Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
OPINI

Macet dan Wajah Kebijakan Publik

Kompas.com - 03/08/2010, 09:56 WIB

Tata Mustasya *

KOMPAS.com Kemacetan Jakarta yang kian memberatkan (warga dapat menghabiskan sekitar empat jam di perjalanan dalam sehari) sebenarnya buah aneka kebijakan publik puluhan tahun.

Kemacetan demikian sekaligus contoh nyaris sempurna kecompang-campingan wajah kebijakan publik di berbagai bidang. Ia menghantui berbagai bidang vital: pendidikan, kesehatan, dan pembangunan ekonomi.

Lima wajah

Wajah pertama adalah sentralisasi pembangunan di Jawa, khususnya DKI Jakarta. Data BPS menunjukkan bahwa pada 2008, Pendapatan Domestik Regional Bruto Jakarta 16,11 persen Pendapatan Domestik Bruto Indonesia, sementara PDB Pulau Jawa berkontribusi sebesar 57,68 persen terhadap PDB Indonesia.

Dengan garis kemiskinan relatif lebih tinggi daripada provinsi lain, tingkat kemiskinan di Jakarta hanya 3,62 persen pada 2009. Ini jauh di bawah tingkat kemiskinan nasional yang berkisar 15 persen. Meski hidup di Jakarta tak dapat dikatakan nyaman, kesempatan memperoleh pendapatan terpusat di sana.

Usaha rekayasa ulang wilayah pembangunan masih minim dilakukan. Pilihan terhadap sentralisasi pembangunan di Jawa sendiri dijalankan pemerintah kolonial Belanda. Padahal, situasi dan tujuan yang ingin dicapai pemerintah kolonial dengan pemerintah saat ini jauh berbeda.

Wajah kedua adalah keterputusan antara visi, strategi, dan rencana kerja. Masalah yang ada sudah jelas dan didukung oleh data akurat, misalnya mengenai kebutuhan transportasi massal. Namun, yang keluar justru rencana kerja darurat seperti three in one, jalur khusus transjakarta, dan terakhir wacana pembatasan jumlah kendaraan pribadi. Akhirnya, masyarakat terbiasa mendengar keluhan dan kesulitan pengambil kebijakan, bukan solusi konkret.

Keterputusan juga terjadi pada kebijakan di berbagai tingkat pemerintahan, mencakup pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten atau kota. Kemacetan Jakarta merupakan contoh terbaik persoalan yang memerlukan koherensi kebijakan antartingkat pemerintahan, sekaligus kegagalan mewujudkannya.

Individualisasi kebijakan publik merupakan wajah ketiga. Kebijakan yang semestinya bersifat inklusif tak hadir. Akibatnya, masyarakat ataupun individu memperjuangkan kepentingan masing-masing. Lahirlah dua risiko: kompetisi antarindividu atau antarkelompok yang bisa meminggirkan individu atau kelompok lain serta kelompok ekonomi bawah tak mampu mengongkosi kepentingannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com