Jakarta, Kompas -
Pengamat transportasi dari Universitas Trisakti, Fransiskus Trisbiantara, Selasa (24/8) di Jakarta, mengatakan, jalan tol dianggap sebagai solusi kemacetan untuk saat ini karena jumlah kendaraan terlalu banyak dan jumlah jalan terbatas. Namun, jika salah memilih jalur dan
”Dari keenam ruas jalan tol, jalan yang layak dibangun adalah yang memudahkan arus lalu lintas barang, dari Pelabuhan Tanjung Priok ke arah Cikarang dan sebaliknya. Ruas jalan lainnya perlu dikaji lagi karena dinilai dapat menimbulkan beban kemacetan baru di dalam kota,” kata Trisbiantara.
Selain itu, pintu masuk dan pintu keluar jalan tol harus diatur agar tidak terlalu banyak. Cukup di kedua ujung pintu jalan tol. Pintu masuk dan pintu keluar jalan tol yang terlalu banyak akan berdampak pada pertambahan lokasi-lokasi antrean kendaraan di jalan arteri.
Pengelolaan jalan hambatan itu sebaiknya tidak memakai sistem tol, tetapi sistem electronic road pricing atau pajak jalan.
Dana dari sistem tol hanya untuk mengembalikan investasi, biaya operasional dan pemeliharaan, serta keuntungan operator. Sementara sistem pajak jalan mengalokasikan dana seperti sistem tol plus alokasi untuk subsidi angkutan massal. Subsidi angkutan massal berasal dari tarif yang lebih tinggi pada jam sibuk, pagi dan sore hari.
Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta, Muhammad Sanusi, mengatakan, Pemprov DKI perlu konsisten menjalankan panduan rancang kota atau urban design guide line. Mal, apartemen, dan gedung perkantoran yang tinggi tidak boleh dibangun di dekat pintu masuk dan keluar jalan tol. Pemprov DKI diminta memprioritaskan pembangunan angkutan massal yang diharapkan dapat selesai sampai 15 koridor. ”Jalan tol hanya solusi sementara,” kata Sanusi.