Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DENNY INDRAYANA

Mari Kita Lawan Mafioso dan Koruptor

Kompas.com - 03/05/2011, 02:53 WIB

Pengantar Redaksi:

Berpindah jalur dari akademisi tata negara dan aktivis antikorupsi yang kritis kepada penguasa menjadi staf khusus presiden membuat Denny Indrayana sering menjadi sorotan dan dipertanyakan konsistensinya. Denny menganggap sorotan demikian sebagai risiko dari pilihannya untuk berjuang di pusat pemerintahan. Adaptasi dalam bersikap dianggapnya sebagai bagian dari perubahan strategi perjuangan karena wilayah juang yang berbeda.

”Meskipun gaya dan pilihan diksi mungkin berbeda, substansi perjuangan saya di mana pun insya Allah tetap sama: antikorupsi,” katanya.

Negara kita adalah negara hukum, tetapi justru pembusukan tatanan hukum pelakunya adalah dari orang yang memahami hukum. (David D Suryadi, Tangerang Selatan)

Ini memang fakta yang menyakitkan. Bagi saya dan banyak orang seperti Anda, fakta demikian lebih dari sebuah ironi. Menurut saya, ini adalah tragedi negara hukum. Namun, betapa pun menyakitkan fakta itu, kita tidak pernah boleh menyerah. Bahkan, sebenarnya tidak ada pilihan untuk menyerah karena menyerah berarti kalah. Pilihannya hanya satu: bekerja keras untuk mengenyahkan tragedi itu. Negara hukum hanya akan terwujud ketika hukum dan keadilan tidak berjarak. Paling problematik jika jarak yang makin melebar itu disebabkan oleh praktik penegakan hukum yang transaksional. Maraknya mafia hukumlah yang telah membatalkan cita-cita negara hukum. Tidak ada jalan lain, praktik mafia hukum harus diberantas tuntas.

Apa saja yang dapat kita lakukan untuk mencegah terjadinya mafia hukum? (Rianti, Jakarta)

Kita bisa mulai dengan hal-hal yang tampaknya kecil, bahkan terlihat remeh. Jangan pernah memberi hadiah dalam bentuk apa pun, sebagai pernyataan terima kasih sekalipun, betapa pun tulusnya itu. Kebiasaan ”uang terima kasih” telah memanipulasi batas demarkasi yang jelas di antara ketulusan pribadi dan korupsi. Jelas, kebiasaan demikian telah menggerogoti kehormatan para penegak hukum kita.

Kita juga harus menolak tunduk pada pemerasan yang dilakukan aparat penegak hukum, dengan alasan apa pun. Laporkan, utamanya kepada KPK dan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, jika ada indikasi praktik mafia hukum. Bila perlu, berbagilah informasi dengan media dan LSM antikorupsi

Seandainya Anda seorang presiden, apa yang akan Anda lakukan untuk memberantas korupsi? (Gustiawan Godi, Cikarang)

Itu terdengar seperti pertanyaan ketika saya duduk di bangku sekolah menengah. Ketika itu terdengar romantis. Sekarang pun masih. Jawabannya sederhana. Tidak ada resep tunggal untuk itu. Yang pasti, kita tidak harus menjadi presiden untuk ikut urun rembuk dalam ikhtiar pemberantasan korupsi. Setiap kita, dalam posisi masing-masing, wajib berkontribusi dalam gerakan antikorupsi. Untuk presiden Indonesia, tambahkan satu resep lagi, selalu bersiaplah untuk tidur lebih sedikit.

Salah satu cara untuk membungkam sikap kritis akademisi adalah dengan memberinya jabatan. Mengapa Anda mau menerima tawaran sebagai staf khusus presiden?(Laksmi Amalia, Sleman, Yogyakarta)

Alasan dan motif seseorang mungkin kurang penting dibandingkan dengan apa yang ia lakukan setelah berada di lingkungan pembuat keputusan. Saya biarkan Anda dan masyarakat yang menilai orang seperti saya. Saya hanya ingin memastikan bahwa saya mengendalikan kesadaran dan berpijak pada keadilan dalam setiap tindakan yang menentukan nasib orang banyak di ruang publik.

Tuduhan pembungkaman pasti muncul ketika saya menerima amanah sebagai staf khusus presiden. Tuduhan demikian adalah risiko pilihan yang saya jadikan lonceng pengingat untuk terus menjaga idealisme meskipun penuh tantangan karena berada di pusat pengambilan kebijakan. Yang pasti, sikap kritis dan antikorupsi bukanlah sikap yang hanya dimonopoli akademisi atau aktivis LSM saja. Justru, berada di dalam sistem pemerintahan dan tetap konsisten berjuang membutuhkan tenaga lebih.

Faktanya, praktik korupsi lebih banyak ada di dalam lingkaran kekuasaan. Berperang menghadapinya tidak cukup hanya dengan berteriak di luar medan pertempuran. Terjun langsung ke medan perang pasti berisiko, tetapi tidak ada pertempuran yang dimenangkan jika semua hanya menjadi komentator dan berada di garis belakang.

Yang pasti, di mana pun kita bekerja, motivasi dan niat memang harus selalu dicuci untuk menjadikan amanah yang diberikan hanya sebagai kesempatan berjuang untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik, lebih antikorupsi.

Sebagai pemrakarsa berdirinya Pusat Kajian Anti Korupsi UGM, menurut Mas Denny, faktor apa yang menyebabkan maraknya korupsi di daerah serta bagaimana cara pencegahannya? (Firmansyah, Makassar)

Korupsi di daerah semakin marak seiring dengan desentralisasi dan kewenangan pemerintah daerah yang semakin besar. Kita harus selalu ingat, power tends to corrupt. Korupsi bersumber dari kekuasaan yang terlalu besar, minus amanah. Maka mekanisme kontrol harus diefektifkan. Kita sebagai rakyat pun harus terus mengasah kecerdasan dan kepekaan dalam memilih kepala daerah dan anggota legislatif daerah yang lebih bersih rekam jejak antikorupsinya.

Bagaimana awal mulanya Anda menjejakkan kaki di pemerintahan? Apa pengaruh positifnya bagi Anda dan keluarga? (Halima, Jakarta Timur)

Di akhir 2008, ada tantangan yang datang dari Presiden SBY untuk membantu beliau sebagai staf khusus. Saya diskusikan penugasan itu dengan keluarga serta rekan-rekan seperjuangan. Semuanya mendukung saya untuk menerima amanah tersebut. Meskipun, istri dan anak saya sebenarnya lebih merasa nyaman dan betah tinggal di Yogyakarta karena dengan profesi sebagai dosen Fakultas Hukum UGM hidup kami pasti lebih tenang, nyaman, dan tidak banyak ancaman.

Positifnya, kami sekeluarga banyak berlatih untuk lebih sabar dan ikhlas. Karena, di era bernegara yang demokratis, mengemban amanah di dalam pemerintahan setiap saat berhadapan dengan sorotan dan kritikan. Meskipun, terus berjuang melawan mafia, mempertahankan idealisme antikorupsi, namun apresiasi adalah barang langka. Inilah proses pembelajaran yang sangat baik untuk lebih sabar dan ikhlas. Toh, perjuangan antikorupsi memang tidak membutuhkan apresiasi, perjuangan antikorupsi membutuhkan konsistensi.

Kenapa kasus Bank Century, tidak dipublikasikan lagi? (Nelson, Jakarta)

Kenapa publikasi kasus Bank Century berkurang, bukan kapasitas saya untuk menjawabnya. Adalah dunia media yang menentukan isu apa yang layak diberitakan.

Saya sendiri berpandangan, kasus Century sebenarnya digunakan sebagai serangan balik kepada pejuang gigih antikorupsi yang penuh integritas dan dedikasi membangun negeri. Karenanya, ketika Ibu Sri Mulyani Indrawati sudah tidak lagi menjabat sebagai Menteri Keuangan, serangan itu dengan sendirinya mengendur karena target utamanya telah tercapai. Ingatlah selalu, di mana pun, kapan pun, selalu ada kemungkinan corruptors fight back. Mafia strikes back.

Mengapa memilih profesi akademisi dan meninggalkan profesi advokat beberapa tahun silam sebelum bergabung ke Fakultas Hukum UGM? (Afifi, xxxx@gmail.com)

Ketika 31 Desember 1999 memutuskan hijrah millenium dan tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta pada 1 Januari 2000, saya sebenarnya bergaji dollar pada suatu law firm di Jakarta. Di ”kota gudeg”, saya menjadi dosen dengan gaji awal hanya beberapa ratus ribu rupiah. Tidak masalah. Karena tujuan saya hijrah adalah untuk terus menjaga idealisme antikorupsi.

Sama halnya dengan kondisi sekarang. Sebenarnya penghasilan saya dapat lebih besar jika tetap berprofesi sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara UGM. Posisi sebagai staf khusus presiden membuat saya wajib menolak banyak tawaran tambahan penghasilan yang berpotensi menimbulkan benturan kepentingan. Bung Afifi, kita harus memegang teguh prinsip, materi tentu penting, tetapi haruslah bukan segalanya.

Saya lihat setelah Anda menjadi staf khusus presiden kelihatannya sikap Anda agak berbeda dari sebelumnya dalam mengkritik pemerintah. Bagaimana menurut Anda sendiri? (Akbar Fauzan, Padang, xxxx@yahoo.com)

Saya memaklumi prasangka Anda demikian. Itu karena Bung Akbar tidak tahu bahwa kritikan kepada pemerintahan tidak lagi saya sampaikan secara terbuka, tetapi secara langsung di dalam diskusi internal kepresidenan. Dalam strategi perjuangan, dengan wilayah yang berbeda, tentu strategi juangnya juga tidaklah sama. Strategi berjuang di dalam pemerintahan tentu berbeda dengan strategi berjuang di luar pemerintahan. Yang pasti, meskipun gaya dan pilihan diksi mungkin berbeda, substansi perjuangan saya di mana pun insya Allah tetap sama: antikorupsi.

Menurut Anda apa tiga musuh terbesar penegakan hukum? (Sigit Trisnanto, Jakarta)

Tiga musuh terbesar penegakan hukum adalah: sistem dan aparat penegak hukum yang korup; penguasa yang otoriter; dan politikus yang munafik dan tak bermoral. Perpaduan dari ketiganya akan mengakibatkan maraknya praktik mafia peradilan yang akan sangat merusak sistem penegakan hukum.

Apakah yang dimaksud mafia hukum? (Oenardy Sugianli, Bandung)

Mafia hukum pada hakikatnya merupakan penyimpangan yang dilakukan secara konspiratif oleh para aparat penegak hukum. Akibatnya, hukum semakin berjarak dari rasa keadilan karena setiap keputusan hukum diperjualbelikan dengan uang dan jabatan.

Dulu ketika belum masuk lingkaran kekuasaan, Anda sangat ”garang” dengan menyebut sumber korupsi yang sukar disentuh antara lain: Istana dan Sang Naga. Namun, setelah Anda masuk lingkaran kekuasaan, kok ”kegarangan” Anda kini pudar. Apakah kegarangan dulu hanya merupakan upaya untuk menaikkan posisi tawar?(Saratri, Semarang, xxxx@yahoo.com)

Saya selalu berpendapat pusat potensi korupsi tetap berada di lingkaran kekuasaan. Karena, sumber korupsi adalah kekuasaan yang besar tanpa kontrol, tanpa amanah. Absolute power corrupts absolutely. Maka, salah satu strategi perjuangan antikorupsi adalah: harus ada yang bekerja di pusat penentu kebijakan dan menjalankan fungsi kontrol secara efektif. Karena, perjuangan antikorupsi dari luar pemerintahan tentu sangat penting, tetapi pasti tidaklah cukup. Tetap diperlukan perjuangan di pusat pengambilan keputusan agar setiap kebijakan yang diambil dapat sejalan dengan semangat antikorupsi.

Posisi kerja di dalam pusat pemerintahan demikian tentu berisiko tinggi. Salah satunya dapat dituduh sebagai bagian dari kekuasaan yang korup, tidak lagi garang, dan lain-lain. Tuduhan demikian harus saya terima sebagai konsekuensi pilihan berjuang di dalam lingkaran kekuasaan, yang sebenarnya lebih penuh godaan, perlawanan, dan tantangan.

Banyak pihak menilai agenda pemberantasan korupsi semakin jauh panggang dari api. Anda adalah bagian dari kegagalan itu. Bagaimana Anda menanggapi stigma ini dan pandangan masyarakat bahwa idealisme Anda semakin tergerus oleh kekuasaan. (Azzumar Nazif, Pekanbaru, xxxx@yahoo.com)

Harus diakui, masih banyak pekerjaan rumah antikorupsi yang wajib diselesaikan dengan segala risiko dan tantangannya. Karena, para koruptor pasti tidak akan tinggal diam dan selalu melakukan perlawanan balik. Bagaimana pun, kita tidak boleh pesimis dan harus terus meningkatkan ikhtiar. Saya sendiri terus menjaga api optimisme dengan segala upaya antikorupsi yang mungkin saya lakukan. Sejauh ini, ikhtiar itu tetap membawa hasil meski memang masih jauh dari memuaskan. Yang pasti, di kantor kami, idealisme dan integritas adalah modal utama kerja yang tidak akan kami jual berapa pun, tidak akan kami pertukarkan dengan apa pun.

Mari kita terus berjuang untuk melawan para mafioso dan koruptor di mana pun, sampai kapan pun. Demi Indonesia ke depan yang lebih baik, lebih antikorupsi. Keep on fighting for the better Indonesia. (Ush)

DENNY INDRAYANA

• Lahir: Kotabaru, Pulau Laut, Kalimantan Selatan, 11 Desember 1972 • Keluarga:Ida Rosyidah (Istri)- Varis Haydar Rosyidin (Putra, 11 tahun)- Varras Putri Haniva (Putri, 10 tahun) 

• Pekerjaan:Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia & Pemberantasan Korupsi Kolusi Nepotisme (2008-sekarang)- Pemberantasan Mafia Hukum (2009-sekarang)- Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (2010- sekarang)- Tim Verifikasi Persetujuan Presiden untuk Pemeriksaan Pejabat Negara (2011-sekarang)- Sekretaris Tim 8 (Tim Verifikasi Kasus Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto) (2009)- Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM (2006-2008)- Direktur Indonesian Court Monitoring (2005-2008) • Pendidikan:- Sarjana Hukum (S.H.), Fakultas Hukum UGM (1995)- Master Hukum (LL.M.), School of Law, University of Minnesota, USA (1997)- Doktor Ilmu Hukum (Ph.D.), School of Law, University of Melbourne, Australia (2005) 

• Buku:- Indonesian Constitutional Reform 1999-2002: An Evaluation of Constitution-Making in Transition (Kompas, 2008)- Negeri Para Mafioso (Kompas, 2008)- Negara antara Ada dan Tiada (Kompas, 2008)- Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran (Mizan, 2007)

• Penghargaan:- Legal Icon, Majalah Gatra, 2010- Legal Icon, Majalah Gatra, 2009- Australian Alumni Award, Bidang Sustainable Economic and Social Development, 2009

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com