Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
JAJAK PENDAPAT KOMPAS

Pers Belum Bisa Memberikan Solusi

Kompas.com - 13/02/2012, 01:56 WIB

 SULTANI

Kebebasan informasi dan penetrasi ekonomi pasar merupakan dua hal yang menandai perkembangan media massa Indonesia selama lebih dari satu dasawarsa terakhir ini. Situasi ini ikut berperan menciptakan kecenderungan isi yang faktual. Di sisi lain, bandul orientasi media massa dinilai lebih condong pada aspek komersial.

Pertumbuhan jumlah media selama satu dasawarsa terakhir memberi gambaran tentang perkembangan bisnis media. Data dari Merlyna Lim, peneliti dari Arizona State University, mengungkapkan, jumlah media cetak hingga Maret 1999 sebanyak 289 buah. Satu dekade kemudian angka ini telah melonjak menjadi 1.076 buah. Sementara itu, jumlah media elektronik, khususnya televisi (TV), saat ini mencapai 11 stasiun swasta nasional ataupun negara serta lebih dari 100 stasiun TV yang beroperasi di tingkat lokal.

Angka-angka peningkatan itu memperlihatkan satu perubahan cukup signifikan dalam hal kontrol atas kepemilikan media. Periode sebelum tahun 1999, kontrol ketat berada di tangan negara. Eksistensi dan kebebasan media massa sangat ditentukan oleh sensor negara.

Kebebasan informasi hampir-hampir tak bisa terwujud. Saat ini mekanisme pasar menjadi pedoman utama eksistensi dan pengoperasian bisnis media. Perubahan ini pun dalam beberapa hal bisa memengaruhi kecenderungan pola pemberitaan.

Di samping udara ”kebebasan” yang telah dihirup oleh media massa, publik mencermati kecenderungan pola pemaparan media. Dari hasil jajak pendapat Kompas, terungkap bahwa berita yang dipublikasikan oleh media saat ini dinilai bisa membantu publik untuk mengetahui dengan jelas peristiwa atau persoalan yang sedang diberitakan. Penilaian ini diakui oleh 55,7 persen responden yang menganggap pemberitaan media saat ini sudah bisa memperjelas suatu masalah.

Ilustrasi mengenai hal ini bisa diambil dari pemaparan media terhadap kasus korupsi, mafia hukum, atau mafia pajak. Sebut saja penayangan kasus dugaan korupsi yang melibatkan petinggi Partai Demokrat. Publik disuguhi secara cukup rinci perkembangan pengungkapan kasus, bahkan hingga isi percakapan melalui Blackberry Messenger antara beberapa pihak yang terlibat.

Demikian pula halnya dengan pemaparan media terhadap dugaan kasus mafia hukum di tubuh kepolisian. Saat itu, penonton televisi dapat menyaksikan dan mendengarkan secara langsung rekaman pembicaraan antara beberapa pihak yang diduga terlibat dalam kasus tersebut.

Keberhasilan media mengungkapkan sejumlah persoalan terkait penyelenggaraan negara ke ruang publik itu diapresiasi responden sebagai kemampuan media memberi penjelasan tentang kasus itu. Pengetahuan publik yang semula sumir tentang persoalan ini menjadi lebih jelas ketika kedua kasus ini diungkap media massa. Fungsi ini, menurut publik, menunjukkan media ikut mendorong masyarakat untuk terlibat mengontrol kinerja lembaga negara. Pola penyikapan seperti ini dikemukakan oleh 64,9 persen responden.

Meskipun demikian, menurut publik, isi media tak sepenuhnya berhasil membantu masyarakat ataupun pengambil kebijakan untuk merumuskan solusi. Saat responden survei ini ditanya tentang peran media dalam memberikan solusi atas persoalan bangsa, proporsi yang cukup berimbang memberikan respons positif ataupun negatif. Sekitar 48,7 persen responden survei ini menyatakan, pemberitaan media belum bisa memberi jawaban atas penyelesaian sejumlah persoalan bangsa. Sementara 46,4 persen responden yakin media ikut membantu mencarikan solusi atas persoalan bangsa.

Aspek komersial

Penetrasi pasar dalam industri media ditunjukkan oleh terus meningkatnya angka belanja iklan di media massa. Survei Nielsen Media Indonesia terhadap 103 koran, 165 majalah dan tabloid, serta 24 stasiun TV nasional ataupun lokal menunjukkan, belanja iklan untuk semua media massa pada 2009 mencapai Rp 48,5 triliun. Jumlah ini meningkat 16 persen dibandingkan dengan tahun 2008. Angka ini memperlihatkan gerak pengoperasian media sangat ditentukan oleh pendapatan dari iklan. Akibatnya, sering kali aspek ideologis terkalahkan oleh aspek komersial.

Fenomena ini memberikan gambaran kepada publik tentang realitas pers Indonesia sebagai institusi yang bebas dan mandiri sekaligus berorientasi pada kepentingan ekonomi. Inilah pencitraan publik terhadap pers Indonesia saat ini. Setidaknya, pencitraan ini dilihat publik dari aspek isi atau kecenderungan pemberitaan media dan fenomena kepemilikan media massa yang berkembang akhir-akhir ini.

Dari hasil jajak pendapat, publik menengarai kebanyakan media massa di Indonesia saat ini mulai mengurangi fungsi edukasi dalam pemberitaannya. Hal ini terlihat jelas dalam materi yang dipublikasikan. Menurut responden, media saat ini cenderung memberikan porsi yang lebih besar kepada materi yang bersifat komersial ketimbang pendidikan. Kecenderungan media memihak pada kepentingan bisnisnya ini sudah diendus publik sejak lama.

Dari jajak pendapat tahun 2010 dan 2011, responden selalu berpandangan sama bahwa media tidak sepenuhnya berpihak pada kepentingan masyarakat. Pada jajak pendapat kali ini, lebih dari separuh bagian (53,6 persen) responden menyatakan media lebih condong membela kepentingan bisnisnya daripada kepentingan masyarakat.

Penonjolan aspek komersial ini merupakan konsekuensi dari mekanisme pasar yang berlaku dalam dunia pers. Setelah pemerintah, yang selama ini menjadi penentu hidup dan matinya media massa, mengurangi intervensinya dalam dunia pers, kini aspek kapital yang menjadi penentu hidup-matinya media.

Kecenderungan media memihak pada kepentingan sendiri ini bisa terjadi karena media memiliki hak mutlak untuk menentukan berita. Agenda setting isu atau peristiwa yang menjadi perhatian media dirancang sesuai dengan kepentingan media. Penonjolan suatu isu atau peristiwa pasti didorong oleh motif, tujuan, atau kepentingan tertentu, baik politik maupun ekonomi.

Jurnalisme warga

Konteks kebebasan informasi saat ini memberi landasan bagi munculnya media sosial atau forum warga melalui dunia maya. Dalam ruang ini, publik secara umum memiliki kesempatan untuk mengekspresikan opini dan menyebarluaskannya kepada masyarakat. Meskipun demikian, responden survei ini menilai, media massa konvensional seperti koran, majalah/tabloid, TV, radio, dan media online merupakan bentuk medium yang tetap dijadikan rujukan.

Sebanyak enam dari sepuluh responden survei ini masih lebih memercayai informasi yang diperoleh dari media konvensional ketimbang media warga (citizen journalism) dan media sosial (Facebook dan Twitter). Artinya, sekalipun dalam penilaian responden media warga ini bisa menyaingi media massa konvensional, informasi di dalam media warga itu cenderung dianggap sebagai referensi sekunder.

Sementara itu, menurut tiga perempat responden survei ini, fungsi sebagai media informasi saat ini sangat memadai dijalankan oleh media cetak ataupun elektronik. Adapun televisi terutama dinilai oleh hampir 100 persen responden lebih banyak memberikan porsi hiburan. Peran dalam aspek edukasi menurut tujuh dari sepuluh responden lebih banyak dipenuhi oleh media cetak.

(LITBANG KOMPAS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com