktor manusia seperti complacency atau kepercayaan pada otomatisasi, dan confirmation bias.

Thrust asymmetry (asimetris) adalah kondisi di mana posisi tuas throttle (pengatur mesin) tidak sama antara kanan dan kiri. Boeing 737 memiliki dua mesin dengan dua tuas throttle di kokpit.

Lantas, seperti apa efek thrust assymetry pada suatu penerbangan, dan bagaimana thrust asymmetry ini bisa terjadi dalam penerbangan SJ182?

Apa itu thrust asymmetry?

Dalam penerbangan Sriwijaya Air SJ182, kedua throttle sedang berada dalam posisi maju untuk menghasilkan tenaga mesin besar, karena pesawat sedang mendaki ke ketinggian yang diinginkan.

Baca juga: Apa Itu Autothrottle yang Berfungsi Anomali dalam Kecelakaan Sriwijaya Air SJ182

Air Traffic Controller (ATC) kemudian memerintahkan SJ182 untuk berhenti di ketinggian 11.000 kaki, karena ada traffic/pesawat lain yang juga akan melintas.

Kru SJ182 pun "menahan" pendakian (climb) pesawat dengan mengatur altitude di 11.000 kaki sesuai permintaan ATC, menggunakan sistem autopilot dari mode control panel (MCP) di kokpit.

Setelah mendekati ketinggian 11.000 kaki, maka pesawat akan bertransisi dari fase climb (mendaki) ke cruise (menjelajah). Dalam fase cruise ini, pesawat tidak membutuhkan thrust (daya dorong) yang besar seperti saat climb.

Karena itu, sistem otopilot kemudian mengurangi thrust mesin dengan memundurkan throttle quadrant di kokpit.

Tuas throttle di kokpit B737.Facebook/The 737 Handbook Tuas throttle di kokpit B737.

Namun yang terjadi adalah, tuas throttle sebelah kanan tetap dalam posisi climb, sementara tuas throttle kiri bergerak mundur mengurangi tenaga sesuai petrintah autopilot, sehingga timbullah daya dorong berbeda antara mesin kanan dan kiri (thrust asymmetry).

Daya dorong berbeda ini membuat sikap pesawat serong (yaw). Mesin kanan yang tetap mengeluarkan daya dorong besar, sementara mesin kiri mengurangi tenaga, membuat sikap pesawat serong (yaw) ke kiri.

"Dari hukum aerodinamik, apabila pesawat sudah yaw (serong), maka selanjutnya akan menimbulkan roll (berguling)," kata Nurcahyo.

Dalam kejadian Sriwijaya Air SJ182, pesawat kemudian berguling ke kiri dengan sudut ekstrim, yang akhirnya membuat sikap pesawat dalam kondisi upset, dan sulit untuk direcovery.

Lantas, jika thrust asymmetry ini berbahaya, apakah tidak ada sistem yang dibuat Boeing untuk mencegahnya?

Baca juga: Tentang Citra, Nama di Hidung Pesawat Sriwijaya Air SJ182

Nurcahyo mengatakan, pesawat nahas Boeing 737-500 Sriwijaya Air PK-CLC dilengkapi dengan sistem Cruise Thrust Split Monitor (CSTM), yang tugasnya adalah menon-aktifkan autopilot auto-throttle jika terjadi asymmetry.

CSTM akan aktif saat kendali guling (roll) di sayap membuka 2,5 derajat ke atas selama minimum 15 detik. Daan kondisi ini sebenarnya juga tercapai pada penerbangan SJ182, namun CSTM tak menyala (engage).

Diketahui, setelah pesawat mengalami assymetry, flight spoiler sebelah kanan PK-CLC membuka agar pesawat berbelok ke kanan lagi, setelah pesawat serong dan rolling ke kiri, akibat thrust asymmetry tadi.

Namun dalam penerbangan SJ182, CSTM bekerja terlambat dalam memutus (disconnect) auto-throttle dan memberikan peringatan di kokpit (saat auto-throttle mati, ada alarm peringatan di kokpit).

"Setelah (terjadi) assymmetry, CSTM seharusnya menon-aktifkan auto throttle, tetapi tidak, jadi asymmetry berlebih," ungkap Nurcahyo.

Kondisi flight spoiler yang membuka 2,5 derajat selama 1,5 detik menurut flight data recorder (FDR) tercatat pada pukul 14:39.40 WIB. Sedangkan CSTM baru engage/mematikan auto-throttle pada 14:40.10 WIB, alias terlambat sekitar 30 detik.

Baca juga: Peringatan dari Boeing, Jadi Petunjuk Penyebab Sriwijaya Air SJ182 Jatuh?

Menurut KNKT, keterlambatan ini diyakini karena flight spoiler memberikan informasi dengan nilai yang lebih rendah dari seharusnya (2,5 derajat), karena kesalaha setting/penyetelan (rigging) flight spoiler, yang belum pernah dilakukan sejak pesawat dioperasikan Sriwijaya Air.

Ilustrasi flight spoiler dalam posisi membuka di udara.KNKT Ilustrasi flight spoiler dalam posisi membuka di udara.

Boeing pun dalam panduannya mengatakan flight spoiler tidak perlu disetel kalau tidak dilepas atau diganti.

KNKT juga mengungkap kondisi assymetry ini juga terjadi pada PK-CLC di penerbangan-penerbangan sebelumnya, dan sudah dilakukan perbaikan, namun belum sampai pada perbaikan mekanis.

Faktor complacency

Nah, di atas adalah analisis KNKT dari segi teknis. Lantas bagaimana dari segi human factor? Mengapa saat pesawat berbelok dan berguling ke kiri, kru terlambat mengantisipasinya?

KNKT dalam hal ini menyebut faktor complacency atau ketergantungan pada sistem otomatisasi, dan confirmation bias (bias konfirmas) menjadi faktor.

Dikatakan Nurcahyo, kru telah memprogram penerbangan SJ182 sejak dari darat menggunakan FMC (flight management computer). Di FMC itu sudah dimasukkan rute penerbangan, jalur yang diambil, ketinggian, kecepatan pesawat dan sebagainya, dari Jakarta ke Pontianak.

Setelah pesawat takeoff dan mendaki, FMC kemudian bekerja sesuai program yang diinput di darat. ATC meminta SJ182 holding ketinggian di 11.000 kaki, program di FMC saat itu juga memerintahkan pesawat berbelok ke kanan.

Kru SJ182 pun menyangka, spoiler yang membuka di sayap kanan adalah normal, karena pesawat sedang berbelok ke kanan, sesuai rute yang dipasang di FMC. Padahal, spoiler sayap kanan itu membuka untuk mengompensasi agar pesawat tidak berlebihan miring ke kiri.

Ilustrasi EADI di kokpit pesawat B737.users.owt.com Ilustrasi EADI di kokpit pesawat B737.
Sementara, layar EADI sebenarnya menunjukkan bahwa sikap (attitude) pesawat sedang miring ke kiri. Namun attitude pesawat ini tidak dimonitor oleh kru SJ182, karena mereka percaya pada komputer FMC.

Baca juga: Instagram KNKT Rilis Video Pemulihan Data Black Box Sriwijaya Air SJ182

"Adanya complacency, rasa percaya kepada sistem otomatisasi, dan confirmation bias, adanya informasi yang mendukung opini, telah berakibat dikuranginya monitor pada instrumen, sehingga tidak disadari terjadi asimetri, dan terjadi penyimpangan penerbangan," ujar Nurcahyo.

Sikap pesawat sebenarnya bisa dipantau dari layar Electronic Attitude Director Indicator (EADI) yang ada di kokpit. Namun menurut KNKT, sikap kru SJ182 dalam memonitor instrumen ini kurang, dan lebih percaya kepada komputer FMC.

Padahal jika memonitor EADI, bisa diketahui bahwa sikap pesawat sedang rolling ke kiri, bukan ke kanan seperti yang dikira oleh kru, berdasar FMC.

Hal ini diketahui dari indikasi awal/respons kru SJ182, begitu auto throttle mati. Dalam 4 detik pertama respons kru setelah auto-throttle disengage, responsnya adalah membelokkan pesawat ke kiri (dengan asumsi untuk melevelkan pesawat, karena dianggap sedang belok kanan).

Namun respons awal ini justru menambah sudut kemiringan pesawat saat itu, yang sebenarnya sedang miring ke kiri akibat thrust assymetry mesin kanan.

Rute penerbangan SJ182 yang ditampilkan secara 3D di Google Earth.Google Earth Rute penerbangan SJ182 yang ditampilkan secara 3D di Google Earth.

Kru pun terlambat mengantisipasi sehingga pesawat dalam kondisi upset. KNKT dalam temuannya juga mengatakan belum ada panduan tentang Upset Prevention and Recovery Training (UPRT) dalam proses pelatihan di maskapai Sriwijaya Air.

Padahal pelatihan ini bertujuan menjamin kemampuan dan pengetahuan pilot dalam mencegah dan memulihkan kondisi upset secara efektif dan tepat waktu.

Yang disayangkan, KNKT tidak bisa mendengar percakapan pilot dari data flight data recorder (FDR) yang diunduh, sehingga tidak diketahui apa saja pembicaraan pilot-kopilot selama krisis, dan perintah apa yang diberikan.

Rekomendasi

Dari investigasi ini, KNKT menerbitkan tiga rekomendasi kepada Sriwijaya Air.

Pertama untuk berkonsultasi dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara sebelum melakukan perubahan prosedur terbang, dan meminta NTO (no technical objection) dari pabrikan pesawat udara, sebelum melakukan perubahan prosedur yang sudah ada di buku panduan yang disiapkan pabrikan pesawat.

Kedua, KNKT meminta Sriwijaya Air meningkatkan jumlah pengunduhan data (download data penerbangan) dari Flight Data Analysis Program (FDAP), untuk meningkatkan pemantauan operasi penerbangan, sehingga kejadian seperti thrust asymmetry ini bisa diketahi sejak dini.

Terakhir, KNKT juga meminta Sriwijaya Air menekankan pelaporan bahaya (hazard) kepada seluruh pegawai.

Sriwijaya Air SJ182 jatuh di perairan Kepulauan Seribu pada 9 Januari 2021. Pesawat Boeing 737-500 itu mengangkut 62 orang yang terdiri dari 12 awak kabin, 40 penumpang dewasa, 7 penumpang anak-anak, dan 3 bayi.

Tak ada satu pun penumpang yang selamat yang dalam kecelakaan tragis ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com