Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mahendra K Datu
Pekerja corporate research

Pekerja corporate research. Aktivitas penelitiannya mencakup Asia Tenggara. Sejak kembali ke tanah air pada 2003 setelah 10 tahun meninggalkan Indonesia, Mahendra mulai menekuni training korporat untuk bidang Sales, Marketing, Communication, Strategic Management, Competititve Inteligent, dan Negotiation, serta Personal Development.

kolom

Futurismo 2023: Apa yang Ditawarkan Disrupsi?

Kompas.com - 06/12/2022, 08:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAAT menulis artikel ini, saya menerawang nama-nama besar futurist yang bumi ini pernah miliki: Alvin Toffler dan John Naisbitt. Mereka futurist di zaman di mana sebagian besar dari kita saat ini sedang menikmati buah-buah pemikirannya.

Ditarik ke belakang, kita juga berhutang banyak pada sosok Nikola Tesla serta Thomas Alva Edison.

Saat internet belum lahir, atau sedang dalam tahap permulaan, dan database di seluruh dunia masih terbatas jumlahnya, pun juga aksesnya, mereka sudah memberikan panduan apa yang akan terjadi di pasar serta industri di masa depan, perilaku masyarakat seperti apa yang diakibatkannya, berubahnya preferensi, serta diadopsinya berbagai ragam teknologi untuk mempermudah keseharian masyarakat.

Tesla dan Edison bahkan melampaui zaman mereka dengan menghadirkan masa depan di zaman itu. Hari ini, mereka semua sudah pergi ke Nirwana.

Hari ini pula ceritanya sudah berbeda. Penggunaan internet sudah sangat masif, media sosial yang secara kolektif ‘jumlah populasinya’ sudah nyaris sama jumlahnya dengan penduduk bumi diadopsi sebagai standar berjejaring, lalu berkembangnya blockchain serta web3 (decentralized ecosystem) serta dunia metaverse (dengan Extended Reality-nya), hingga makin kompleksnya algoritma kecerdasan buatan yang memiliki kemampuan mencipta nyaris sempurna, kini dunia menghadirkan para futurist baru, dan tak semuanya berlatar belakang engineer, ahli IT, atau ilmuwan. Ada yang ekonom, pengusaha, designer, dll.

Setidaknya ada dua nama besar yang mulai dikenal di kalangan para futurist junior, juga para pelaku teknologi, serta industrialist di Silicon Valley: Jane McGonigal (Berkeley, IFTF, Stanford, juga seorang Game Designer) dan Bernard Marr (advisor di banyak raksasa teknologi di Silicon Valley).

Apa yang dilakukan kedua orang ini? Memprediksikan kecenderungan-kecenderungan masa depan, dan bila memungkinkan, membantu merealisasikannya.

Bagi para futurist modern seperti mereka, masa depan tak boleh hanya diprediksi, tapi harus direalisasikan karena hal tersebut akan menjadi lebih mudah bagi industri apapun dan di manapun untuk mengalokasikan seluruh sumber daya yang tepat secara kolektif – dan terkadang dibantu negara melalui berbagai regulasi serta insentif – serta fokus pada tercapainya gambaran masa depan tersebut secara nyata.

Lalu apa yang bisa kita pelajari dalam dua dekade terakhir ini? Kita lebih memahami peta jalan dan pola menuju masa depan!

Masa depan bernama 2023

What? Itu nama tahun! Betul, itu nama tahun, sekaligus penanda bahwa apa yang terjadi sepanjang masa pandemi 2020, 2021, dan 2022 harus dikonversi secara total dengan terobosan-terobosan baru tahun depan yang polanya sudah kelihatan di mana-mana.

Tahun 2023 bukan lagi soal proyeksi, tapi realisasi. Jujur saja, dinamika industri ini nyaris terhenti sepanjang pandemi meski banyak terobosan digitalisasi yang – sayangnya – sebagian besar berumur pendek.

Ini kira-kira yang kemungkinan besar akan direalisasikan secara masif, dan diadopsi di berbagai lini bisnis.

Equilibrium Baru. Kira-kira perjalanan tiga tahun pandemi ini akan ditinggalkan dengan bayang-bayang resesi global tahun depan.

So what? Apakah lalu semuanya berhenti bergerak, rajin menabung, berhemat besar-besaran? Bukankah akhir tahun 2020 kita juga mengalami trauma serupa, bahwa pandemi tak jelas kapan berakhir, semua harus ‘berhati-hati’ tahun depan (2021), alias kencangkan ikat pinggang. Nothing significant really happened.

Akhir 2021 yang penuh kebrutalan Covid-19 varian Delta juga mengulangi ketakutan yang sama, dan sejauh ini 2022 kita lampaui bersama-sama dengan cara kita masing-masing.

Dua bulan terakhir ini perekonomian disisipi banyak berita perusahaan-perusahaan besar ‘berbau teknologi’ memangkas karyawannya secara besar-besaran.

Yang jadi kambing hitam seperti biasa adalah situasi ekonomi, lalu diramaikan dengan himbauan untuk jaga-jaga menyambut resesi tahun depan.

Sesederhana itu? Big No No!

Pemangkasan jumlah karyawan pada dasarnya juga merefleksikan begitu borosnya pembelanjaan perusahaan-perusahaan teknologi rintisan dalam merekrut SDM. Jadi sebenarnya tidak tepat bila hal ini disebut sebagai efisiensi.

Ini adalah koreksi. Banyak yang dikoreksi selain jumlah SDM yang luar biasa berlebih. Lihatlah juga jumlah duit yang terlanjur dibakar di muka, termasuk untuk membayar gaji gila-gilaan para pegawainya.

Seyogianya tak salah juga bakar duit, ini hanyalah istilah marketing. Masalahnya adalah, sampai di mana batasnya?

Beberapa jenis usaha rintisan berbasis teknologi digital menciptakan klaster-klaster yang mirip versi mini ‘Red Ocean’.

Puluhan Fintech (dan mungkin ratusan bila termasuk yang ilegal dan beroperasi liar di masyarakat bawah) saling meng-copy strategi satu sama lain. Aplikasi pembelajaran digital pun demikian.

Belum lagi ecommerce/ emarketplace. Relatif tak ada kebaruan yang mencoba membangun strategi untuk tujuan kesinambungan usaha. Satu rontok disusul yang lain. Banyak usaha rintisan yang tutup karena spirit jiplakan, spirit latah.

Bila diasumsikan metaforanya, usaha rintisan tidak sama dengan ribuan gerai penjual smartphone dan aksesorisnya di satu pusat perdagangan seperti di ITC.

Usaha rintisan konvensional cenderung saling mengisi, saling kolaborasi secara sukarela, yang penting bagi-bagi cuan.

Hal ini nyaris mustahil terjadi di usaha rintisan berbasis aplikasi. Surutnya jumlah pemain di industri-industri yang berdesak-desakan di klaster-klaster ‘Red Ocean’ tidaklah selalu diartikan sebagai sinyal bahwa ekonomi sedang memburuk.

Seperti pemangkasan massal pekerja di sektor usaha rintisan, kasus ini pun adalah koreksi. Koreksi serentak ini akan membentuk keseimbangan baru yang dianggap lebih ideal untuk berkompetisi di pasar.

Resesi mungkin tidak terhindarkan. Namun dengan memahami beberapa koreksi ini, setidaknya kita sadar bahwa pasar sedang mengajarkan kepada kita ‘segala sesuatu’ yang lebih benar, dan tentu lebih baik.

Tren Teknologi 2023

Penerapan blockchain dan adopsi web3 akan semakin meluas. Keinginan netizen untuk merebut kendali atas akun-akun mereka – terutama di internet blog, media sosial, serta aktivitas transaksi kripto maupun keuangan digital konvensional – menjadi lebih kuat.

Desentralisasi menjadi bahasa baru di internet. Di sini pula peran cloud storage dan computing ikut terdampak secara positif: diyakini dianggap jauh lebih aman.

Edge Computing, sebuah lompatan data storage yang mendekatkan diri secara lokasi/teritori pada konsumen pengguna data, akan melampaui kecepatan akses data di cloud dengan server besar terpusat.

Meski ini masih dikembangkan untuk mencapai optimalisasi, tren itu sudah kelihatan. Tak hanya kedekatan dan kecepatan unduh data, tetapi faktor security juga menjadi pertimbangan.

Teknologi Augmented Reality akan semakin luas diadopsi pada bisnis retail, layanan kepariwisataan, dunia pendidikan serta interaksi bisnis.

Augmented Reality tak selalu harus berakhir di Metaverse. Meski begitu, metaverse yang masih mencari bentuk stabilnya (sebenarnya ia ini binatang apa sih?) akan tetap menjadi tren yang sangat kuat karena web3 sedang melaju kencang-kencangnya.

Sebuah dwi-tunggal yang nyaris tak terpisahkan bila bicara azas kemanfaatannya, juga fungsi spesifiknya.

Artificial Intelligence atau Kecerdasan buatan tak lagi hanya diaplikasikan dalam bentuk audio maupun visual, bot-bot pengganti layanan manusia, ataupun dalam aplikasi computer vision yang dipakai, misalnya, pada autonomous vehicle/self-driving car dan face recognition di berbagai gawai akan menjadi standar baru di berbagai gawai dan operating system. Dengan kata lain, fungsi dan aplikasi AI akan lebih membumi.

Teknologi proprietary (silo, tidak universal) mungkin tetap akan punya pangsa pasar besar karena dua faktor: stabilitas sistem serta keamanannya, namun tuntutan akan infrastruktur digital serta ecosystem universal bisa jadi mulai didengungkan di asosiasi-asosiasi industri global. Contohnya adalah penggunaan USB Type-C sebagai standard global semua gawai.

Meleburnya peran Otak Kiri dan Otak Kanan. Dengan pendekatan design (di mana para desainer dianggap berpikiran lebih meredeka, out of the box), maka anak-anak usia TK dan SD sudah mulai diperkenalkan ketrampilan merangkai – tak hanya benda-benda modular (misal seperti lego) – tapi juga merangkai dalam konsep-konsep digital yang memerlukan imajinasi.

Di sini Jane McGonigal (Stanford, Berkeley, IFTF Palo Alto) berpandangan bahwa video game memiliki peran dalam perkembangan kemampuan anak-anak dalam ‘merangkai apapun’ itu tadi, bahkan beberapa platform seperti Roblox (game creation system), Investory, YAHAHA dan RedBrick, sudah lebih jauh lagi menciptakan arena ‘permainan otak’ yang sungguh mumpuni.

Tren Mega Office (catat ya, bukan Mega Company) akan mulai menyesuaikan diri dengan makin canggihnya sistem otomasi dan proses kerja yang makin presisi serta efisien akibat adopsi AI dan Machine Learning yang masif.

Para pembaca bisa bayangkan perusahaan raksasa sebesar Amazon (Nasdaq: AMZN) yang layanannya tersebar hampir di seluruh dunia memiliki jumlah karyawan tetap hampir 1,5 juta orang.

Dengan revenue tahun lalu hampir 500 miliar dollar AS dan net income 33 miliar dollar AS, sebenarnya tak sulit bagi Amazon yang memang merupakan pionir teknologi canggih untuk menciutkan armada SDM-nya menjadi hanya separuh saja di seluruh dunia.

Raksasa-raksasa teknologi lain bahkan sudah memulai PHK besar-besaran tahun ini. Saya sendiri heran bagaimana raksasa-raksasa teknologi kok memiliki karyawan hingga jutaan jumlahnya. Pasti ada yang kurang benar di sini.

Nah, sekarang soal ancaman resesi 2023. Inevitable. Tak terhindarkan! Tanda-tanda sudah kelihatan, dan peringatan dini di seluruh dunia sudah digaungkan banyak pemerintahan.

So what? Be agile.

Kalau mau efisiensi, sekarang lah waktu yang tepat, atau di kwartal pertama tahun depan. Karena efisiensi hanyalah tahapan antara – demi membangun landasan baru yang lebih kokoh untuk kemudian mengejar produktifitas.

Tahun depan kuncinya adalah PRODUKTIFITAS. Setiap unit dan departemen harus berupaya keras memberi nilai tambah spesifik bagi keseluruhan operasional perusahaan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com