Rudy Sutedja (47) hanya bisa mengurut dada ketika film animasi Rollbots
Para animator dari berbagai kota itu dihimpun sebuah perusahaan berbasis di Pulau Batam. Perusahaan ini diberi order oleh perusahaan Singapura yang langsung menjual produk animasi tersebut ke perusahaan di AS. ”Beberapa di antara animatornya berasal dari Bandung, termasuk dari Cimahi,” ujar Ketua Cimahi Creative Association (CCA) itu.
Rudy hanya ingin mengilustrasikan bahwa kemampuan teknis anak-anak muda kreatif dalam menyerap teknologi informasi dan komunikasi cukup tinggi. Hanya saja, mereka harus berjuang dan berkembang sendiri karena belum ada regulasi yang mendukung kreativitas mereka. Itu pengalamannya membina sekitar 1.000 pelaku industri kreatif yang diwadahi oleh CCA sejak tahun 2009.
Padahal, industri kreatif sangat prospektif dan strategis. Volume bisnis yang dilakukan anak-anak CCA, misalnya, bisa mencapai Rp 10 miliar per tahun. Seandainya Kota Cimahi, Jawa Barat, tidak mengembangkan kemampuan sumber daya manusia (SDM) warganya, bisa saja gejolak sosial bermunculan.
Pasalnya, kota yang luasnya hanya 4.036,5 hektar ini sudah dihuni sekitar 600.000 jiwa. Kepadatan kota yang mencapai sekitar 150 orang per hektar telah melampaui standar kepadatan penduduk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 97 jiwa per hektar.
Karena itu, pola pembangunan kota yang dijepit oleh Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat itu diarahkan ke industri kreatif melalui Cimahi Cyber Creative City. Bidang unggulannya teknologi informasi dan komunikasi, animasi, serta film yang diwadahi oleh CCA.
Akan tetapi, dalam perjalanannya, banyak sekali hambatan alias tidak semudah membalik telapak tangan. Industri animasi, misalnya, yang kini dijalani sekitar 1.000 komunitas itu memang terus berkembang, tetapi tidak dikawal regulasi yang mendukung. Karena itu, pasarnya sementara diarahkan ke iklan-iklan televisi.
”Kami bukan tak bisa membuat film animasi berkarakter lokal, tetapi pasarnya tidak mendukung. Biaya produksi bisa Rp 70 juta, tetapi televisi hanya membeli seharga Rp 15 juta,” tutur Rudy Sutedja.
Ironisnya, selain dihargai murah, hak ekonominya juga diminta dan dipegang pengguna (televisi) sehingga produsen tidak bisa menjual lagi produknya ke televisi lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Sekjen CCA Agustiana (30) menambahkan, film-film animasi dari luar negeri harganya bisa lebih murah karena disubsidi pemerintah. Film animasi Ipin & Upin, misalnya, Pemerintah Malaysia membelinya dari produsen dengan biaya tinggi. Film itu kemudian dijual ke sejumlah televisi di berbagai negara, termasuk Indonesia, dengan harga yang murah. ”Harga bisa ditekan Rp 5 juta, misalnya, tetapi kalau yang beli 100 televisi, nilainya bisa Rp 500 juta,” ujar Agustiana.
Pemerintah Malaysia sebenarnya meraih keuntungan atau manfaat ganda dari menyebarkan film animasi itu. Selain dari harga jual, penyebaran animasi itu juga merupakan bagian dari promosi negara dengan destination brand, The Trully of Asia itu. Atau, film Doraemon harganya bisa hanya sekitar Rp 15 juta per episode karena penjualnya di Jepang bisa menjual ke puluhan atau ratusan televisi di berbagai belahan dunia.
Di Indonesia, menurut Rudy, belum ada regulasi yang bisa membuat iklim kondusif bagi industri kreatif animasi. Pemerintah, melalui badan usaha, misalnya, belum membeli produk animasi, lalu memasarkannya ke berbagai televisi, baik dalam negeri maupun luar negeri. Kalau iklimnya bagus, ragam budaya Nusantara yang amat kaya itu bisa dianimasikan, misalnya wayang atau kearifan lokal berkarakter Indonesia.
Karena itu, para pelaku animasi di Cimahi lebih memfokuskan diri ke produk-produk iklan agar industri mereka tetap berjalan. Selain di dalam negeri, mereka juga bisa menjual produksinya ke luar negeri melalui komunikasi internet. ”Dari produk iklan, satu tayangan berdurasi satu menit harganya bisa mencapai Rp 100 juta,” ujar Rudy. Hanya, melalui produk iklan, animator atau pembuat iklan tayangan itu biasanya tidak muncul.
Untuk mengarahkan kreativitas para anggota yang sebagian besar anak-anak muda itu, Rudy melakukan kerja sama dengan investor secara perorangan. Misalnya, ada beberapa pesanan pembuatan iklan senilai Rp 200 juta, tentu mereka tidak akan mampu membiayainya. Maka, dicarilah investor yang bersedia mendanai dengan hasil 50-50 dari keuntungan bersih.
Hal itu terpaksa dilakukannya karena perbankan belum mau masuk ke sektor itu. Selain itu, komunitas CCA sering mengerjakan program dari pemerintah yang tendernya dimenangi perusahaan lain. ”Kerja sama ini sudah berjalan dan saling menguntungkan. Artinya, para animator itu tidak pernah rugi,” tutur Rudy.
Secara lembaga, CCA juga melakukan kerja sama dengan berbagai instansi untuk pelatihan atau sosialisai pembuatan film dan animasi. Misalnya, dengan Kementerian Perdagangan, Pemprov Jabar atau DKI, lalu dengan Pemprov Jateng untuk pembinaan telematika, teknologi informasi dan komunikasi, serta animasi.
Akhir Juli lalu, melalui kerja sama dengan Dinas Kominfo Jabar, produk iklan animasi CCA dipamerkan di London, Inggris. Produknya berupa animasi Senyum Sahabat, Briptu Norman, dan produk iklan Kelana Historia.