Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hiperkonsumerisme, Hiperteks, Hipermedia

Kompas.com - 11/12/2011, 13:19 WIB

Makna lebih jauh dari politik pencitraan adalah politik yang kehilangan kontak dengan realitas. Serupa dengan modus komunikasi zaman ini: orang terhubung dengan mereka yang jauh, tetapi terputus dengan ruang sosial secara fisik. Realitas fisik jadi kedodoran.

Untuk urusan pribadi, Anda silakan merefleksikan hubungan Anda sendiri dengan orang-orang terdekat. Menyebar wabah defisit atensi. Untuk lingkup sosial lebih luas, silakan lihat penelantaran kesejahteraan rakyat. Rakyat tambah miskin, murid-murid SD belajar di bangunan serupa kandang kambing, jembatan runtuh, dan seterusnya.

Apa yang dibanggakan?

Cukup banyak yang menyoroti konsekuensi digitalisasi kehidupan sekarang. Salah satunya, Nicholas Carr lewat buku The Shallows (2010). Anda bisa mengetahui di sana bagaimana internet mengubah cara kita berpikir, membaca, dan mengingat.

Di sana, dia membandingkan dua cara membaca. Pertama, membaca teks secara linear. Ini terjadi saat membaca buku, koran, atau majalah. Yang kedua, membaca teks secara berlapis-lapis atau diistilahkan hiperteks. Ini seperti ketika membaca lewat layar komputer, cara scrolling memungkinkan kita membaca berbagai teks secara bersamaan. Yang terakhir itulah yang ditawarkan teknologi multimedia atau lebih lanjut menjadi hipermedia.

Berbagai hasil penelitian dikutip di sana. Yang paling menonjol, ternyata penyerapan orang dalam pembacaan hiperteks jauh lebih rendah daripada pembacaan secara linear. Para dosen perguruan tinggi tempat penelitian dilakukan mengakui, para mahasiswa tidak betah berfokus pada satu hal. Perhatian dan fokus terus berpindah-pindah. Para peneliti menyimpulkan, teknologi multimedia tampaknya lebih membatasi daripada meluaskan kesanggupan seseorang mengakuisisi informasi.

Kita memiliki cognitive load—mungkin bisa diterjemahkan sebagai muatan kognitif? Kalau kebanyakan informasi yang mengalir ke sana melebihi muatan kognitif, maka seperti air, air akan tumpah. Kita tak sanggup memerangkap informasi itu atau menarik hubungan dengan informasi lain yang telah tersimpan sebelumnya di memori. Dengan kata lain, informasi hanya berseliweran, tak nyangkut di memori, apalagi membentuk pengetahuan koheren.

Maka, tidak banyak orang sekarang mampu berpikir koheren. Yang dikuasai cuma informasi sesaat. Itu yang secara cerdik diindustrikan media, menjadi komoditas laris bernama gosip. Yang disebut analisis politik sekarang sebenarnya rekonstruksi gosip. Di sini, sebenarnya media cetak harus ambil peranan. Dia diharapkan mempertahankan sivilisasi.

Yang dibangga-banggakan orang dengan multimedia sekarang—di mana orang katanya bisa melakukan beberapa pekerjaan sekaligus (multitasking)—sebenarnya ”terampil pada tingkat superfisial”. Ingat kata-kata filsuf Roma, Seneca, sekitar 2.000 tahun lalu: berada di mana-mana berarti tidak di mana-mana.

Ketergesa-gesaan, ketergopoh- gopohan, adalah ciri masyarakat masa kini. Munculnya jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter, mengakselerasi ketergopohan itu. Mereka menekankan pada kesegeraan dengan istilah yang dikenal para penggunanya sebagai status update. Kalau perlu, barusan buang angin pun diberitahukan ke seluruh dunia. Untuk bisa selalu update, orang terus-menerus memelototi Blackberry.

Apanya yang harus dibanggakan dengan itu semua?

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com