Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hitam Putih Dunia Sophan Sophiaan

Kompas.com - 18/05/2008, 00:46 WIB

Sophan Sophiaan, aktor, sutradara, dan politisi yang dikenal memiliki prinsip yang kuat itu telah tiada. Kecelakaan yang terjadi di jalan raya Ngawi-Solo, km 18-19, tepatnya di desa Plangor, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi, pada Sabtu (17/5) sekitar pukul 09.15 WIB itu, telah merenggut jiwanya.

Sophan memang telah tiada. Tapi jejaknya niscaya akan dikenang oleh insan perfileman dan masyarakat luas dengan citra yang baik. Tulisan yang disarikan dari Litbang Kompas berikut adalah sekelumit perjalanan Sophan, baik sebagai insan film maupun sebagai politisi.

***
Mengenangkan Sophan adalah mengenangkan pribadi yang lurus dan jujur. Baginya, hidup adalah hitam dan putih. Itulah sebabnya, ia akhirnya memilih untuk berhenti sebagai anggota DPR yang menawarkan padanya area abu-abu. Area yang membuat manusia gampang gamang, dan jika tak kuat iman tentu saja gampang tergoda oleh iming-iming gemerlap dunia. Area yang membuat pribadi macam Sophan tersiksa selalu.

Sophan yang kala itu menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) MPR akhirnya menyatakan mengundurkan diri dari keanggotaan MPR dan DPR, terhitung mulai tanggal 1 Februari 2002. Alasannya, ia mengaku mengalami kelelahan jiwa bahkan mengarah ke depresi mental dalam menjalankan kehidupan berpolitiknya sejak tahun 1992.

Kompas menulis begini, "Saya pada akhirnya menyadari saya bukan politisi. Saya manusia biasa yang mempunyai sikap hitam putih, sedangkan politik itu sendiri the art of possibilities. Yang salah bisa dibenarkan, yang benar bisa disalahkan. Saya tidak bisa begitu. Salah, ya, salah. Benar, ya, benar," kata Sophan, yang berasal dari daerah pemilihan Pare-pare, Sulawesi Selatan.

Ia melihat konstelasi politik nasional semakin meninggi dan ia mengaku tidak mampu beradaptasi. "Oleh karena itu, setelah tiga bulan berpikir, berkonsultasi dengan sahabat, dengan keluarga, dengan istri yang tadinya tegas melarang, pada akhirnya istri mengatakan go ahead. Kalau mau mundur, mundur saja," tutur suami aktris Widyawati itu. Pada Lebaran yang lalu, tutur Sophan, ia masih bertemu dengan
ayahnya, Manai Sophiaan-tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI)-yang waktu itu juga meminta jangan keluar.

Semenjak ia masuk ke Senayan sebagai anggota DPR/MPR pada 1992, Sophan sudah dikenal garang dan memiliki prinsip yang kuat. Pada Sidang Umum MPR 1993, misalnya, ia termasuk bintang "panggung politik" yang gigih, bersuara lantang, atau memikat dalam memperjuangkan aspirasi rakyat.

Karena kevokalannya itulah, ia kerap diteror oleh penelepon gelap. Kepada wartawan Sophan pernah mengungkapkan, sudah sejak 3 tahun lalu dia "menderita bathin" akibat teror yang dilakukan penelepon gelap. Menurut dia, teror yang dilakukan pagi, siang atau malam itu bisa berlangsung 10 kali dalam sehari.

"Setiap hari, minimal saya menerima telepon gelap 10 kali. Kadang pagi, siang, atau tengah malam, bahkan kadang-kadang waktu subuh. Sungguh, saya hampir gila akibat teror telepon itu," ungkap Sophan dalam rapat kerja antara Komisi I DPR dengan Polri yang dipimpin Kepala Kepolisian RI Jenderal (Pol) Banurusman di Jakarta.

Menurut dia, keluarganya serba salah menghadapi teror itu. Jika telepon itu tak diangkat, takut kalau itu berasal dari keluarga atau kenalannya dan sifatnya penting. Tapi kalau kebetulan "telepon teror", maka sangat menjengkelkan menerimanya.

Pada 20 Juni 1996, Sophan terlihat gagah sekaligus gigih memimpin demonstrana menuju Monas. Ia bersama Mangara Siahaan (aktor dan anggota DPR kala itu) memimpin long march ribuan massa PDI dari gedung DPP PDI Jalan Diponegoro ke Silang Monas, untuk doa bersama dan menyatakan sikap menentang penyelenggaraan Kongres PDI Medan. Dalam perjalanan, petugas keamanan membarikade massa agar tidak melewati Jl Merdeka Barat. Massa akhirnya berbelok ke Jl Merdeka Selatan.

Setiba di Jl Merdeka Timur, massa dihadang petugas. Sophan tampak menenangkan massa melalui megaphone. Ia berdiri di sebuah mobil dan menghadapi massa. Tapi tiba-tiba dari arah belakang, petugas dan massa saling bentrok. Kekacauan itu terjadi di depan kantor Direktorat Kebudayaan.

Tak sekali itu Sophan jadi "hero" bagi kaumnya. Di waktu lain ia juga berdebat gigih menghadapi pemerintah seperti Menteri Penerangan Harmoko dalam sebuah rapat kerja yang membahas antara lain pembredelan Tempo, Editor, dan Detik.

Kendati bersuara keras di parlemen, terkesan oposan, tapi tidak memperlihatkan perangai kasar. Sophan seorang demonstran yang sopan. Pada aksi yang melibatkan sekitar 5.000 orang itu, ia berkali-kali menenangkan massa yang mulai digerahkan. Ia coba bernegosiasi dengan tentara dan polisi ketika para pengunjuk rasa dihambat melanjutkan perjalanan menuju kantor Menteri Dalam Negeri. Dia pula negosiator dalam pembebasan 48 demonstran yang ditahan.

Sophan juga berani menggertak oknum yang berkata-kata kasar kepada pengunjuk rasa. Dia memrotes pemukulan wartawan, termasuk kru televisi CNN yang berdarah-darah.

"Saya marah ketika tahu wartawan kena pukul. Silakan menggiring demonstran, tapi memukul wartawan sudah di luar batas," katanya kepada wartawan kala itu.
 
Sophan memulai karier di film tahun 1970 dengan menjadi figuran dalam Dan Bunga-bunga Berguguran yang disutradarai Wim Umboh. Wim yang membaca potensi laki-laki ini setahun kemudian menawarinya menjadi pemeran utama Pengantin Remaja. Di tengah kesibukan di parlemen, ia masih tampil sebagai aktor dalam Sesal (1994) yang ia sutradarai sendiri.

Seorang pengamat film kawakan, ketika membuat katalog film-film Indonesia, sudah mencium bahwa kebanyakan film yang ia sutradarai disisipi dengan semangat politik.

"Benar, bagaimana pun halusnya, saya selalu menyisipkan gambaran tentang keadaan sosial yang ada dalam masyarakat," katanya.

Lama sebelum Mochtar Pakpahan memimpin SBSI, lama sebelum buruh tekstil dan sepatu Tangerang menuntut hak, Sophan pada tahun 1978 telah menyutradarai Bung Kecil tentang kaum buruh. Hampir lima tahun tertahan di Badan Sensor Film, lulus sensor tahun 1983, akhirnya film itu dilarang diputar.

Jebolan Fakultas Hukum Universitas Leipzig Jerman Timur dan Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta ini memang dibesarkan dalam keluarga yang melek politik. Manai Sophiaan, ayahnya, seorang pentolan Partai Nasional Indonesia (PNI), anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS), dan penanda tangan Petisi 50. Kakeknya seorang tokoh pergerakan yang pernah dibuang ke Digul. "Sejak kecil saya sudah akrab dengan jargon-jargon politik," katanya.
   
SUAMI aktris Widyawati itu akhirnya terjun ke gelanggang politik beberapa saat menjelang kampanye Pemilihan Umum 1992, atas bujukan Soerjadi, Ketua Umum DPP PDI versi Kongres Medan 20-22 Juni. Tawaran masuk ke PDI itu disampaikan Soerjadi dalam sebuah makan siang di Pizza Hut Mal Pondok Indah Jakarta. Ia memutuskan menerima tawaran itu setelah diyakinkan bahwa ia akan disisipkan menjadi calon jadi.

"Saya kira sudah waktunya bagi saya untuk ikut serta meluruskan kembali nilai-nilai yang sudah melenceng dari konstitusi," kata Sophan tentang pertimbangannya menerima tawaran itu.

Semula banyak orang ragu akan kemampuannya di DPR, meskipun untuk memasuki gedung di Jalan Gatot Subroto Jakarta itu kemampuan berbicara mewakili amanat hati nurani rakyat bukan sebuah keharusan. Ada yang menduga keaktorannya di layar film dipakai sebagai pemanis lembaga DPR.

Namun, dugaan itu segera berubah. Pada Sidang Umum MPR 1993, ia mengenakan pita hitam sebagai protes atas keputusan fraksi dalam pencalonan presiden.

"Soerjadi menyatakan kekecewaannya waktu itu kepada saya dan saya jawab siap di-recall," katanya. "Menjadi DPR bukan sebuah tujuan."

Suaranya yang vokal selalu mengisi halaman-halaman surat kabar. Ia pun dituding saat anggota Fraksi PDI kompak tidak hadir dalam rapat kerja dengan Menteri Penerangan Harmoko. Atas kelakuan yang satu ini, ia ditegur pemimpin fraksi.

"Namun Soerjadi minta maaf pada saya dua kali atas sikapnya dalam
kasus itu," kata Sophan.

Sophan mengaku jarang berhitung dengan kekuasaan sebelum melontarkan pendapat. "Saya ini wakil rayat. Bila ada yang harus disuarakan, saya suarakan. Tanpa memperhitungkan risiko. Mungkin bagi orang Indonesia sikap ini agak aneh, namun di negara demokratis sikap saya biasa-biasa saja," katanya.

Usai berhenti sebagai anggota dewan. Sophan sempat ditawari jabatan Duta Besar, tapi ditolaknya. "Bagaimana saya bisa menjadi dubes yang baik, kalau saya sendiri
sekarang tidak bisa beradaptasi dengan konstelasi politik yang berkembang di Tanah Air akhir-akhir ini. Duta besar itu, kan, jubir (juru bicara-Red)-nya bangsa yang harus menjelaskan berbagai macam hal tentang bangsa dan negaranya," tutur Sophan.

* * *
Sophan Sophiaan  lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 26 April 1944. Ayahnya, Manai Sophiaan, adalah politikus terkemuka Indonesia yang pernah menjadi duta besar di Rusia.

Sophan menikah dengan aktris senior Indonesia, Widyawati. Setelah banyak berkiprah di dunia perfilman, Sophan terjun ke panggung politik dan pernah aktif di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Dalam kapasitasnya itu, ia pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI.

Pada tahun 2005, ia turut bergabung dalam mendirikan partai baru yang bernama Partai Demokrasi Pembaruan bersama-sama dengan Laksamana Sukardi, Arifin Panigoro, Roy BB Janis, Sukowaluyo Mintohardjo, Noviantika Nasution, Didi Supriyanto, Tjiandra Wijaya, Postdam Hutasoit dan RO Tambunan.

Karier di film:

Sebagai Pemeran

Lisa (1971) oleh M. Sharieffudin A
Pengantin Remaja (1971) oleh Wim Umboh
Lorong Hitam (1971) oleh Turino Djunaidy
Matahari Hampir Terbenam (1971) oleh R. Iskak
Perkawinan (1972) oleh Wim Umboh
Tjintaku Djauh Dipulau (1972) oleh Motinggo Boesje
Si Bongkok (1972) oleh Lilik Sudjio
Pemberang (1972) oleh Hasmanan
Mutiara Dalam Lumpur (1972) oleh Wahyu Sihombing
Pencopet (1973) oleh Matnoor Tindaon
Anak Yatim (1973) oleh Fritz G. Schadt
Percintaan (1973) oleh Pitrajaya Burnama
Timang-Timang Anakku Sayang (1973) oleh Sandy Suwardi Hassan
Perempuan (1973) oleh Pitrajaya Burnama
Romi Dan Juli (1974) oleh Hasmanan
Cinta Remaja (1974) oleh Lilek Sudjio
Aku Cinta Padamu (1974) oleh Hasmanan
Kehormatan (1974) oleh Bobby Sandy

Gaun Pengantin (1974) oleh Bobby Sandy
Demi Cinta (1974) oleh Matnoor Tindaon
Sentuhan Cinta (1976) oleh Bobby Sandy
Rahasia Seorang Ibu (1977) oleh Wahyu Sihombing
Kemilau Kemuning Senja (1980) oleh Hasmanan
Amalia S.H. (1981) oleh Bobby Sandy
Perempuan Kedua (1990) oleh Ida Farida
Yang Tercinta (1991) oleh M.T. Risyaf
Love (2008) oleh Khabir Bhatia

Sebagai Sutradara

Jinak-Jinak Merpati (1975)
Widuri Kekasihku (1976)
Letnan Harahap (1977)
Bung Kecil (1978)
Buah Hati Mama (1980)
Jangan Ambil Nyawaku (1981)
Bunga Bangsa (1982)
Kadarwati (1983)
Saat-Saat Yang Indah (1984)
Tinggal Landas Buat Kekasih (1984)
Melintas Badai (1985)
Damai Kami Sepanjang Hari (1985)
Di Balik Dinding Kelabu (1986)
Arini, Masih Ada Kereta Yang Lewat (1987)
Ayu Dan Ayu (1988)
Suami (1988)
Sesaat Dalam Pelukan (1989)
Ketika Senyummu Hadir (1991)
Sesal (1994)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com