Bullit Sesariza, Wakil Ketua Bidang Pengembangan Video Game MIKTI, mengatakan, memproduksi video game tidak hanya soal menentukan platform, menentukan bahasa pemrograman, hingga menyiapkan ilustrasi yang memikat mata.
”Video game pada dasarnya harus menyenangkan dan intuitif,” katanya.
Dengan perusahaannya sendiri, Logika Interaktif, Bullit mencoba mencari peluang pasar yang lebih ramah terhadap video game. Dia pun mengembangkan A-Box, perangkat game yang bisa disewakan untuk promosi produk.
Alasannya, dia melihat bahwa game bisa menjadi jembatan yang efektif antara produsen dan konsumen tanpa memandang batas usia. Dari sekali event promosi, dia pernah mendapatkan pemasukan Rp 100 juta.
Tumbuh pesat
Developer Operation Manager Nokia Indonesia Narenda Wicaksono mengungkapkan, pasar game, khususnya mobile di Indonesia, sedang tumbuh pesat. Dengan populasi pengguna telepon seluler yang setidaknya mencapai 190 juta orang, bisa dipastikan pasar game dan aplikasi harus serius digarap. Nokia Store setiap minggu dikunjungi 2,2 juta orang dan 60 persen di antaranya kemudian mengunduh.
Untuk menggarap pasar lokal, Nokia juga menjadi orangtua asuh bagi studio-studio game yang dimulai dari ukuran kecil untuk bisa mapan berproduksi. Dukungan itu berupa bimbingan teknis untuk memprogram hingga mengemas agar bisa menarik minat pengunduh.
Nokia Indonesia juga menggandeng salah satu studio game, Agate Studio, untuk promosi bersama. Nokia mempromosikan telepon seluler seri N9 dengan salah satu fitur andalan, Near Field Communication (NFC), sementara Agate mempromosikan game mereka, Smash Mania. Permainan bulu tangkis secara virtual tersebut memang didesain untuk memanfaatkan fitur NFC, yaitu terhubung dengan lawan main yang juga menggunakan telepon seluler dilengkapi NFC.
CEO Agate Studio Arief Widhiyasa mengungkapkan, ada beberapa faktor yang menentukan ekosistem industri game, yaitu kapital atau permodalan, pasar, serta tenaga ahli. Tahun ini, kata Arief mantap, ekosistemnya jauh lebih baik dibandingkan dengan dua tahun lalu.
Ditambahkan, maraknya pembiayaan dengan skema modal ventura banyak membantu studio game tingkat rintisan, yang belum memiliki aset bisa dijaminkan, untuk mendapatkan kucuran kredit. Dengan skema ini, studio game mendapat kucuran modal dengan kompensasi saham perusahaan. Dengan demikian, nilai saham tersebut akan meningkat begitu studio tumbuh menjadi besar.
Akan tetapi, sewaktu menyebutkan dua faktor lain, Arief mengungkapkan bahwa kondisinya belum banyak berubah. Untuk pasar, misalnya, hingga kini belum ada wadah bagi studio untuk menawarkan produk mereka secara langsung kepada konsumen. Cara yang paling banyak ditempuh adalah menjualnya ke pihak ketiga, seperti portal game.
Begitu pula dengan tenaga ahli. Meskipun sudah banyak perguruan tinggi yang menawarkan ilmu pemrograman, baru sebagian yang bisa memenuhi kebutuhan industri video game. Pasalnya, Arief melanjutkan, pemrograman video game tidak melulu berbicara mengenai penguasaan bahasa tertentu, melainkan pemahaman mengenai algoritma serta logika.
Ditanya mengenai harapan kepada pemerintah, Arief menerangkan bahwa pemerintah bisa menjembatani agar interaksi tiga pihak, yakni pasar, perguruan tinggi sebagai penghasil tenaga ahli, dan akses permodalan bisa lebih baik lagi. Hal yang bisa dilakukan, antara lain, pemberian bantuan modal serta insentif khusus bagi studio game yang baru merintis, misalnya pembebasan pajak atau tax holiday.
Terlalu dini memang untuk mengharapkan industri video game di Indonesia bisa tumbuh besar layaknya komoditas lain. Namun, dibutuhkan keseriusan dalam pengambilan kebijakan agar nanti bermunculan produk yang bisa membawa kebahagiaan bagi semuanya. (Didit Putra Erlangga Rahardjo)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.