Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Permen Pahit Penyiaran

Kompas.com - 02/02/2012, 02:15 WIB

Namun, Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2011 tersebut membuat kategori baru berupa LPPPM dan LPPPS. Selain tidak dikenal dalam Undang-Undang Penyiaran, dua varian baru lembaga penyiaran tersebut, juga berpotensi menimbulkan polemik hukum di kemudian hari.

Kedua, varian lembaga penyiaran baru dalam peraturan menteri tersebut berimplikasi pada proses pemberian izin bagi lembaga penyiaran. Peraturan menteri tersebut mengatur pelaksanaan LPPPM cukup dengan memperoleh penetapan dari menteri. Padahal, dalam Undang-Undang Penyiaran, pelaksanaan penyiaran dapat diselenggarakan setelah memperoleh izin berdasarkan kesepakatan antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan pemerintah dalam suatu forum rapat bersama.

Penetapan dan pemberian izin bagi lembaga penyiaran tentu merupakan dua hal yang berbeda. Penetapan cenderung berdasarkan penggunaan kekuasaan yang bersifat otoritatif. Sementara pemberian izin seperti yang diatur dalam Undang-Undang Penyiaran mensyaratkan adanya partisipasi atau representasi publik. Hal ini sesuai dengan filosofi dasar frekuensi sebagai ranah publik.

Dalam perspektif ini, menteri sebagai pihak yang memiliki otoritas mengeluarkan penetapan bagi LPPPM dapat dinilai bertindak mengabaikan kepentingan publik.

Ketiga, dalam Undang-Undang Penyiaran disebutkan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran. Faktanya, dalam penyusunannya, peraturan menteri tersebut tidak melibatkan Komisi Penyiaran Indonesia yang memiliki kewenangan untuk mengatur hal-hal mengenai penyiaran.

Bagaimanapun, penyiaran digital tetap bersandar pada ketersediaan dan penggunaan spektrum frekuensi. Oleh karena frekuensi untuk penyiaran merupakan sumber daya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi, dibentuklah Komisi Penyiaran Indonesia untuk seluruh penyelenggaraan penyiaran. Komisi Penyiaran Indonesia seharusnya ditempatkan sebagai pemangku kepentingan utama dalam menata seluruh sistem penyiaran di Tanah Air.

Kepentingan publik

Industri penyiaran Tanah Air saat ini memang menjanjikan pertumbuhan yang signifikan. Pertumbuhan tersebut tidak saja menarik perhatian para investor, tetapi juga mampu mencuri perhatian pelaku politik domestik. Memasuki era pencitraan saat ini, media massa, khususnya media penyiaran, menjadi sangat strategis karena memiliki kemampuan membangun citra dan membentuk opini publik.

Hal ini dinilai jauh lebih efektif dipilih sebagai sarana membangun citra dan menyusun opini publik mengingat banyaknya jumlah penduduk dan luasnya wilayah Republik Indonesia. Pada konteks ini, media penyiaran, terutama televisi, menjadi semacam titik pertemuan antara kepentingan ekonomi dan kepentingan politik sehingga sulit bagi publik untuk melakukan penilaian.

Informasi yang disajikan melalui media penyiaran tersebut sulit diurai apakah informasi itu yang benar-benar dibutuhkan publik atau kebutuhan informasi yang sengaja diciptakan untuk pencitraan politik atau pembentukan opini publik.

Dalam perspektif inilah terkadang kepentingan publik sering diabaikan karena kepentingan ekonomi-politik jauh lebih dominan. Kondisi ini akan semakin riuh dan gempita saat praktik penyiaran berbasis digital yang menjanjikan 12 slot bagi LPPPS pada satu frekuensi tersebut justru akan diterapkan menjelang tahun politik pada 2014 mendatang.

Dapat dibayangkan riuh dan gempitanya industri penyiaran jika ada enam LPPPM yang menggunakan enam saluran frekuensi masing-masing menyediakan 12 slot yang disewakan. Maka, sedikitnya ada 72 saluran program siaran pada setiap zona wilayah layanan siaran.

ISWANDI SYAHPUTRA Komisioner Bidang Infrastruktur dan Perizinan Komisi Penyiaran Indonesia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com