Edward menambahkan, maskapai jelas punya kepentingan mempekerjakan pilot yang ”bersih”. Sejak pertama kali direkrut, kata Edward, pilot sudah dicek narkoba, kemudian dijelaskan di dalam kontrak kerja mengenai pelarangan konsumsi narkoba.
”Kami juga pasti serius mengawasi mereka dalam batas-batas kemampuan kami. Tidak mungkinlah kami memercayakan aset kami berupa pesawat senilai Rp 700 miliar kepada pilot yang tidak jelas,” kata Edward.
Seorang pilot berkebangsaan Indonesia, yang bekerja sebagai pilot senior sebuah maskapai asing di luar negeri, mengatakan, pengecekan narkoba di negara lain juga acak. ”Tidak efisien apabila dicek tiap hari,” katanya.
Pilot senior itu menyarankan adanya otoritas penerbangan sipil yang kuat seperti Federal Aviation Administration. ”Mereka dapat mengecek pilot secara acak, langsung memproses secara hukum pula,” katanya.
”Tidak seperti di Indonesia, di mana hukumnya begitu ruwet, juga tindakan penegak hukum yang sering kali tidak adil sehingga membuat penegakan hukum dikerjakan dengan tidak serius dan konsisten,” ujarnya.
Dia menyarankan, apabila tren pemakaian narkoba meningkat, Kementerian Perhubungan lebih baik bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional untuk menginvestigasinya.