Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moch S. Hendrowijono
Pengamat Telekomunikasi

Mantan wartawan Kompas yang mengikuti perkembangan dunia transportasi dan telekomunikasi.

kolom

Indonesia, Pasar Terbesar Game di Asia Tenggara

Kompas.com - 11/11/2022, 11:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SELAIN video streaming, layanan mobile yang paling dominan adalah gim (game), yang kerap dianggap sekadar sebagai permainan di kala senggang, kegiatan sia-sia menghabiskan waktu. Game kini justru berkembang menjadi satu bisnis yang menguntungkan.

Apalagi di era yang hampir seluruh platform game berbasis digital yang menggunakan jaringan sebagai akses memperoleh maupun bermain game.

Produsen konsol seperti Sony, Microsoft, hingga Nintendo sudah menyediakan cloud storage untuk menyimpan koleksi game maupun menjadi layanan penyimpanan para pelanggannya.

Para publisher game berbasis komputer kini tidak menyediakan CD untuk mengunduh game di desktop atau laptop, semua gunakan akses internet.

Sementara mobile game sudah lebih dulu melejit, memenuhi ROM dan RAM mobile gadget pengguna. Dan perlu mengunduh agar menjadi aplikasi yang dapat digunakan di perangkat mobile-nya.

Di tataran dunia, pendapatan total mobile gaming mencapai 90 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1.300 triliun, tumbuh dari tahun 2019 yang prize pool-nya sebesar 33,3 miliar dollar AS (Rp 499 triliun), sebagian disumbang China yang punya 742 juta gamers.

Jumlah gamers di Indonesia sekitar 100 juta dengan pertumbuhan pendapatan Rp 40 triliun, yang terus meningkat.

Pada 2019 baru mencapai 1,33 miliar dolar AS (Rp 20 triliun), lalu mendaki tahun 2020 sebesar 1,76 miliar dolar AS (Rp 26,4 triliun), tahun lalu tembus 1,96 miliar dolar (Rp 29,4 triliun).

Capaian ini adalah tertinggi di kawasan Asia Tenggara yang pada tataran dunia jadi terbesar ke 16. Sebesar 80 persen dari pendapatan sebesar itu disumbang mobile game. Game berbasis komputer (PC Game) sebesar 17 persen dan game dari konsol paling kecil 3 persen.

Angka ini meski terus naik, belum menggembirakan. Bandingkan dengan Brasil yang jumlah gamers hampir sama, dapat meraih pendapatan 2,69 miliar dolar AS (Rp 40,3 triliun).

Sedang di Asia hanya Jepang, Korea Selatan, dan China yang masuk 10 besar negara dengan pendapatan tinggi dari dunia games.

China teratas, jumlah gamer-nya 742 jutaan, pendapatannya sudah menembus 50,18 miliar dolar AS (Rp 752,7 triliun).

Jepang nomor tiga di bawah Amerika dengan gamers 78,1 juta, pendapatannya 22,01 miliar dolar AS (Rp 300 triliun), disusul Korea Selatan dengan 33,8 juta gamers meraup dolar 8,48 miliar (Rp 127 triliun).

Pengeluaran rata-rata per pengguna di Korea Selatan terbesar, mencapai 250 dollar AS setahun (Rp 3,75 juta), Indonesia baru 19 dollar AS (Rp 285.000) per tahun. Sementara Brasil 26,7 dollar AS (Rp 400.000).

Mendorong trafik

Meningkatkan industri game perlu dorongan pemerintah. Peran aktif operator telekomunikasi yang menjadi tulang punggung lalu-lintas game digital (baik mobile maupun konsol) juga bagian dari ekosistem game.

Pemerintah mendorong melalui kebijakan dan regulasi terutama menumbuhkan kreativitas game publisher (yang baru kecipratan 0,4 persen dari pendapatan) dan lebih sering menggelar aktivitas berupa e-Sports.

Jumlah game publisher di Indonesia, menurut Shieny Aprilia, CEO Agate Studio Bandung, masih kurang dari 30. Sementara di Vietnam yang nilai pasarnya setengah Indonesia memiliki 150 lebih pengembang game, lima kali lipat.

China punya lebih dari 25.000 perusahaan dan Korea Selatan menyimpan 16.000 lebih start up game.

Dibanding Indonesia, China paling kreatif memproduksi game. PUBG Mobile sudah diunduh lebih dari 127 juta kali, jadi salah satu kesuksesan Tencent Games.

Sampai Juli 2022 saja, publisher game teratas ini sudah meraup 677,3 juta dolar AS (Rp 10 triliun). Di sini juga tumbuh subur kreator game “kaki lima” yang produksi buatannya bahkan diekspor ke publisher luar negeri.

Dari sisi konsumen, mungkin Indonesia bisa jadi contoh negara lain. Pemerintah dan operator seluler kerap menggelar ajang kompetisi eSports guna menarik lebih banyak gamers berprestasi.

Salah satu yang cukup besar adalah acara Dunia Games Con (DG Con) 2022 yang digelar Telkomsel akhir bulan lalu, dengan sebagian hadirin anak belasan tahun. Ini sesuai potret gamers Indonesia (versi Lamelight Networks) yang 35 persen berada di rentang usia 10-20 tahun.

DG Con 2022 merupakan gabungan dari kesuksesan dua kegiatan sebelumnya, DG Fest dan DG Award yang di penghujung 2021, meraih 1,7 juta pengunjung secara online dan turnamen tahunan Dunia Games League dengan 19 juta penonton. Tahun ini digelar turnamen games Free Fire melalui Dunia Games League 2022.

Sukses dari game

Bagi sejumlah gamers, dunia games bisa jadi ajang membuktikan kesuksesan meraih pendapatan. Sebagai contoh Ahmad Nurodin yang bergabung menjadi gamer di Geekzwolf.

Mahasiswa tingkat akhir perguruan tinggi swasta di Jakarta ini berpenghasilan lebih dari Rp 5 juta sebulan dari bermain blockchain game.

Masih banyak nama yang melejit dari sukses berkompetisi di ajang eSports. Tim-tim asal Indonesia yang mondar-mandir di Dunia Games League punya segudang prestasi yang membanggakan di leval regional maupun internasional.

Pertumbuhan industri game dan bertambahnya gamers di Indonesia tidak lepas dari penetrasi smartphone. Mobile game tertinggi didominasi pengguna OS Android.

Newzoo merilis data penetrasi smartphone di Indonesia mencapai 64,8 persen, jumlah pengunanya 178 jutaan. Masih mungkin berkembang lagi menu-menu, terutama game yang dapat dikembangkan.

Dari sisi pengguna, berdasar consumer insight, menurut Limelight Networks, orang Indonesia menghabiskan sekitar 8,54 jam per minggu untuk bermain game.

Sedikit lebih tinggi dibanding rata-rata orang Asia, dan Indonesia di urutan keempat dalam statistik ini, di belakang China, Vietnam, dan India.

Diperkirakan pada tahun 2025, sebanyak 89,25 persen dari 272 juta penduduk Indonesia akan memiliki smartphone dan penggunanya di pedesaan meningkat, dari 47,3 persen pada 2015 menjadi 55 persen pada 2019.

Seiring dengan ditandainya pembangunan infrastruktur pita lebar, BTS 4G hingga satelit untuk mengakomodir daerah pelosok.

Temuan Lamelight Networks lainnya menunjukkan 79 persen orang Indonesia menganggap diri mereka sebagai gamer. Hampir setengahnya mengaku bermain setiap hari.

Potensi dan peluangnya masih bertambah, paling tidak menyamai Brasil dalam hal pendapatan dari industri ini. Sementara arus dolarnya mengalir ke operator dan publisher (termasuk OTT).

Operator telko mesti lebih aktif lagi berkreasi dan mengakomodasi. Baik kepada publisher game lokal maupun gamers lokal. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com