Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DAMPAK LAHAR DINGIN

269,4 Hektar Lahan Pertanian Rusak

Kompas.com - 19/01/2011, 03:35 WIB

Magelang, Kompas - Berbagai tanaman di lahan pertanian seluas 269,4 hektar di enam kecamatan di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, rusak diterjang banjir lahar dingin. Selain tertimbun pasir setebal 0,5 meter sampai satu meter, kerusakan terjadi karena lahan pertanian tergerus banjir lahar dingin.

Kerusakan tanaman terjadi di Kecamatan Salam, Mungkid, Srumbung, Dukun, Ngluwar, dan Muntilan. ”Dengan tebalnya pasir, lahan tidak bisa diapa-apakan lagi,” kata Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat Desa Sirahan, Kecamatan Muntilan, M Rokim, Selasa (18/1).

Munir (55), warga Desa Adikarto, Kecamatan Muntilan, mengatakan, rumah berikut lahan pertanian seluas 800 meter persegi yang ditanami palawija, tergerus banjir lahar dingin. ”Saat ini kehidupan keluarga saya bergantung pada bantuan di pengungsian,” ujar Munir.

Data Dinas Pertanian Tanaman pangan, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Magelang per 15 Januari, lahan pertanian yang rusak itu terdiri dari areal padi seluas 123 hektar, kacang panjang 22,6 hektar, kacang tanah 1 hektar, cabai 22,2 hektar, pepaya 1,5 hektar, timun 1,1 hektar, kelapa 4,5 hektar, rambutan 11,4 hektar, sengon 47,5 hektar, dan salak 34,5 hektar.

Mengeruk pasir

Untuk membersihkan tumpukan material padat Merapi di ruas jalan Magelang-Yogyakarta di Desa Jumoyo, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Dinas Bina Marga Provinsi Jawa Tengah memperbolehkan masyarakat mengeruk pasir dan batu untuk dijual tanpa retribusi.

”Pemprov Jawa Tengah tidak memiliki anggaran khusus untuk membersihkan tumpukan material itu,” kata Pejabat Pembuat Komitmen Pemeliharaan Jalan dan Jembatan Dinas Bina Marga Provinsi Jateng Budi Sudirman.

Di sisi kanan dan kiri jalan raya Magelang-Yogyakarta di Desa Jumoyo, sepanjang satu kilometer, tampak aktivitas warga mengeruk pasir. Selain secara manual, beberapa di antaranya menggunakan alat berat.

Rame, warga Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, mengajak empat temannya untuk mengeruk pasir dan menjual kepada sopir-sopir truk yang datang dari Semarang. Dalam sehari, Rame dan teman-temannya bisa mengisi dua truk pasir dan dibayar Rp 180.000-Rp 200.000 per truk.

Sukirman, pemilik CV Tunas Karya, perusahaan penyedia material bangunan, mengeruk pasir di jalan Magelang-Yogyakarta menggunakan dua alat berat. Tiap hari dia mengirim 5-6 truk pasir ke Semarang. Satu truk berkapasitas 5-6 meter kubik.

Menurut Sukirman, harga pasir kini turun dari Rp 90.000 per meter kubik menjadi Rp 40.000-Rp 50.000 per meter kubik. ”Keuntungan saya berkurang dari Rp 10.000 per meter kubik menjadi Rp 2.000 per meter kubik,” kata dia.

Namun, di tingkat konsumen, harga pasir kembali normal setelah sebelumnya naik saat erupsi Merapi. Di Semarang, harga pasir Rp 145.000 per meter kubik, pada saat erupsi Merapi sekitar Rp 200.000 per meter kubik. Di Solo, harga pasir Rp 700.000 per enam meter kubik. Saat erupsi Merapi, harga pasir Rp 1 juta per enam meter kubik.

”Pasir memang banyak, dan tidak beli. Tapi untuk mengambil butuh ongkos transportasi,” kata Wiyoto, pemilik toko bangunan di Sumber, Banjarsari, Solo.

Harga pasir di Boyolali juga tetap. Marto Kawit (55), petambang pasir dari Desa Cabean Kunti, Cepogo, menjual pasir satu truk dengan kapasitas tujuh meter kubik seharga Rp 250.000. Harga itu relatif sama dengan sebelum erupsi Merapi. Namun, lebih rendah jika dibandingkan masa erupsi Merapi yang mencapai Rp 330.000 per truk.

”Biasanya yang mengambil truk dari Solo atau Boyolali saja,” tuturnya. (EGI/EKI/DEN/GAL/WIE)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com